Murid laki-laki dan perempuan pisah ruang belajar di Aceh Utara

Nurdin Hasan

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Murid laki-laki dan perempuan pisah ruang belajar di Aceh Utara

EPA

Tak cuma larang pria dan wanita nonmuhrim berboncengan, Aceh Utara juga pisahkan ruang kelas siswa dan mahasiswa berdasarkan jenis kelamin

BANDA ACEH, Indonesia— Selain mengesahkan hukum yang melarang pasangan nonmuhrim berboncengan, ternyata Kabupaten Aceh Utara juga melarang siswa laki-laki dan perempuan belajar di ruang yang sama.

Rencana pemisahan ruang belajar laki-laki dan perempuan akan diterapkan mulai Sekolah Menengah Pertama hingga Perguruan Tinggi. Peraturan ini dinilai akan sulit dilaksanakan, melihat dari ketidaksiapan pemerintah setempat dan kesan diskriminasi yang kuat.

Pendapat ketidaksiapan Pemerintah Kabupaten Aceh Utara disampaikan akademisi dan aktivis perempuan yang diwawancarai Rappler Indonesia, Selasa, 5 Mei. Mereka diminta tanggapan terkait Qanun Kemashlahatan dan Ketertiban Umum, yang salah satu klausul akan memisahkan ruang belajar laki-laki dan perempuan di Aceh Utara.

“Apakah mereka sudah memikirkan berapa jumlah kelas yang harus disiapkan untuk memisahkan siswa atau mahasiswa antara laki-laki dan perempuan,” kata Presidium Balai Syura Ureueng Inong Aceh (BSUIA), Soraya Kamaruzzaman. BSUIA adalah perkumpulan aktivis perempuan di Aceh dari berbagai latar belakang.

“Apakah mereka sudah menyiapkan berapa banyak anggaran untuk membuat kelas-kelas baru. Apakah mereka sudah memiliki guru perempuan dan laki-laki yang cukup untuk mengajar ketika ruang belajar dipisahkan.”

Selain mengatur pemisahan ruang belajar siswa laki-laki dan perempuan, qanun yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Utara, Kamis pekan lalu, juga melarang pasangan belum menikah berboncengan, pedagang menjual pakaian ketat, pertunjuan keyboard dan karaoke.

(BACA: Aceh Utara akan larang pasangan nonmuhrim berboncengan

“Saya tidak yakin qanun itu dapat diimplementasikan karena beberapa pengalaman sebelumnya peraturan-peraturan seperti itu tidak dipatuhi masyarakat,” ujar Soraya, mengomentari larangan duduk mengangkang di Kota Lhokseumawe dan perempuan harus memakai rok di Aceh Barat. 

Dia mempertanyakan urgensi qanun itu bagi warga Aceh Utara karena masih banyak masalah lain harus dijalankan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan.

“Qanun seperti itu hanya akan menjadi cemoohan di luar Aceh karena tidak mungkin diimplementasikan. Terkesan mereka membuat aturan kontroversi seperti itu untuk menutupi kelemahan pemerintah dengan berlindung di balik isu agama,” katanya.

Dipisahkan untuk menciptakan akhlak lebih baik

Tapi, Fauzan Hamzah yang menjabat Ketua Badan Legislasi DPRK Aceh Utara punya argumentasi lain terkait alasan membuat qanun tersebut. Menurutnya, kondisi siswa dan siswi di sekolah-sekolah yang ada di Aceh Utara sudah sangat mengkhawatirkan.

“Memisahkan ruangan belajar untuk menciptakan akhlak lebih baik mulai di sekolah, karena faktanya selama ini saat sedang belajar mereka berpacaran,” katanya. “Kalau belajar sudah dipisah, nanti otomatis guru juga dipisah. Tapi, dalam Islam guru laki-laki boleh mengajarkan siswa perempuan.”

Fauzan enggan menjelaskan secara detil tentang kesiapan Pemerintah Aceh Utara dalam melaksanakan qanun tersebut.

“Tugas kami sebagai legislatif membuat aturan setelah mendapatkan masukan dari ulama. Nanti yang menjalankan eksekutif dan kami akan mengawasi secara ketat,” tegasnya.

Dia menambahkan bahwa pemisahan ruang belajar sebenarnya telah dilaksanakan di pesantren dan tidak ada masalah. “Jadi, saya pikir bukan persoalan besar kalau nanti sekolah-sekolah di Aceh Utara memisahkan siswa laki-laki dan perempuan,” ujarnya.

Sulit diimplementasikan dan diskriminatif

Tanggapan akan sulit dilaksanakan juga disuarakan Amrizal J. Prang, seorang dosen Universitas Malikussaleh yang kampusnya terletak di perbatasan Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe.

“Kalau dipisah, ada kesan diskriminatif karena mahasiswa yang belajar di ruang kuliah yang gedungnya berada di Aceh Utara dipisah. Tetapi, mahasiswa yang belajar dalam gedung kuliah di Lhokseumawe tidak dipisah,” katanya.

Amrizal yang merupakan pakar hukum tata negara menyebutkan bahwa pembuatan qanun itu terkesan tidak melibatkan publik.

“Sepengetahuan saya, tidak dilaksanakan rapat dengar pendapat umum ketika proses pembahasan padahal ini mau mengatur masyarakat, tapi publik tidak diminta pendapatnya,” kata dia.

Ayi Yufridar, seorang penulis yang juga dosen luar biasa di Universitas Malikussaleh, juga tak yakin qanun itu dapat dilaksanakan. Di Fakultas Teknik, ada satu perempuan yang mengambil mata kuliah, sementara rekan-rekannya semua laki-laki, katanya.

“Nah, kalau dipisah dan kebetulan dosennya laki-laki. Bagaimana ini? Nanti bisa-bisa mereka dituduh berbuat mesum,” ujar Ayi. 

Ayi juga mempertanyakan kenapa peraturan itu hanya diberlakukan untuk siswa dan mahasiswa tapi tidak diberlakukan di kantor-kantor pemerintah dan gedung DPRK.

“Kalau mau serius, seharusnya itu juga berlaku untuk aparatur pemerintah. Di DPRK itu anggota dewan perempuan hanya satu orang, berarti dia tak boleh satu ruangan dengan anggota dewan laki-laki,” katanya. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!