US basketball

Ekowisata untuk menyelamatkan pariwisata Pulau Dewata

Anton Muhajir

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ekowisata untuk menyelamatkan pariwisata Pulau Dewata
Agrowisata seperti Bali Pulina inilah yang bisa jadi salah satu jalan keluar bagi Bali yang kini terus dieksploitasi demi pariwisata melalui model pariwisata massal.

Denpasar, Indonesia — Tempat wisata ini berada di Banjar Pujung Kelod, Desa Sebatu, Kecamatan Tegalalang, Gianyar, Bali. Sekitar 30 menit perjalanan darat dari Ubud, desa wisata internasional Bali atau satu jam dari Denpasar.

Jika Anda datang dari arah Ubud, melajulah ke arah Kintamani lewat kawasan Tegalalang. Tempatnya berada di kiri jalan, sekitar 500 meter setelah kawasan wisata terasering sawah Ceking. Namanya, kawasan agrowisata Bali Pulina.

Curamnya lembah dipadukan dengan pemandangan kebun dan sawah di bawahnya menyambut setiap tamu yang berkunjung ke kawasan agrowisata Bali Pulina. Udaranya juga segar dengan cuaca pagi hari yang cerah awal Mei lalu. Rasanya asri sekali.

Bali Pulina ini sedang naik daun. Turis-turis domestik yang biasanya tidak terlalu suka dengan wisata berbasis pertanian alias agrowisata, kini berduyun-duyun ke tempat ini. 

Sentuhan berbeda a la Bali Pulina

Agrowisata sebenarnya bukan hal baru di Bali. Di kawasan antara Denpasar hingga Kintamani banyak terdapat obyek agrowisata. Mereka memadukan pertanian dan pariwisata. Tamu-tamu, sebagian besar turis asing, diajak naik sepeda, jalan kaki, atau mendaki kebun-kebun petani.

Berada di ketinggian sekitar 500-700 meter di atas permukaan laut, kawasan ini cocok untuk tanaman umur panjang terutama kopi dan kakao. Begitu pula dengan tanaman obat-obatan.

Biasanya, para turis akan menyusuri pematang-pematang kebun di antara rindang pohon kakao. Mereka juga akan melihat tanaman kopi, termasuk biji-biji kopi luwak yang diproduksi oleh luwak-luwak di dalam kandang sekitar kebun. 

Hal baru di Bali Pulina, setidaknya sejauh yang saya tahu, adalah Kembang Kopi Stage. Pangggung dari kayu yang di sebuah bibir tebing, seperti mengambang di atas kebun. Dinamai Kembang Kopi karena bentuknya yang memang serupa bunga kopi. 

Panggung ini memberikan sentuhan berbeda. Memadukan cita rasa seni melalui bentuknya yang serupa bunga kopi dengan pertanian selaras alam.

Di atas Kembang Kopi Stage, pengunjung bisa melihat seluruh kawasan Bali Pulina. Termasuk di antaranya vila dan bale tempat para pengunjung duduk menikmati kopi di antara asrinya hamparan kebun khas Bali.

Inilah lokasi favorit para pengunjung untuk melakukan selfie.

Kembang Kopi Stage. Foto oleh: Anton Muhajir

Jalan keluar dari eksploitasi

Pariwisata massal telanjur dianggap sebagai satu-satunya model pariwisata di Bali. Padahal, pariwisata model ini telah mengorbankan banyak hal di Bali, terutama lahan pertanian. 

Agrowisata seperti Bali Pulina inilah yang bisa jadi salah satu jalan keluar bagi Bali yang kini terus dieksploitasi demi pariwisata melalui model pariwisata massal.

“Bali tidak cocok kalau terus dikelola dengan watak mass tourism, seperti yang dominan terjadi saat ini,” kata Nyoman Sukma Arida, dosen Program Studi Destinasi Pariwisata Universitas Udayana. Sukma juga doktor alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan disertasi tentang ekowisata di Bali.

Gerilya dari desa

Di beberapa lokasi lain di Bali, model pariwisata terpadu dengan pertanian ini juga sudah berjalan. Salah satu yang bisa dijadikan contoh keberhasilannya mungkin Jaringan Ekowisata Desa (JED). Sebagai informasi, agrowisata memang merupakan salah satu bagian dari ekowisata. 

Empat desa di Bali difasilitasi oleh sebuah lembaga advokasi lingkungan dan pendampingan warga desa bernama Yayasan Wisnu membentuk JED pada 2002.

Keempat desa tersebut adalah Tenganan dan Sibetan di Kabupaten Karangasem, Plaga di Kabupaten Badung, dan Nusa Ceningan di Kabupaten Klungkung.

Awalnya, mereka juga membentuk jaringan distribusi barang seperti sayur-mayur dan ikan. Namun kemudian lebih fokus pada pengembangan pariwisata berbasis lingkungan, ekowisata. Pengelolaan dilakukan secara profesional oleh koperasi yang dimiliki bersama empat desa tersebut.

Empat desa itu masing-masing memiliki karakter sendiri. Tenganan adalah desa tua yang terkenal dengan adat dan budaya berbeda dibandingkan Bali pada umumnya. Nusa Ceningan termasuk salah satu desa di gugusan pulau Nusa Penida. Plaga terkenal dengan pertanian kopi dan sayur. Adapun Desa Sibetan merupakan pusat produksi salak.

Di masing-masing desa tersebut, seperti juga di Bali Pulina, warga desa tak harus beralih profesi. Sehari-hari mereka tetap bertani tapi juga memandu turis yang berkunjung ke desa mereka.

Desa-desa itu bergerilya untuk turut menikmati kue besar bernama pariwisata meskipun mereka baru menikmati remah-remahnya.

Turis yang datang juga bisa menikmati Bali yang apa adanya. Bukan Bali yang sudah dipoles sedemikian rupa demi citra. Di desa-desa itu, kita bisa menikmati asrinya pedesaan, aroma kebun dan persawahan, juga cerita-cerita sederhana dari warga desa.

“Lebih dari itu, JED juga menjadi upaya untuk memiliki kembali Bali yang terlalu banyak dieksploitasi atas nama pariwisata,” kata Manajer JED I Gede Astana Jaya.

Turis mengajak petani berfoto bersama di Bali Pulina. Foto oleh: Anton Muhajjir

 

Model pariwisata jalan tengah

Ada beberapa alasan kenapa ekowisata bisa menjadi solusi bagi eksploitasi Bali yang berlebihan melalui konsep pariwisata massal.

“Ekowisata mengarusutamakan respek terhadap warga lokal dan kelestarian lingkungan,” kata Sukma.

Ekowisata bukanlah pariwisata yang semata mengejar banyaknya kunjungan dan penghasilan. Ada pembatasan jumlah turis sesuai daya dukung lingkungan.

Pengembangan ekowisata juga bagian dari upaya untuk membagi kue pariwisata yang selama ini hanya menumpuk di jantung pariwisata Bali, terutama Kabupaten Badung dan Denpasar. Ekowisata Bali saat ini tumbuh subur di daerah lain, seperti Klungkung dan Karangasem. Dengan demikian kue pariwisata jadi terbagi lebih banyak ke daerah.

Dengan ekowisata pula, warga-warga desa bisa tetap menjadi pemilik pariwisata di Bali. Tidak perlu ada investor karena memang tidak perlu membangun hotel dan vila mewah untuk para turis. Petani tak perlu menjual lahannya dan kemudian menjadi buruh di tanah sendiri.

Karena itulah model-model pariwisata seperti kawasan agrowisata Bali Pulina harus dikembangkan lebih banyak lagi. Agar kue manis bernama pariwisata bisa dinikmati lebih banyak warga lokal tanpa harus menjual tanahnya sendiri. Juga agar dolar dari pariwisata tak hanya menumpuk di tangan investor.

Untuk mewujudkan hal ini, menurut Sukma, Bali memerlukan pemimpin yang berpihak kepada pariwisata kerakyatan. Bukan hanya menghamba pada kepentingan investor.

“Mengubah Bali menjadi 100% ekowisata adalah sesuatu yang mustahil. Jalan tengahnya dengan membuat kebijakan pariwisata yang lebih memberikan ruang berpartisipasi bagi masyarakat dan bisa mem-filter investor guna memastikan agar investor yang masuk adalah mereka yang lebih pro lingkungan,” Sukma melanjutkan.

“Berikan masyarakat lokal ruang gerak, maka mereka akan mampu mengelola sumber dayanya dengan baik,” ujar Sukma lagi. —  Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!