Mereka yang terpasung di Pulau Surga

Anton Muhajir

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mereka yang terpasung di Pulau Surga
Lebih dari 9.000 orang menderita gangguan jiwa berat di Pulau Surga. Sebagian di antara mereka harus terpasung oleh keluarga sendiri.

 

Denpasar, Indonesia – Dingin dan harumnya Ruang Seminar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (FK Unud), Denpasar, terasa senyap pada Senin, 18 Mei, lalu. Pagi itu, sekitar 280 mahasiswa menonton bersama film dokumenter tentang orang-orang dengan gangguan jiwa yang terpasung.

Di layar, film dokumenter berjudul Terpasung di Pulau Surga merekam dan menceritakan orang-orang dipasung di Bali. Ada adegan, misalnya, seorang perempuan dengan ekspresi seperti menangis. Giginya tidak teratur, kuning, dan kotor. Dia terkurung dalam ruangan sempit dan pengap.

Pada adegan lain, seorang laki-laki berumur 40-an tahun dengan kaki terikat rantai. Tatapan mata nanar. Kosong. Lalu dia tertawa sendiri.

Gambar-gambar itu bagian dari film dokumenter yang dibuat Rudi Waisnawa, seorang fotografer dan videografer di Denpasar. Rudi kini bekerja di Suryani Institute for Mental Health (SIMH), sebuah yayasan yang mendampingi orang-orang dengan masalah kejiwaan (OMDK) di Bali.

Sejak tahun lalu dan masih berlanjut hingga sekarang, Rudi bersama para pendamping dari SIMH, mengunjungi ODMK yang dipasung itu. Para OMDK dikurung oleh keluarga sendiri. 

“Film ini untuk menggugah pemerintah, masyarakat, dan keluarga bahwa orang dengan gangguan jiwa adalah bagian dari kita. Mereka harus mendapatkan layanan dan perlakuan sama sebagai manusia,” kata Rudi.

Menurut Rudi, Bali dengan julukan Pulau Surga ini ternyata menyimpan pula masalah yang sepertinya sengaja tidak diungkap. Karena itulah, Rudi bersama SIMH pun terus mengampanyekan perlunya penanganan lebih manusiawi terhadap orang-orang dengan gangguan jiwa tersebut.

Pada Agustus 2014 lalu SIMH juga menggelar pameran foto serupa di Bali. Judul pamerannya Airmata Lensa: Membaca Fenonema Orang-orang Terpasung. Tiga belas fotografer dari tujuh negara memamerkan 70 karya tentang orang-orang penderita gangguan jiwa di Bali.

Dalam pameran di Bentara Budaya Bali itu, para fotografer menunjukkan orang-orang yang dipasung keluarganya sendiri karena dianggap berbahaya. Sebagian besar karya foto berwarna hitam putih, menambah kesan muram dan emosional tentang orang-orang yang dipasung karena gangguan jiwa.

Pameran foto tahun lalu dan video dokumenter baru itu seperti membuka fakta yang selama ini tak banyak diungkap, banyaknya orang sakit jiwa di Pulau Dewata. 

Ironi

Di balik gemerlap Bali sebagai ikon pariwisata, nasib ODMK tak banyak diketahui publik. Foto oleh Rudi Waisnawa

Dari hasil survei SIMH pada 2008 di Karangasem, Buleleng, dan Denpasar Timur diperkirakan terdapat 7.000 orang di Bali mengalami gangguan jiwa berat. Bahasa lainnya skizofrenia, gila, atau buduh dalam bahasa Bali. 

“Tidak pernah terpikir di benak saya bahwa di Pulau Bali yang dijuluki Pulau Dewata ini menyimpan banyak banyak gangguan jiwa berat,” kata Luh Ketut Suryani, Direktur SIMH.

Setelah mendampingi selama satu tahun pada 2009 di empat kecamatan di Karangasem, jumlah keluarga ODMK yang datang meminta tolong ke SIMH meningkat dari 339 orang menjadi 684 orang. 

Menurut perkiraan SIMH, pada 2010 jumlah penduduk Bali yang mengalami gangguan jiwa berat meningkat menjadi lebih dari 9.000 orang. Sekitar 0,23 persen dari jumlah penduduk Bali. Adapun mereka yang terpasung sekitar 350 orang. Tersebar di hampir semua kabupaten di Bali, seperti Jembrana, Denpasar, Gianyar, Klungkung, dan Karangasem.

Persentase jumlah orang dengan gangguan jiwa di Bali ini sebenarnya lebih kecil dibandingkan data nasional dari Riset Kesehatan Dasar Depkes 2013. Menurut riset itu, satu juta penduduk Indonesia, atau sekitar 0,46 persen, mengalami gangguan jiwa berat. Sebanyak 18 ribu dari mereka dalam keadaan terpasung. 

Namun, banyaknya pengidap gangguan jiwa berat di Bali itu terasa ironis. Lebih dari 3,5 juta turis asing tiap tahun berlibur ke pulau ini. Jumlah turis domestik hampir dua kali lipatnya, sekitar 6,4 juta. Turis-turis itu datang untuk berlibur menjadi bagian dari bisnis pariwisata di Bali.

Bagi banyak orang, Bali masih menjadi ikon sebagai pulau tempat mencari hiburan dan liburan. Untuk bersenang-senang.

Namun, ketika pulaunya menjadi pilihan utama sebagai tempat pariwisata, sebagian penghuni Bali justru hidup dalam pasungan. Mereka diikat dengan rantai. Dikurung di kamar kecil dan pengap. Dipasung agar tak keluar rumah dan dianggap sebagai aib keluarga.

Para pengidap gangguan jiwa berat yang dipasung itu tidak pernah mendapat perhatian pemerintah melalui Dinas Kesehatan. Masyarakat di sekitarnya pun tidak banyak yang tahu. 

Ketika keluarganya ditanya mengenai perawatan, menurut Suryani, sebagian besar mengatakan sudah putus asa karena pasien tidak pernah sembuh. Mereka juga sudah berusaha membawa berobat ke hampir semua balian di Bali. “Sudah dibawa berobat ke Rumah Sakit Jiwa Bangli tetapi tidak kunjung sembuh,” ujar Suryani yang juga psikiater.

Maka, memasung ODMK pun dianggap jalan keluar. Padahal sebenarnya tidak. 

Bisa disembuhkan

Mayoritas OMDK dikurung oleh keluarga sendiri. Foto oleh Rudi Waisnawa

Menurut Rudi, pemasungan bukanlah hal manusiawi karena mereka tidak mendapat hak- haknya. Bukannya sembuh, mereka malah semakin parah kondisi gangguan kejiwaannya.

Rudi menambahkan, gangguan jiwa adalah penyakit yang bisa disembuhkan. “Tidak perlu disembunyikan dengan cara mengurung atau memasung penderitanya,” kata Rudi.

Pendapat Rudi tersebut sesuai dengan hasil pendampingan SIMH selama ini. Sebanyak 326 penderita gangguan jiwa telah mendapatkan penanganan pada 2009. Dari jumlah tersebut, 31 persen sembuh tanpa obat, 3 persen tidak ada perbaikan, sedangkan 66 persen sembuh dengan perbaikan namun masih perlu obat.

Jika banyak ODMK belum bisa sembuh, hal tersebut karena penanganan yang tak tepat.

Penanganan gangguan jiwa kronis di Indonesia, menurut Suryani, cenderung menggunakan model hospital-based, layaknya rumah sakit. Bentuknya bisa berupa rawat inap atau di daerah terpencil menggunakan Puskesmas bekerja sama dengan Rumah Sakit Jiwa (RSJ).

Padahal, Suryani melanjutkan, seharusnya penanganan gangguan jiwa di masyarakat tidak dengan cara menginstitusikan pasien. Penanganan harus melalui pencegahan dan tidak mengekang. “RSJ harus diubah menjadi pusat-pusat penanganan yang dekat dengan masyarakat,” ujar Suryani.

Penanganan gangguan jiwa berat tidak sekali terapi sembuh dan setelah itu masalahnya selesai. Penanganan harus berlanjut dari promotif dan preventif, kemudian kuratif dan rehabilitasi. 

“Ini yang tidak ada di Bali maupun Indonesia,” kata Suryani. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!