Philippine arts

Anak-anak melahirkan karya dari balik jeruji penjara

Anton Muhajir

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Anak-anak melahirkan karya dari balik jeruji penjara
Jeruji besi yang mengisolasi anak-anak ini tak membuat mereka jadi kaku. Justru sajak-sajak indah dihasilkan oleh mereka, meski liriknya sendu.

 

KARANGASEM, BALI Lembaga Pemasyarakatan Anak Gianyar di Karangasem, Bali berubah menjadi bioskop mini pada Jumat, 8 Mei. Di salah satu pojok aula, sekitar 25 anak penghuni Lapas duduk di kursi plastik. Mereka menonton video dokumenter selama 8 menit berjudul Karya di Balik Penjara

Begitu selesai memutar film pendek itu, saya bertanya ke mereka. “Bagaimana rasanya?”

Anak-anak itu terdiam. Hening. Lalu, salah satu anak menjawab pelan seperti bergumam. “Sedih, Om.”

Aula lapas anak di Karangasem itu kembali hening sejenak. Padahal, semula, aula itu riuh dengan tawa dan canda anak-anak tersebut.

“Lagunya yang bikin sedih,” anak lainnya berkata.

Video amatir yang saya buat itu menggunakan musikalisasi puisi berjudul Usai. Dani (nama samaran), salah satu penghuni lapas, memainkan gitar akustiknya mengiringi puisi karya Agus (nama samaran).

Begini bait demi bait puisi Agus:

Harapanku seakan hilang. Napas dalam kalbu terasa berat. Waktu pun seakan tak lagi bersahabat. Entah mengapa.

Kebisingan tak lagi bisa kurasakan. Jantungku seperti tak mau berhenti berdebar. Segar perlahan memudar. Entah mengapa. 

Stop bicara. Ini sudah usai. Sebelum aku memulai.

Petikan gitar oleh Dani, penghuni penjara anak. Foto oleh Anton Muhajir/Rappler

Petikan gitar Dani memang terasa menyayat ketika mengiringi puisi tersebut. Saya menangkap kesan muram dan sedih dalam lirik puisi maupun petikan gitar sebagai bentuk musikalisasi puisi Usai ini. Hal serupa yang dirasakan anak-anak di Lapas Anak Karangasem.

Usai merupakan salah satu puisi karya penghuni lapas ini. Belasan anak lain membuat karya cerita pendek, catatan harian, ataupun musik seperti Dani.

Sebagian karya tersebut dibukukan dalam karya sastra Di Balik Jeruji. Buku setebal 108 halaman ini diluncurkan akhir April dalam pembukaan Bali Emerging Writers Festival (BEWF). BEWF dan Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) adalah penggagas pembuatan buku tersebut.  

Buku Di Balik Jeruji memang dibuat sebagai rangkaian BEWF, agenda rutin tiap tahun untuk penulis muda di Bali. Manajer Program Indonesia UWRF I Wayan Juniarta mengatakan, BEWF tahun ini ingin lebih memberi tempat untuk kelompok marjinal. Karena itu, mereka mendampingi anak di penjara membuat karya sastra.

Tema BEWF tahun ini The Voices You Need To Hear. Tema itu, menurut Juniarta, untuk memberikan suara-suara bagi kelompok-kelompok marjinal yang selama ini dilupakan. Anak-anak di penjara hanya salah satunya.

“Kami percaya kemampuan menulis akan meningkatkan rasa percaya diri seseorang dalam mengekspresikan pikiran serta aspirasinya,” kata Juniarta yang adalah jurnalis The Jakarta Post.

“Sangat penting untuk memberi tempat bagi kelompok marjinal yang selama ini kerap tidak didengar dalam perbincangan dan narasi publik,” Juniarta melanjutkan.

Dari  kesulitan menulis sampai menulis panjang

Karena itu pula, BEWF kemudian mendampingi anak-anak di penjara untuk melahirkan karya sastra. Selama dua bulan, mereka bersama Sloka Institute dan sastrawan Bali Cok Sawitri mengadakan pelatihan sastra di penjara anak. Tiap dua minggu sekali, tim fasilitator bolak-balik Denpasar – Karangasem, yang berjarak sekitar 1,5 jam perjalanan.

Sloka Institute adalah lembaga pengembangan media, jurnalisme, dan informasi di mana saya terlibat. Kami sering memberikan pelatihan menulis jurnalistik terutama untuk kelompok marjinal di Bali.

Pendampingan bagi anak-anak di penjara, menurut Cok Sawitri, tidak mudah. “Mengajak menulis karya sastra bukanlah tawaran menyenangkan bagi siapa saja yang tidak bisa menulis kreatif bidang fiksi ini,” katanya.

Kesulitan mengajak itu ditambah pula dengan rendahnya kemampuan menulis anak-anak. Selama dua bulan pendampingan, anak-anak di penjara harus menuliskan karya masing-masing di buku tulis.

Mereka menulis dengan pulpen, kegiatan yang sudah lama mereka tinggalkan. Tak heran, sebagian tidak bisa menulis. Untuk mengeja nama mereka sendiri sulit dilakukan.

Toh, pada akhirnya anak-anak itu bisa menuliskan cerita mereka. Ada anak yang semula tak mau menulis sama sekali tapi kemudian membuat cerita panjang. Ada yang menulis cerita pendek, prosa, dan juga puisi.

Suasana di salah satu kamar tahanan anak di Karangasem, Bali. Foto oleh Anton Muhajir/Rappler

Warna-warni

Karya anak-anak itu sendiri beragam. Misalnya tentang kasus yang membawa mereka ke penjara, pengalaman diperiksa polisi, hingga perasaan selama di penjara anak.

“Kami membebaskan mereka untuk menulis apa saja yang ada di pikiran mereka,” kata Luh De Suriyani, fasilitator program.

DMS, yang tertangkap karena kasus narkoba, bercerita melalui tulisannya berjudul Menuju Gelarku yang mengisahkan tentang pengalaman saat baru masuk penjara.

Kulihat sekeliling hanya tembok dan terali. Kondisi sel yang kotor, dingin, mulai membuatku takut. Tulisan-tulisan dinding yang kubaca seperti sangat sedih terbaca. Entah siapa yang menulis. Suara tetesan air keran yang seakan tak berhenti kudengar dari kamar mandi semakin membuatku gelisah.

Sebagian besar tulisan dibuat dalam bentuk narasi tentang kasus-kasus yang mereka hadapi. Namun, ada pula beberapa tulisan yang agak vulgar tentang hubungan seksual mereka dengan pacarnya, sesama anak di bawah umur dan berlanjut dengan pelaporan ke polisi oleh pihak keluarga perempuan.

Karya-karya anak dari balik penjara itu memang menjadi pelampiasan bagi anak-anak tersebut. “Apa yang saya tulis semoga bisa menjadi pelajaran bagi anak-anak lain yang di luar sana,” kata Carlie, nama samaran, yang menulis kisahnya sebagai begal.

Menurut Carlie, cerpen dan puisi yang ditulis anak-anak tersebut menjadi bukti bahwa penjara bukanlah halangan. “Meskipun badan kami terpenjara, kami tetap bisa melahirkan karya,” ujarnya.

Karya sastra hanyalah salah satu bentuk karya anak-anak di penjara. Sebelum itu, mereka juga didampingi Yayasan Seni Sana Sini, lebih dikenal dengan nama One Dollar for Music (ODFM), dan Sloka Institute. Selama satu tahun, anak-anak belajar tentang musik dan seni lukis. 

Jejak-jejak pendampingan tersebut tergambar melalui mural warna-warni di dinding penjara anak Karangasem. Mural dengan aneka gambar itu mereka buat sendiri di dinding lapangan futsal, di beranda, dan di dalam sel tempat mereka sehari-hari dikurung.

Mural-mural itu kini memberi warna sendiri di antara gelap sel dan kisah para penghuni di dalamnya. —Rappler.com 

Anton Muhajir adalah seorang jurnalis dan blogger di Bali. Kunjungi blognya di anton.nawalapatra.com dan follow Twitter-nya di @antonemus.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!