Membangun potensi kawasan seni dan budaya di Jakarta

Elisa Sutanudjaja

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Membangun potensi kawasan seni dan budaya di Jakarta
Apa 'resep' terpenting untuk membangun Jakarta menjadi kota yang ramah seni dan budaya? Apa peran komunitas di sini?

Lain lubuk, lain belalang. Lain padang, lain ikannya.

Demikian perasaan saya pasca menyaksikan 4 presentasi dan paparan mengenai pengalaman kota dan institusi dalam menyikapi potensi kawasan seni dan budaya dalam acara Global Cultural Districts Network yang diselenggarakan sebagai bagian rangkaian New Cities Summit 2015.

Presentasi dibuka oleh Adrian Ellis, direktur dari jejaring itu, dengan memberikan studi fantastis tentang limpahan dana sebesar 250 miliar dolar AS untuk infrastruktur seni dan kebudayaan hingga jangka waktu 15 tahun ke depan. Dana tersebut berasal dari donasi (filantropi) dan negara.

Keberadaan rencana dan kawasan seni budaya yang sudah ada terpusat pada belahan utara, dengan beberapa kluster di Semenanjung Arab serta Asia Timur. Dalam studi yang sama, tidak ada satu pun kawasan seni budaya yang teridentifikasi di Indonesia.

Kebanyakan dana tersebut digunakan dan direncanakan untuk membangun fasilitas seni dan kebudayaan, seperti gedung konser megah hingga museum. Namun hanya sedikit alokasi yang ditujukan untuk kegiatan dan program seni budaya.

Praktek tersebut kerap terjadi di negara maju, termasuk di Tiongkok yang gemar membangun mega proyek dengan mengundang arsitek kelas dunia. Pada akhirnya, dalam salah satu sesi, Marina Guo dari Shanghai Theatre Academy mengisahkan betapa pemerintah Tiongkok sangat memperhatikan bangunan megah namun kurang peduli dengan manajemen gedung, kegiatan serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia.

Dalam paparan lain, Carroll Joynes dari Universitas Chicago memberikan beberapa contoh tentang kisah kegagalan berbagai kota-kota di Amerika dalam upaya membangun kawasan seni dan budaya. Misalnya, kota Biloxi di Mississippi yang menghabiskan demikian banyak uang untuk mendirikan museum. Pada akhirnya kota tersebut bangkrut, dan rencana ambisius itu yang menjadi salah satu penyebab kebangkrutan kota.

Ada harapan dalam rupa ilusi ketika di tahun 2004, kota tersebut memutuskan membangun museum, demikian kata walikotanya: “We’re hoping a fairiy godmother comes up and puts some money on the table”. Kisah dari Biloxi adalah kisah klasik kegagalan banyak kota akan harapan “Bilbao Effect”, yang telah dijabarkan dalam tulisan saya sebelum ini.

Sementara di Indonesia, setidaknya Jakarta, adalah kota yang minim infrastruktur budaya. Upaya masif membangun infrastruktur budaya sebetulnya sudah ada di jaman Gubernur Ali Sadikin melalui pembangunan Taman Ismail Marzuki (TIM) dan Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Namun tidak ada upaya masif berikutnya dari pemerintah yang berkolaborasi dengan para seniman.

Bahkan untuk pengelolaan TIM, Ali Sadikin percaya diri untuk menyerahkan kepengurusannya kepada seniman. Tak hanya mendirikan TIM dan IKJ, Ali Sadikin juga mengaktifkan museum-museum milik pemerintah. Upaya revitalisasi Kota Tua pun diinisasi pada masanya.

Indonesia memang tidak memiliki kebudayaan filantropis seperti Amerika atau banyak negara maju lainnya. Tidak hanya secara budaya namun juga secara sistem dan regulasi. Memang banyak kegiatan kebudayaan yang disponsori perusahaan dan lembaga tertentu, namun tidak untuk infrastruktur kebudayaan.

Jika kita melihat pemetaan infrastruktur kebudayaan di Jakarta seperti galeri, museum, gedung teater maka kita melihat adanya sentralisasi pada koridor Jakarta Pusat dan bagian utara Jakarta Selatan. Sementara Jakarta Barat, Timur dan sebagian Jakarta Utara sangat minim fasilitas.

Namun keterbatasan infrastruktur tersebut tidak menjadikan kendala bagi komunitas kreatif dan komunitas budaya di Jakarta. Mereka malah memakai kendala yang ada sebagai dorongan untuk mencari solusi dan alternatif ruang, dengan memakai ruang-ruang yang ada.

Di akhir tahun kemarin, komunitas Ruang Rupa berupaya mencari lokasi untuk pameran seni kontemporer yang berkisah tentang Jakarta. Mereka mencari ruang-ruang yang sudah ada untuk kemudian berkolaborasi bersama. Akhirnya mereka bekerja sama dengan pihak swasta seperti pemilik restoran dan pemilik gedung.

Siasat semacam kerap digunakan berbagai komunitas kebudayaan di Jakarta. Asalkan ada atap dan dinding, maka jadilah ruang-ruang seni dan budaya

Namun peran pemerintah tetaplah penting dalam upaya meningkatkan kegiatan kebudayaan dan menjaga kebudayaan tetap lestari. Peranan pemerintah tidak hanya didalam penyediaan infrastruktur kebudayaan, tetapi juga infrastruktur perkotaan secara keseluruhan. Misalnya, untuk mencapai pusat-pusat kebudayaan tentu memerlukan transportasi — tanpa dukungan infrastruktur transportasi tentu menyulitkan.

Saat masih menjabat sebagai gubernur, di tahun 2013 Joko “Jokowi” Widodo pernah berjanji akan mendirikan gedung pertunjukan kelas dunia di Waduk Ria Rio yang konon bisa menampung 10.000 orang. Namun di tahun 2015 ini tidak terdengar kabar berita soal rencana gedung pertunjukan tersebut.

Terlepas dari akan dibangun tidaknya namun yang direncanakan Jokowi saat itu ada risiko jika gedung pertunjukan ataupun kawasan budaya hendak dikembangkan disana. Waduk Ria Rio yang berlokasi di daerah Pulo Gadung yang selama ini lebih dikenal sebagai daerah industri, tentu perlu upaya keras untuk bisa menghadirkan suatu kompleks berbudaya sekaligus rekreasi seperti yang diilustrasikan dalam wawancara eksklusif dengan Jokowi.

Sesungguhnya cukup sulit membangun ruang pubik yang sukses karena begitu banyak kemungkinan dan tidak sekadar mencentang daftar. Untuk kota seperti Jakarta, akses dan mobilitas adalah penting, apakah sudah ada pemikiran untuk memecahkan hal tersebut?

“Resep” terpenting lain adalah pelibatan komunitas. Apakah komunitas terdekat di sana siap untuk menerima fasilitas tersebut, atau apakah sama sekali tidak terlibat?

Agar infrastruktur dan kegiatan kebudayaan berkelanjutan, maka perencanaannya harus lebih mengakar pada pengguna, untuk alasan yang sangat sederhana: karena pemerintah dan birokrat berganti dan janji politik bisa diingkari.

Elisa Sutanudjaja adalah seorang Eisenhower fellow, editor Kata Fakta Jakarta, dan co-founder rujak.org. Ia juga pengupaya sosial, pewarta ‘open data’, dan warga kota Jakarta. Follow Twitter-nya di @elisa_jkt



Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!