Jakarta dan kegagalan Reformasi 1998

Elisa Sutanudjaja

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Jakarta dan kegagalan Reformasi 1998

GATTA DEWABRATA

Tragedi Mei 1998 tidak dijadikan pembelajaran dalam menjadikan Jakarta sebagai kota manusiawi dan inklusif. Yang rugi? Warga perkotaan.

Di tulisan sebelum ini, saya menyatakan bahwa Jakarta adalah produk gagal Reformasi 1998. Untuk tulisan kali ini saya ingin menjabarkan mengapa saya bisa berpendapat seperti itu. 

Tragedi dan kerusuhan Mei 1998 adalah produk kekerasan yang dilakukan oleh penguasa kepada berbagai pihak. Salah satu pihak yang paling menderita adalah sesungguhnya kaum miskin perkotaan. 

Kaum miskin perkotaan, yang saat itu bak sudah jatuh tertimpa tangga karena meroketnya harga-harga serta banyak yang kehilangan pekerjaan akibat krisis moneter 1997, malah menjadi kambing hitam dari apa yang sesungguhnya terjadi. Gambar-gambar dan cuplikan video kerusuhan Mei 1998 dengan banal memperlihatkan penjarahan, dari televisi, kasur, hingga bahan makanan. 

Namun, jika dilihat lebih dalam lagi, sesungguhnya kerusuhan tersebut bisa ada karena ada pengorganisasian dengan baik di lapangan. Bahkan terduga provokator sengaja mengenakan baju sekolah. Ada banyak kesaksian menuturkan bahwa ada kelompok provokator berbadan tegap dan berambut cepak yang memberi perintah. 

Sandyawan Sumardi dari Tim Relawan Untuk Kemanusiaan juga menuturkan berbagai macam keanehan untuk suatu kejadian yang dianggap spontan tersebut. Sayangnya sangat jarang — atau bahkan tidak ada — foto dan cuplikan video soal kelompok berbadan tegap, berbaju cepak, berwajah tua namun memakai baju sekolah itu, sambil berteriak-teriak layaknya mahasiswa. 

Hal tragis lain adalah ketika 200-an orang menjadi korban pembakaran Yogya Plaza di Klender. Kembali lagi kaum miskin perkotaan menjadi korban sekaligus tertuduh. Sementara jika menilik tulisan Sandyawan Sumardi yang berasal dari kesaksian salah satu penjarah yang selamat, di tengah sesaknya gas air mata, ada orang yang membakar kertas dan lalu kabur. Bahkan pintu plaza tersebut dikunci dalam keadaan terbakar, menyebabkan banyak orang begitu putus asa melompat dari lantai 2 dan lantai 3. 

Imaji lain yang kerap ditampilkan adalah segregasi rasial dan agama. Hingga sampai 2 tahun lalu, sekitar 2 kilometer dari rumah saya masih ada bangunan dengan tulisan besar ‘Milik Pribumi’. Target operasi kerusuhan, selain kaum miskin perkotaan juga minoritas Tionghoa. Kerusuhan juga seakan mengajarkan bahwa perempuan adalah sasaran korban paling mudah.

Imaji yang berulang-ulang paska tragedi itu seakan menyajikan beberapa pesan, bahwa demonstrasi itu berbahaya, ilusi akan perlunya segregasi ras dan kelas, kaum miskin perkotaan adalah pihak yang salah, serta meniadakan siapa sesungguhnya dalang di belakang itu. 

Pasca tragedi dan kerusuhan Mei 1998, tibalah masa transisi bagi Indonesia dengan jatuhnya Suharto, untuk kemudian digantikan oleh BJ Habibie. Saat itu, Gubernur DKI Jakarta adalah Sutiyoso. Sutiyoso sendiri memiliki masa lalu yang dekat dengan tragedi Mei 1998, ketika sebagai Pangdam Jaya ia seharusnya mengetahui tentang penyerbuan ke markas Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada tanggal 27 Juli 1996, yang menyebabkan 5 orang meninggal dunia, 149 orang (sipil maupun aparat) luka-luka.  

Salah satu produk Kerusuhan Mei 1998 adalah rasa takut. Rasa takut tersebut terakomodasi dengan baik dengan mulai bergairahnya pasar properti di tahun 2000 dengan mulai menjamurnya kota baru di luar Jakarta. Menurut dataStudy on Integrated Transportation Masterplan for JABODETABEK (SITRAMP) 2002-2007, terjadi perpindahan dari Jakarta ke kota-kota sekitar seperti Tangerang, Bogor, Depok, dan Bekasi hingga mencapai 60.000 kepala keluarga. 

Memang faktor rasa tidak aman bukan saja satu-satunya penyebab, namun jelas memberi kontribusi. Di kota baru tersebut mereka dijanjikan rasa aman dalam rupa perumahan cluster dengan gerbang tinggi dan keamanan 24 jam. Perpindahan penduduk tanpa disertai perpindahan lapangan pekerjaan maupun akses transportasi ke Jakarta pada akhirnya memberi tambahan beban. 

Jika ingin tetap tinggal di kota Jakarta, maka perumahan dalam kota mensiasatinya dengan pembangunan pagar dan portal, sehingga hanya ada satu-dua akses menuju cluster tertentu. Walaupun Pemerintah Provinsi DKI mengeluarkan Peraturan Daerah tentang Ketertiban Umum, yang salah satunya mengatur pembangunan portal dan polisi tidur, namun tidak menghalangi menjamurnya portal-portal tersebut, baik berizin maupun tidak. 

Jakarta, melalui aparat dan penguasa, kemudian memilih untuk mempertahankan diri, dalam hal ini membangun pembatas pada ruang publik populer. Lapangan Monas yang tadinya bisa diakses dengan bebas oleh kendaraan maupun pejalan kaki, kini tertutup dengan dimulainya pekerjaan renovasi dari tahun 1999. Dimulai dengan pemasangan paving block yang memakan biaya Rp 7.5 miliar dan kemudian ditambah dengan konstruksi pagar setinggi 2,75 meter mengelilingi 3.715 meter lapangan Monas, dengan total anggaran Rp 9 miliar. Bahkan Sutiyoso memberi wacana akan ada polisi berkuda sebagai bentuk pengawasan di dalam Monas. 

Tentu saja rencana pembangunan pagar tersebut mengundang protes warga DKI. Tanggal 29 September 2002, setidaknya ada 2.000 warga berkumpul untuk membuat pagar manusia, menolak pendirian pagar pembatas tersebut. Pemagaran tersebut secara psikologis memberi kesan pembatasan gerak publik serta upaya sterilisasi. 

Secara gamblang Sutiyoso menyatakan, “Jika ingin berdemonstrasi di Istana maupun di Kedubes AS, ya bisa dilakukan di luar pagar”. Sebelumnya peserta demonstrasi dapat dengan mudah membubarkan diri masuk Lapangan Monas jika situasi dianggap sudah tidak kondusif. 

Upaya untuk mengecilkan ruang demonstrasi pun tidak hanya terjadi di Monas, namun juga di lokasi favorit demonstrasi lain, yaitu Bundaran Hotel Indonesia. 

Renovasi tersebut memakan biaya hingga Rp 14 miliar, ditanggung sepenuhnya oleh perusahaan periklanan dan ditukar guling dengan hak reklame di berbagai tempat strategis. Jika tadinya kegiatan aspirasi bisa dilakukan di samping persis kolam bundaran, pasca renovasi justru ada buffer 10 meter yang membatasi jalan dan kolam tersebut. Area tersebut mengelilingi kolam, dan terus menerus basah akibat luapan disengaja dari kolam, sehingga tidak memungkinkan lagi untuk dipakai sebagai lokasi penyaluran aspirasi. Pasca renovasi, kegiatan demonstrasi tetap dilakukan di kawasan tersebut, namun dengan konsekuensi menghambat bahkan menutup jalan. 

Kaum miskin perkotaan kembali menjadi stigma dalam kota. Di tahun yang sama, Sutiyoso gemar mempercantik Monas dan Bundaran HI, penggusuran di Jakarta pun meningkat sepanjang tahun 2002 tersebut. Penggusuran ternyata tak hanya menimpa pemukiman nelayan dan bantaran kali, namun juga pedagang kaki lima di berbagai pasar dan terminal. 

Setidaknya menurut data Institut Sosial Jakarta, ada 14 penggusuran skala besar. Penggusuran terhadap PKL seakan melupakan jasa PKL yang merupakan penyelamat dari masalah lapangan tenaga kerja yang kian sempit paska krisis moneter 1997. Sektor informal saat itu dianggap mampu meredam gejolak limpahan korban PHK.

Penggantian Sutiyoso kepada Fauzi Bowo yang non-militer tidak menjadikan Jakarta menjadi lebih manusiawi dan inklusif. Satpol PP di masa Fauzi Bowo mengalami peningkatan tajam, dan bahkan memiliki anggaran lebih tinggi dari Dinas Pendidikan dan anggaran seluruh Puskesmas di DKI Jakarta. 

Menurut data Jakarta Center for Street Children, di tahun 2007 angka kekerasan terhadap anak jalanan yang dilakukan Satpol PP sebesar 66,1% dari total kekerasan yang ada. Korban mengalami kekerasan secara fisik, mulai dari ditangkap dan ditahan sewenang-wenang, ditendang, diseret, disundut rokok, dijambak, digunduli, dicekik, diinjak, dipukul, dipaksa telanjang hingga mendapatkan kekerasan seksual. 

Teror bom yang mulai mengancam dan terjadi sejak tahun 2003 juga memperparah kondisi Jakarta, dan menjadikan kota tersebut tersegregasi dan mengumbar ketakutan. Rentetan bom membawa tren baru, yaitu peninggian pagar, sterilisasi trotoar, pengamanan dan portal berlapis, hingga surveilans. 

Pasca reformasi juga menghasilkan Perda no. 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, yang dengan detil mengatur berbagai macam larangan, mulai dari larangan terhadap joki 3-in1, larangan mengojek, larangan berjongkok dan berdiri di atas bangku taman, larangan berdagang di trotoar termasuk larangan membeli barang dagangan PKL, larangan terhadap grafiti, hingga larangan bagi orang yang mengidap penyakit yang meresahkan untuk ada di tempat umum. 

Walaupun gubernur-gubernur mulai dari Fauzi Bowo, Joko “Jokowi Widodo, hingga Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama berusaha mengembalikan dengan berbagai cara, namun kerap kali perbaikan tersebut terkesan gagal paham. Ahok berulang kali mempromosikan bahwa CCTV dan surveilans adalah jawaban dari berbagai masalah perkotaan dan birokrasi, mulai dari soal sampah, sterilisasi jalur Transjakarta, suami ngelayap, hingga disiplin PNS

Mirip dengan Sutiyoso, Ahok juga hendak memagar dan mamasang CCTV di taman-taman kota. Stigma terhadap kaum miskin perkotaan pun masih melekat, terlebih ketika Ahok menyebut warga miskin sebagai komunis (walaupun kemudian dibantah). Dan dalam berbagai kejadian, seperti banjir, sampah, dan kemacetan, kembali kaum miskin perkotaan dan kelas menengah yang menjadi kambing hitam. 

Tragedi dan kerusuhan Mei 1998 pada akhirnya tidak dijadikan pembelajaran bersama dalam menjadikan Jakarta sebagai kota manusiawi dan inklusif. Serupa seperti 17 tahun lalu, kaum miskin perkotaan tetap menjadi terdakwa untuk segenap masalah perkotaan, segregasi terutama di permukiman menjadi tinggi, dan selamat datang pengawasan negara. —Rappler.com

Elisa Sutanudjaja adalah seorang Eisenhower fellow, editor Kata Fakta Jakarta, dan co-founder rujak.org. Ia juga pengupaya sosial, pewarta ‘open data’, dan warga kota Jakarta. Follow Twitter-nya di @elisa_jkt

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!