Mari bicara kerumitan jalanan Jakarta

Adelia Putri

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

MRT, LRT, pajak progresif, apakah metode-metode ini mampu hempaskan kemacetan Jakarta?

KEMACETAN JAKARTA. Setujukah Kamu bila Jakarta disebut sebagai kota termacet di dunia? Foto oleh EPA.

JAKARTA, Indonesia — Deputi Gubernur DKI Jakarta bidang Transportasi, Perdagangan, dan Industri Sutanto Soehodo mengatakan bahwa kemacetan di Jakarta sudah memasuki tahap parah.

Ia juga berbicara tentang permasalahan transportasi Jakarta dan upaya perbaikan yang sedang diusahakan pemerintah dalam forum New Cities Summit 2015 di Ciputra Artpreneur, Jakarta, Selasa, 9 Juni.

Pada tahun 2014 saja Jakarta diberikan tahta sebagai kota termacet di dunia. 

(BACA: Terkejut? Jakarta merajai kota macet dunia 2014) 

Warga Jakarta sering berkelakar bahwa Jakarta tak perlu alasan untuk macet, malah kalau jalanan tidak macet, itu yang perlu dipertanyakan. Tapi, apakah kamu pernah bertanya-tanya, bagaimana Jakarta bisa sampai di keadaan seperti ini — sebuah keadaan penuh kemacetan di setiap sisi kota?

“Kalau kalian tanya saya bagaimana kita bisa punya kondisi kemacetan terburuk di dunia, menurut saya ini adalah akibat dari supply dan demand yang tak seimbang,” kata Sutanto.

“Angka perjalanan sangat tinggi, dan mayoritas bergantung pada kendaraan pribadi. Jumlah mobil bertambah 300 buah per hari dan hampir 1.000 motor bertambah tiap harinya. Jalanan kita kesulitan untuk menjawab pertumbuhan itu,” ujarnya.

Menurut Sutanto, rasio jalanan di Jakarta hanya 6,4 persen. Artinya, hanya ada 6,4 persen dari jumlah area Jakarta merupakan jalanan.

“Kalau mau ideal, kita harusnya seperti Singapura. Tapi kan Jakarta punya populasi yang jauh lebih besar dengan luas mirip Singapura. Kita punya 12 juta populasi di siang hari,” ujar Sutanto. 

Selain jumlah jalanan yang tidak memadai, perbaikan transportasi punya satu masalah besar: Sebuah kompetitor yang tak bisa dikalahkan —murahnya membeli motor.

“Masalahnya ada di keterjangkauan motor. Motor begitu mudah dan murah, dan Anda bisa menggunakannya berkali-kali per hari. Biayanya pun relatif lebih murah dibandingkan naik bus,” katanya.

(BACA: Konseptor awal busway bicara tentang ‘Jakarta Tanpa Macet’)

Satu-satunya solusi yang bisa diterapkan untuk mengatasinya, menurut Sutanto, adalah menyediakan alat transportasi publik yang massal dan memadai.

Setelah mass rapid transportation (MRT), ternyata pemerintah provinsi DKI Jakarta ini tengah membicarakan proyek light rail transit (LRT) selama 6 bulan terakhir. LRT dinilai akan menjadi salah satu jawaban atas problematika pembangunan transportasi massal ibu kota, terutama karena LRT membutuhkan lahan yang tidak sebanyak MRT.

(BACA: 4 fokus utama Pemprov DKI Jakarta di bawah Ahok)

“Selama ini konstruksi MRT banyak masalah, terutama mengenai pembebasan lahan. Harga naik-turun juga menyulitkan kami,” ujar Sutanto.

“LRT secara teknologi lebih fleksibel dan lebih mungkin untuk berbelok tajam dan mengikuti naik-turun jalan. Kami tidak ingin mengubah gambaran urban, kami hanya ingin membantu perpindahan warga,” ucap Sutanto.

LRT dipercaya akan mengurangi kemacetan hingga 30 persen.

“Memang masih banyak hal yang harus dilakukan, dan ini harus terus menerus dilakukan secara dinamis. Masalah akan terus ada, maka kita harus terus menyelesaikannya,” kata Sutanto.

Apakah kereta jawabannya?

Model MRT Jakarta yang sedang dibangun. Foto dari jakartamrt.com

MRT atau LRT, nampaknya sistem kereta menjadi solusi utama yang ditawarkan pemerintah. Namun apakah betul ini jawaban yang kita tunggu-tunggu?

David Allen, Head of Business Development and Special Projects in Asia Pacific dari Bombardier Transportation mengatakan bahwa sistem kereta bukanlah jawaban dari segalanya,

“MRT adalah bagian dari solusi, namun bukan solusi bagi semua permasalahan kita,” ujar David. “Kereta menyediakan kerangka transportasi. Ia mampu membawa hingga 100 ribu penumpang per jam, namun kita juga butuh jaringan pendukung lainnya seperti feeder.”

Sistem pendukung apa yang tepat adalah pertanyaan yang hanya bisa dijawab kota tersebut karena setiap kota punya karakteristik yang berbeda.

“Tram misalnya, tidak bisa diaplikasikan di Jakarta dan Kuala Lumpur. Kalau di Toronto orang akan berhenti ketika tram lewat, di tempat lain mungkin motor akan menyelinap mencari celah untuk lewat,” katanya.

Pajak progresif yang lebih tinggi, efektifkah?

Selain itu, awal bulan Juni, pemerintah menaikkan pajak progresif kepemilikan kendaraan bermotor. Tujuannya, ingin menurunkan angka pembelian mobil atau motor sekunder. Apakah ini cara yang efektif?

(BACA: Pajak progresif tak efektif kurangi jumlah kendaraan pribadi)

“Itu urusan dinas pajak sebenarnya. Namun, tujuan kenaikan ini memang untuk membuat orang malas membeli kendaraan kedua, ketiga, dan seterusnya,” ujar Sutanto. “Tapi saya sendiri ragu dengan penerapan ini. Kalau warga berhenti beli mobil, kan sebenarnya menghilangkan pendapatan kita. Yang penting itu bukan belinya, tapi dipakai atau tidak.”

“Kamu boleh punya mobil 10, tapi apa sepuluh-sepuluhnya kamu pakai? Kan tidak. Harusnya yang dinaikkan itu pajak pemakaian, bukan pembelian,” ujarnya. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!