Makna gerakan mahasiswa: Dari Sondang hingga Emma Sulkowicz

Arman Dhani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Makna gerakan mahasiswa: Dari Sondang hingga Emma Sulkowicz

EPA

Merenungi kembali perjuangan mahasiswa Indonesia dari masa ke masa.

Saya membayangkan bahwa rekan rekan Kesaktuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), yang seumuran dengan saya, adalah sosok sosok heroik yang gagal kita pahami. Mereka adalah para pemuda dan pemudi garda depan Indonesia dalam mengawal kedaulatan. Slogan selamatkan pribumi dari Asing dan Aseng bagi saya adalah sebuah diktum, bahwa kejayaan nusantara masih ada. Indonesia masih berada di zaman Majapahit dan belum masuk ke peradaban modern lintas benua yang kosmopolit.

Untuk itu saya berterima kasih kepada kawan-kawan KAMMI melalui #LindungiPribumi dan #UltimatumJokowi, saya bisa kembali menghargai sejarah. Sebagai orang-orang yang kagum akan kejayaan masa silam, terbukti dengan masih sayang mantan, saya amat ingin kita kembali berdikari. Berdaulat di kaki sendiri dan tidak dikuasai asing. Alhamdulillah, sebagai penggemar berat gerakan Ikhwanul Muslimin yang asli Indonesia, saya merasa inilah momen yang tepat untuk kembali merenungi makna gerakan mahasiswa.

Kita adalah angkatan gagap yang diperanakkan oleh angkatan kurang ajar, kata WS Rendra dalam sajaknya yang berjudul Sajak Anak Muda. Daya hidup telah diganti oleh nafsu, sementara pencerahan telah diganti oleh pembatasan. Namun apakah itu penting? Maksudnya, apakah perlu semua orang tercerahkan dan menjadi angkatan yang kritis? Setiap zaman punya perwakilannya sendiri, ia tidak butuh juru bicara, karena masing masing manusia semestinya bicara atas hidupnya sendiri.

Itu idealnya. Tapi kita tidak hidup dalam masyarakat yang ideal. Terlalu banyak ketimpangan sosial yang membuat hidup ini tidak layak dijalani. Kemiskinan, diskriminasi, pelanggaran HAM, perang, dan penindasan struktural adalah sedikit dari alasan masuk akal kenapa hidup tidak layak dijalani. Tapi, mengutip ucapan Soe Hok Gie, hidup memang perkara menghadapi yang tanda tanya. Anda tidak tahu apa yang ada di hadapan Anda sampai melewatinya dengan kepala tegak.

Saya pernah percaya bahwa mahasiswa adalah juru bicara zaman, mereka serupa agen perubahan. Tentu ada dari kalian, para mahasiswa, yang gandrung turun ke jalan untuk demonstrasi, atau fokus melakukan pemberdayaan masyarakat untuk menggenapi julukan itu. Tentu pula ada mahasiswa-mahasiswa salon yang merasa bisa mengubah dunia melalui youth forum. Berjumpa bertukar ide di hotel mewah dengan mahasiswa dari seluruh dunia, seraya melakukan fine dining, berbicara tentang ide-ide besar perubahan di tempat yang nyaman.

Masing-masing kalian toh meyakini bahwa apa yang kalian pilih pasti dan akan membuat perubahan berarti di masyarakat. Sayangnya tidak semua mahasiswa memiliki kemewahan ini, kemewahan di mana mereka masih bisa memelihara idedalisme dan memikirkan orang lain. Gerak zaman yang terlampau gesit dan kekosongan hati yang terlampau akut kerap membuat mahasiswa hanya memikirkan masa depan dan perasaannya sendiri. Mereka lebih pusing memikirkan akan bekerja sebagai apa nantinya, berpacaran dengan siapa sekarang ketimbang memikirkan hal-hal besar di luar dirinya.

Tan Malaka jelas berkata bahwa idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh para pemuda (juga pemudi). Tapi kerja-kerja pembebasan tidak harus lahir dari idealisme radikal atau memikiran yang sosialis kekiri-kirian. Banyak dari mahasiswa hari ini terjebak pada lema dan diskursus kiri itu seksi, bahwa menjadi peduli terhadap masyarakat miskin, kelompok minoritas atau memperjuangkan HAM mesti dilandasi pengetahuan mendalam tentang gerakan Marx. Saya berharap saya salah dan ini hanya sekedar romantisme masa silam saja.

Membahas mahasiswa tidak mungkin membuat saya lupa akan sosok seperti Ahmad Wahid, Soe Hok Gie, Sondang Hutagalung, dan Rara Sekar. Siapa Rara Sekar? Ia adalah alasan jagat raya diciptakan, penyebab mengapa Dajjal belum muncul di Segitiga Bermuda dan mengapa Amerika Serikat belum melancarkan perang melawan terorisme di Indonesia. Anda boleh tidak setuju dengan saya, dan ya benar pembahasan tulisan saya jadi melantur.

Sondang Hutagalung adalah satu potret degil mahasiswa Indonesia yang kematiannya dengan mudah dilupakan peristiwanya. Sondang juga sama seperti mahasiswa lain di republik ini. Kuliah, membaca buku, mengerjakan tugas, merayakan kesenian dengan teater dan puisi. Sesekali membolos untuk koordinasi aksi, ngopi hingga tengah malam memperbincangkan hal-hal remeh. Ia melakukan itu dengan sebuah kebahagiaan.

Sondang menyadari bahwa dalam sebuah perjuangan akan selalu ada tumbal. Ia juga menyadari, bahwa hanya sedikit perbedaan antara menjadi idealis atau melakukan kebodohan. Bahwa perihal kurban itu adalah permasalahan sudut pandang. Tak ada satupun manusia di bawah kolong langit yang berhak memberikan nilai atau kuasa hukum dalam sebuah perjuangan. Perjuangan adalah perkara keyakinan diri. Ia memilih membakar diri untuk membuktikan keyakinannya, ia berakhir menjadi tumbal dan dilupakan.

Ketika saya diminta menulis tentang mahasiswa ideal versi saya, topik ini seketika menjadi membosankan. Saya termasuk dari beberapa orang kolot yang percaya bahwa mereka yang cerdas, kritis, peduli, dan memiliki stamina untuk perubahan lebih baik hanya mutlak dimiliki oleh mahasiswa. Tapi toh terlalu sedikit mahasiswa hari ini yang benar-benar peduli dan benar-benar cerdas untuk bisa diingat, dikenal, dan dipedulikan oleh masyarakat.

Di belahan bumi yang lain ada Emma Sulkowicz, mahasiswi Columbia University yang berjuang menuntut keadilan. Ia adalah korban perkosaan yang lantas menyulut sebuah aksi sosial di Amerika Serikat dan membuka tabir bobrok tentang impunitas. Kekerasan seksual kerap menjadikan perempuan sebagai obyek marjinal yang ditindas hak-haknya. Sulkowicz menolak itu dengan membawa matras kemana pun ia pergi, ia sesungguhnya sedang memperjuangkan kemanusiaan.

Ia jelas memperjuangkan keadilan bagi dirinya sendiri, tapi fakta bahwa apa yang ia lakukan menginspirasi sebuah kelompok perempuan muda untuk meniru apa yang ia perbuat adalah hal lain. Sulkowicz memperjuangkan keadilan perempuan-perempuan yang juga menjadi korban kekerasan seksual. Ia memicu sebuah gerakan, ia melahirkan kesadaran bahwa dalam sistem pendidikan modern Amerika ada yang tidak beres, dan impunitas terhadap pelaku kejahatan seksual masih terjadi.

Sondang ketika hidup adalah aktivis Sahabat Munir, ia kerap turut ikut aksi yang berkaitan dengan isu-isu HAM. Sementara Sulkowicz memperjuangkan isu kekerasan seksual dan perkosaan. Memahami bahwa konteks gerakan mahasiswa hari ini mengalami polarisasi adalah hal yang menyenangkan. Bahwa kita tidak lagi bicara tentang kenaikan harga BBM, korupsi, tapi juga isu tentang HAM dan juga kilafah sedunia.

Idealisme semestinya lahir dari rasa peduli, rasa peduli lahir dari empati, dan empati bisa diasah dengan menjalani hidup bersama mereka yang ditindas. Tapi tentu saja, saya tidak berharap seluruh mahasiswa Indonesia untuk memiliki empati, kemanusiaan atau kepedulian terhadap sesama manusia. Bukankah nasib adalah kesunyian masing masing? Begitu juga idealisme dan tujuan hidup para mahasiswa hari ini. 

Saya selalu terhibur ketika sekelompok mahasiswa daerah datang ke Jakarta, melakukan demonstrasi di depan gedung DPR untuk menuntut tegaknya kilafah. Ini hal yang baru, barangkali saat ini seluruh gerakan mahasiswa memang telah bersepakat bahwa isu ideologi negara merupakan hal yang urgen untuk ditegakkan. Lihat saja baliho-baliho di kampus-kampus ternama Indonesia yang kerap menyelanggarakan seminar kilafah ketimbang seminar filsafat atau teknologi tepat guna.

Ini merupakan sebuah tanda progresif, mengingat ketika saat saya mahasiswa, gerakan mahasiswa praktis hanya berisi diskusi-diskusi, advokasi masyarakat dan juga sesekali seminar mengundang tokoh nasional untuk mengkritisi pemerintah. Tentu kampus hari ini semakin progresif mengingat mereka kini tidak lagi peduli dengan pemerintah, tapi lebih peduli dengan ahklak. Lihat saja betapa ramainya masjid kampus dengan acara, sementara unit kegiatan mahasiswa lain semakin jarang mengadakan diskusi kritis.

Pada akhirnya saya ingin membagi kabar, bahwa AFTA akan mengancam. Kalian para mahasiswa, yang saat ini sedang sibuk galau, mengkafirkan Syiah, menyelamatkan pribumi, jualan topeng Guy Fawkes, menyesatkan Ahmadiyah, mengkhawatirkan Kristenisasi dan berjuang menegakkan kilafah mesti paham. 

Kalian akan bersaing dan berebut ruang kerja dengan seluruh lulusan universitas-universitas terbaik di seluruh ASEAN. Maka jika kalian masih ingin bertahan hidup, saya sarankan mulai berpikir panjang. Ini bukan ancaman, ini peringatan. —Rappler.com

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Tulisannya bergaya satire penuh sindiran. Ia saat ini aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Follow Twitternya, @Arman_Dhani.

 

 

 

Sebagian isi artikel ini pernah muncul di majalah mahasiswa Unpad Djatinangor.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!