SUMMARY
This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.
LANGSA ACEH, Indonesia —Malam itu cuaca di sekitar pelabuhan Kuala Langsa berangin. Pengungsi Bangladesh bernama Mohammad Koyes dan Anis Miha yang keduanya berusia 20an tahun sudah mendengar rencana pemerintah Indonesia untuk mendeportasi mereka.
“Sekarang saya harus kembali ke Bangladesh? Tidak bisa seperti itu. Saya mau mencari kerja di Malaysia atau negara lain. Saya mau uang yang sudah dibayarkan ke agen dikembalikan. Saya membutuhkannya,” kata Anis.
“Rencananya saya akan tinggal di Malaysia selama 10 tahun. Saya akan mengumpulkan banyak uang, lalu pulang kampung. Di kampung halaman, saya ingin membeli rumah mungil dan cantik, membuka toko dan menikah. Saya ingin menikmati hidup dan tidak perlu bekerja lagi,” kata Koyes.
Ini juga menjadi impian 500 orang Bangladesh yang ada di tempat penampungan ini. Dalam kelompok ini tidak ada perempuan, semuanya lelaki berusia 20-40 tahun.
Anis Miha mengaku tidak bisa bertemu keluarganya bila tidak membawa uang. Dia meminjam uang dari kerabatnya sekitar Rp 40 juta untuk dibayarkan kepada para penyelundup.
“Sebenarnya di negara saya ada pekerjaan, tapi gajinya kecil. Itu sebabnya saya mau bekerja di Malaysia dan punya gaji besar. Tapi saya sekarang dalam masalah. Saya tidak bisa ke Malaysia atau tinggal di Indonesia dan uang saya hilang,” kata Anis.
Para penyelundup manusia mengatakan pada Anis dan Koyes bahwa perjalanan ke Malaysia hanya butuh waktu satu minggu. Tapi setelah di lautan selama 6 hari, kapten kapal meninggalkan mereka.
Saat itu ada seribuan penumpang. Mesin kapal mati sehingga mereka terkatung-katung di lautan selama dua bulan.
“Setiap hari kami hanya minum air laut. 20 hari tanpa makanan dan minuman. Sangat berat dan mengerikan,” kata Koyes.
Pengungsi Bangladesh dan Rohingya yang ada di kapal berkelahi memperebutkan persediaan makanan yang sangat sedikit.
“Para pengungsi saling berkelahi. Beberapa bahkan melompat ke laut saat perkelahian. Semua berkelahi memakai tongkat besi. Mereka saling memukul dan beberapa orang meningal. Dua teman saya meninggal.
Jika saya pulang ke Bangladesh, apa yang harus saya katakan pada keluarga saya? Saya melihat orang Myanmar mengambil tongkat hoki dan memukul kepala teman saya. Tubuhnya bersimbah darah dan saya melihat dia sudah meninggal,” kata Anis.
Saat itu Koyes berpikir dia akan mati.
“Saya sembahyang 5 kali sehari dan menjalankan ajaran Nabi Muhammad. Saya akan melakukannya seumur hidup,” kata Koyes.
Kondisi mereka lebih baik saat berada di kamp pengungsian di Aceh. Kamp orang Bangladesh dan Rohingya di Langsa dipisahkan lapangan yang cukup luas.
Tapi orang Rohingya menerima lebih banyak bantuan dari lembaga bantuan. Menurut Anis ini tidak adil.
“Orang Rohingya Muslim. Orang Bangladesh juga Muslim. Tapi mengapa kami diperlakukan berbeda? Mereka sangat ingin pemerintah Indonesia membolehkan mereka tinggal dan bekerja di sini.”
Anis dan Koyes bergantian mengatakan bahwa mereka tidak ingin pulang dan ingin bekerja di Indonesia.
Pemerintah Indonesia seharusnya memberi kami pekerjaan, apa saja. Saya akan bekerja apa saja.”
“Penjaga toko, buruh bangunan, tukang cat…apa saja.”
“Ya apa saja. Saya butuh pekerjaan karena keluarga saya tidak mampu membeli makanan. Tapi jika saya harus kembali ke Bangladesh, saya menerimanya. Tapi bagaimana dengan uang kami? Jika pemerintah membayarkan uang kami, itu tidak masalah, saya akan kembali. Jika tidak, saya tidak mau pulang. Ini masalah besar bagi keluarga saya.”
Meski mengalami hal buruk selama perjalanan, Koyes mengaku akan mencoba lagi bila dia punya uang.
“Malaysia atau negara lain. Saya akan kembali ke kampung kalau sudah punya uang untuk membangun toko kecil atau restoran. Ini semua untuk keluarga saya,” kata Koyes. — Rappler.com
Berita ini berasal dari Asia Calling, program radio mingguan dari KBR.
Add a comment
How does this make you feel?
There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.