Cerita manusia perahu Rohingya terdampar di Aceh

Nurdin Hasan

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Cerita manusia perahu Rohingya terdampar di Aceh
Manusia perahu dari Malaysia dan Bangladesh ini terombang-ambing di laut, bukan 3 atau 4 hari, tapi dua bulan. Mereka kelaparan dan ketakutan.

LHOKSUKON, Indonesia—Dua imigran yang diyakini bagian dari rombongan warga Muslim Rohingya ditemukan terdampar di Pantai Idi Cut, Darul Aman, Aceh Timur, Selasa, 12 Mei 2012. 

“Menurut keterangan, mereka mengaku melompat dari kapal tongkang yang sedang berada di Selat Malaka dan kemudian berenang hingga terdampar di pantai Idi Cut sekitar pukul 7:00 pagi tadi,” kata Kapolres Aceh Timur, AKBP Hendri Budiman, pada Rappler. 

Sebelumnya, ada 572 imigran gelap asal Myanmar dan Bangladesh yang ditemukan di Selat Malaka, kawasan Pantai Seuneudon, Aceh Utara, pada 10-11 Mei. Mereka saat ini ditampung di GOR, tapi akan dipindahkan ke tempat lain di Aceh Utara. Belum jelas, apa yang akan dilakukan pemerintah pada mereka. 

Kedatangan mereka membawa segudang kisah pahit tentang penindasan terhadap mereka, keinginan bekerja di Malaysia dan perjalanan laut berat yang mereka tempuh.

Disudutkan di Myanmar

Dus Mamath menatap hampa, seolah menyimpan beratnya beban hidup. Pria 27 tahun berkulit hitam ini memberi salam kepada setiap orang yang ditemuinya. Lalu dia melanjutkan ucapannya, “Burma, I’m Moslem.”

Dus mengaku dari daerah Bau Dupha di kawasan Rakhine. Istrinya bernama Jamilah, 23 tahun. Dari hasil perkawinannya, mereka dikarunai 3 orang putri. Istri dan anak-anak mereka dengan berat hati ditinggalkannya di kampung. 

“Kami tidak punya rumah karena dilarang oleh pemerintah yang mayoritas beragama Buddha. Istri dan anak-anak saya sekarang tinggal di kamp,” katanya kepada Rappler dalam Bahasa Inggris yang terbatas.

Disebutkan bahwa aparat keamanan Myanmar sering datang ke kamp tempat warga Muslim Rohingya tinggal untuk meneror mereka. Kadang-kadang warga Muslim yang minoritas dipukuli, tanpa kesalahan. “Malah ada tetangga saya ditembak,” tuturnya, yang dibenarkan rekannya.

Dus Mamath (kiri) dan Muhammad Toyyub (kanan) saat diwawancara di halaman tempat penampungan sementara imigran asal Myanmar dan Bangladesh di Gedung Olahraga (GOR) Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara, Selasa, 12 Mei 2015. Foto Nurdin Hasan/Rappler

Mimpi bekerja di Malaysia

Pada akhir Maret, Dus dan dua rekannya, Muhammad Toyyub, 32 tahun, dan Muhammad Husen, 35 tahun, memutuskan untuk merantau ke Malaysia. Baik Toyyub maupun Hussen sudah berkeluarga dan punya anak. 

Dus mengatakan dia bermimpi bisa mengubah nasib dengan bekerja di Malaysia, meski hanya sebagai buruh. Mereka membayar lebih dari US$ 1.000 kepada agen liar yang diduga berasal dari Myanmar, Thailand dan Malaysia.  

“Kami pergi ke Malaysia untuk mengadu nasib karena tidak ada yang bisa dikerjakan di Myanmar. Kami tak bisa bekerja apa-apa di negara kami karena kami tidak diakui sebagai warga Mynmar,” ujar Dus dengan nada sedih.

Cerita hampir sama dikisahkan Abdul Motin, 42 tahun, imigran asal Bangladesh. Dia berangkat ke Malaysia bersama 4 rekannya dari Sylhet karena agen menjanjikan pekerjaan dan kehidupan yang layak. 

“Sekarang saya ingin bekerja di Malaysia karena kehidupan di Bangladesh susah. Tapi saya dan tiga teman saya dari Sylhet telah ditipu oleh agen padahal kami membayar 200.300 Lack kepada mereka.”

Rekan senegaranya, Muhammad Kasem, mengatakan membayar sekitar $ 1.000 kepada agen liar. 

“Untuk biaya pergi ke Malaysia, saya menjual lembu dan tanah,” katanya. 

Dua bulan tersiksa di laut

Impian pekerjaan yang baik tidak seindah nasib mereka di perjalanan menyeberangi lautan. Menurut Dus, agen mereka awalnya menjanjikan akan tiba di Malaysia dalam waktu 4 hari. Namun kenyataannya mereka terombang-ambing hampir dua bulan di lautan. 

Setelah menempuh perjalanan dua minggu dari kampungnya, mereka dikumpulkan dalam satu perahu besar. Jumlahnya mencapai 600 orang, terdiri dari warga Rohingya dan Bangladesh.

Duduk mereka berdempetan. Kakinya menekuk ke dada. Tidak ada yang bisa berselonjor. Di kiri dan kanan, depan dan belakang dipenuhi barisan manusia. Mereka tak kenal satu sama lain. Dus hanya kenal dua rekan sekampungnya.

“Kami tidak bisa tidur selama dalam kapal. Kalau ada yang coba merebahkan tubuh atau menjulurkan kaki, kami dipukul dan ditendang. Malah anak buah kapal sempat mengancam akan menembak kami,” katanya dengan wajah menyiratkan ketakutan.

“Saya sempat dipukul dan ditendang beberapa kali oleh kapten kapal.”

Selama dalam perjalanan, mereka kekurangan makanan dan minuman. Paling sehari hanya diberi segelas air. Makanan dalam jumlah sangat sedikit diberi 3 hari sekali.

“Enam orang dalam kapal kami meninggal dunia karena sakit dan kelaparan. Mayat mereka disuruh buang ke laut oleh kapten,” katanya.

Saat kapal kayu yang ditumpangi sudah berada di perairan perbatasan Malaysia dan Indonesia, kapten memberitahu bahwa mereka hampir tiba di Malaysia. Kapten juga bilang ia hendak pulang sebentar di rumahnya di Singapore. Lalu, sebuah speedboat datang menjemput kapten dan anak buah kapal.

“Kami tidak bisa berbuat apa-apa karena mereka mengancam akan menembak kami. Kami semua menangis karena tak ada seorangpun bisa mengemudi kapal,” katanya.

Kapal yang mereka tumpangi terombang-ambing di Selat Malaka selama 4 hari sampai akhirnya ditemukan nelayan tradisional Seuneudon, Aceh Utara, yang sedang melaut, Minggu dinihari. Pada paginya mereka berhasil mencapai pantai. 

Nasib masih belum jelas

Para imigran asal Rohingya Myanmar dan Bangladesh sedang tertidur pulas di tempat penampungan sementara di Gedung Olahraga (GOR) Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara, Selasa, 12 Mei 2015. Foto Nurdin Hasan/Rappler

Pemerintah Indonesia belum mengeluarkan pernyataan resmi apa yang akan mereka lakukan dengan para pengungsi Rohingya ini.  

“Pemerintah tentu saja pertama menginvestigasi dulu penyebab dan sebagainya,” kata Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia AM Fachir, Senin, 11 Mei. Dia mengatakan pemerintah akan menggandeng kementerian dan lembaga seperti kepolisian. 

“Mungkin kita akan melibatkan IOM (International Organisation for Migration). Itu adalah proses yang biasa,” pungkas Fachir.

Masih belum jelas, apakah pemerintah akan memulangkan para imigran ini atau membiarkan mereka tetap di Indonesia.

Muhammad Akamot Ali, salah satu imigran asal Bangladesh meminta tidak dipulangkan ke negerinya, karena sulit mencari nafkah. Dia meminta agar mereka sementara waktu ditampung di Indonesia, untuk kemudian kembali meneruskan rencana ke Malaysia. 

“Kami terdampar saat pergi ke Malaysia. Tujuan kami mencari kerja ke sana,” ujarnya.

Namun imigran lainnya, Motin, mengatakan ingin pulang dan berharap Kedutaan Besar Bangladesh di Jakarta bisa mengirim utusan ke Aceh.

“Jika ada pejabat Kedutaan datang dan membawa pulang ke Bangladesh, kami bersedia pulang. Apalagi kami tak punya uang lagi karena semua telah diambil oleh agen,” katanya. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!