Terminasi kontrak ala PT Liga Indonesia rugikan pemain

Mahmud Alexander

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Terminasi kontrak ala PT Liga Indonesia rugikan pemain
PT Liga Indonesia sarankan klub-klub ISL untuk terapkan kebijakan putus kontrak. Pemain hanya diberikan 25% dari nilai keseluruhan kontrak.

 

JAKARTA, Indonesia — PT Liga Indonesia (LI) menyarankan kepada klub-klub Indonesia Super League (ISL) untuk menerapkan kebijakan putus kontrak alias terminasi. Pemain hanya diberikan 25% dari nilai keseluruhan kontrak.

Keputusan itu sudah disepakati pada Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS LB) antara PT LI dan klub-klub ISL pada Rabu, 13 Mei 2015. Para pemain menuding kebijakan tersebut diputuskan sepihak.

Padahal, pemain rata-rata telah dikontrak oleh klub sejak Desember 2014. Mereka telah menjalani latihan dari Desember sampai Mei. Alasan klub dan PT LI, adanya kondisi force majeure yang diutarakan oleh PSSI per 2 Mei 2015 

(BACA: Serangan balik PSSI: stop semua kompetisi

“Itu yang kami pertanyakan. Pemain dalam posisi dirugikan karena keputusan kondisi force majeure yang sepihak. Harusnya ada kesepakatan antara kedua pihak. Apakah kondisi ini benar force majeure atau tidak? Apakah harus diputus kontraknya atau tidak?” kata Presiden Asosiasi Pesepak Bola Profesional Indonesia (APPI) Ponaryo Astaman, Senin, 18 Mei.

PT LI belum merespons protes asosiasi pemain tersebut. Namun, CEO PT LI Joko Driyono beralibi bahwa langkah itu adalah jalan tengah atau solusi atas kondisi kompetisi yang tak pasti. 

“Itu saran kami yang juga diterima oleh klub-klub. Itu (25 % kontrak) adalah nilai minimal. Kalau klub mau memberi lebih, ya terserah ke klub masing-masing,” tegasnya.

Namun, sumber dalam klub menyebutkan bahwa saran tersebut sengaja diberikan agar klub tak rugi. Selain itu, agar klub-klub yang masih menunggak gaji bisa menghindari pembayaran gaji yang lebih besar kepada pemain. 

Dengan PT LI pro kepada klub, mereka bisa tetap berada dalam satu barisan dalam menghadapi Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi dan Tim Transisi. Sebab, sejumlah klub mulai merapat ke pemerintah setelah PT LI menyatakan semua kompetisi berhenti.  

(BACA: Klub-klub ISL mulai konsolidasi tanpa PSSI)

Selain itu, pemutusan kontrak dilakukan agar pemain langsung menyiapkan kontrak baru dalam pra-musim untuk menyambut ISL musim baru. Dengan kata lain, klub berusaha lepas dari beban finansial dengan mengorbankan hak-hak pemain. 

APPI menuding itu sebagai siasat klub untuk mengakhiri kontrak dengan pemain dan menghindari kewajiban membayar gaji.

Padahal, jika melihat perjanjian kontrak antara klub dan pemain, minimal pemain mendapatkan down payment (DP), alias uang muka, plus gaji bulanan dari Desember sampai Mei. Nilainya, tentu saja lebih dari 25% seperti yang disiapkan klub.

Pasalnya, sebagian klub sudah ada yang memberikan DP 25% kemudian membagi habis sisa 75% kontrak pemain dalam 12 bulan. Jika hanya membayar 25%, maka pemain tidak akan pernah mendapat kompensasi apapun.

“Dalam pemutusan kontrak, pemain harusnya mendapatkan kompensasi selain DP, yakni gaji 4 bulan juga kompensasi satu bulan ke depan. Itu sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan,” imbuh General Manager APPI Valentino Simanjuntak, Selasa, 19 Mei.

Karena itulah, APPI sebagai organisasi resmi dan menjadi perwakilan organisasi pemain profesional dunia (FIFPro) menyuarakan gerakan untuk pesepak bola pro. Mereka menyebutnya dengan gerakan #PesepakbolaBersatu.

Selain ajakan menolak terminasi sepihak dengan alasan force majeure, ada tuntutan lain yang dianggap oleh APPI  sangat tidak profesional. Itu terkait poin bahwa pemain tidak boleh berpindah klub meski sudah diputus kontraknya.

“Kami menghimbau kepada seluruh anggota APPI dan pemain pro untuk menolak usulan PT LI yang disampaikan kepada klub, yakni tidak mengizinkan pesepakbola berpindah klub. Sebab, dalam aturan hukum manapun (hukum perjanjian nasional dan Regulasi FIFA), tidak ada kewajiban pesepakbola untuk tetap tinggal di klub tersebut jika sudah diputus kontraknya. Adalah hak pesepak bola untuk menentukan akan bermain di klub manapun,” demikian bunyi pernyataan sikap APPI.

Kebijakan terminasi kontrak ini sejatinya pernah dilakukan saat era dualisme kompetisi sepak bola di Indonesia pada 2011-2013. Indonesia Premier League (IPL) memilih membayar 2,5 bulan gaji dari 6 bulan masa kompetisi. Tapi, PT LI mengambil langkah populer dengan tidak melakukan hal yang sama meskipun klub-klubnya kesulitan keuangan.

Namun, di era ISL 2015, akhirnya PT LI meniru langkah IPL. Jelas, kebijakan itu cukup merugikan pemain. PT LI hanya menjadi stempel legalitas kebijakan yang merugikan pemain. Sama seperti saat PT LI melakukan pembiaran klub-klub mereka menunggak gaji pemain. –Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!