Google Sidewalk Labs: Kota mendorong inovasi

Elisa Sutanudjaja

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Google Sidewalk Labs: Kota mendorong inovasi
Apakah kota-kota 'setengah matang' seperti Jakarta bisa mendesain dan mengurus trotoarnya dengan baik? Bagaimana peran teknologi dalam hal ini?

Kota begitu kompleks, namun pada saat yang bersamaan, juga seksi.

Kota bukanlah sesuatu yang mudah dipahami, terlebih karena kerumitannya yang ada. Jakarta, misalnya, tiap harinya ada sekitar 9 juta hingga 12 juta orang yang mengambil beragam keputusan. Pada akhirnya, mereka akan memengaruhi dinamika mobilitas hingga politik, entah itu dari sesederhana perubahan rute satu orang dari rumah ke kantor, hingga keputusan gubernur untuk, misalnya, memberi izin reklamasi. 

Namun, terlepas dari berbagai macam masalah yang ada, ternyata Jakarta juga menyimpan serta menjanjikan banyak potensi. Setidaknya itu kesan saya ketika membaca rilis media dari Google akan peluncuran Sidewalk Labs hari ini, Jumat, 12 Juni.

Melalui akun Google+, CEO Google Larry Page mengumumkan inisiatif yang akan berfokus untuk meningkatkan kualitas kehidupan perkotaan untuk semua orang, dengan mengembangkan teknologi perkotaan yang dapat menangani isu klasik perkotaan. Isu-isu itu mencakup biaya hidup, transportasi, hingga penggunaan energi. 

Sidewalk Labs akan dipimpin oleh Dan Doctoroff, yang juga rekan dekat mantan Walikota New York City Michael Bloomberg. Setelah masa kepemimpinannya sebagai walikota, Bloomberg ditunjuk sebagai Utusan Khusus untuk Kota dan Perubahan Iklim. Bloomberg juga terkenal dengan inisiatifnya yang memberikan kesempatan kepada walikota di seluruh dunia untuk berlomba-lomba mendapatkan pengakuan sekaligus pendanaan. 

Perhatian terhadap kota memang makin menjadi-jadi akhir ini, mulai dari IBM dengan kampanye Smarter Cities yang dimulai dari tahun 2008, hingga salah satu konferensi internasional New Cities Summit yang baru saja selesai di Jakarta. Kota pun menjadi obyek komersial yang menggiurkan. 

Kendaraan umum podcar yang beroperasi di bawah tanah di kota Masdar, Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Foto oleh Mario Duran Ortiz/Wikimedia Commons

Di saat IBM mengampanyekan Smarter Cities, tentu saja mereka tak lupa menjual solusi teknologi kepada pemerintah kota. Demikian juga dengan Cisco, yang memilih mempopulerkan isu Internet of Everything, turut andil menjual solusi cloud hingga keamanan. Bahkan Citibank pun mengeksploitasi isu perkotaan melalui inisiatif dalam bidang inovasi ekonomi perkotaan

Bahwa Google akhirnya turut masuk dalam kancah perkotaan, hanya semakin menegaskan bahwa kota dan urbanisasi menjanjikan peluang dan inspirasi, terlebih yang terkait dengan inovasi. Baik Google, IBM maupun Cisco melihat permasalahan kota dengan perspektif yang berbeda, sekaligus mengajukan pertanyaan yang berbeda pula. Bagi mereka, dari kemacetan lalu lintas hingga polusi bukanlah sesuatu yang negatif, melainkan dorongan untuk berinovasi. 

Walaupun demikian, mungkin kita masih harus menduga-duga apakah Google akan memiliki nuansa yang sama dengan pendahulunya yang sangat menitikberatkan dan bergantung pada teknologi. Nuansa sama seperti Uber hingga GE atau IBM yang sama-sama mengeksploitasi masalah perkotaan demi menghasilkan keuntungan. 

Bagaimana dengan kota-kota di Indonesia, terutama Jakarta, terkait dengan makin banyaknya inovasi teknologi yang terinspirasi dari perkotaan dan masalahnya?

Untuk kota-kota di Indonesia yang sebagian besar tidak mampu mendesain dan mengurus trotoarnya dengan baik, solusi dan inovasi yang ditawarkan belum tentu bisa diserap dengan baik. Solusi yang sarat dengan teknologi tinggi memang hanya cocok dengan kota-kota yang sudah memiliki tuntutan teknologi tinggi, seperti Seoul hingga Pittsburgh atau San Francisco. 

Pengendara motor melintasi trotoar membahayakan pejalan kaki. Foto dari Koalisi Pejalan Kaki/Facebook

Sesungguhnya kota-kota di Indonesia tidak sendirian, karena masih banyak kota-kota di belahan bumi selatan yang belum sepenuhnya mampu menyerap kemajuan teknologi. Karenanya saya berpikir, alangkah baiknya jika Google mampu mengisi gap yang ada, yang selama ini kurang dilirik oleh raksasa inovasi. 

Apakah Google mampu menciptakan inovasi dan teknologi yang tidak diskriminatif? Inovasi yang terlalu canggih pun hanya membuat jurang pemisah semakin besar dari kota-kota yang sudah siap dan modern dengan kota-kota yang masih “setengah matang” atau “tanggung”, seperti di Indonesia. 

(BACA: Keselamatan pejalan kaki di Indonesia terancam)

Saya melihat karakteristik tertentu yang banyak muncul di sebagian besar kota-kota Indonesia, terutama kota primer dan sekunder, yang berbeda dengan kota-kota maju sasaran IBM dan Cisco. Tingkat penggunaan telepon selular, termasuk di antaranya ponsel pintar, adalah tertinggi di dunia, bahkan dengan waktu penggunaan hingga rata-rata 3 jam per hari. Namun di saat bersamaan, warga tersebut tinggal di dalam kota-kota yang seakan tidak tersentuh oleh perencanaan, infrastruktur yang baik hingga teknologi. Indonesia pun tak tuntas dalam mengalami revolusi industri.

Secanggih apapun teknologi yang mungkin ditawarkan, sesungguhnya pembangunan perkotaan membutuhkan yang lebih dari inovasi teknologi. Internet of things ataupun analisa big data belum tentu bisa mendapatkan hasil-hasil yang muncul dari penelitian antropologi hingga pertemuan partisipatif oleh warga kota. Kebijakan dan inovasi baru kerap kali bukan muncul dari analisa ribuan CCTV dan hasil kalkulasi komputer super, melainkan dari diskusi-diskusi yang ada di Balai Kota. 

Sesungguhnya siasat dan inovasi warga dari kota-kota ‘setengah matang’ seperti Jakarta adalah salah satu yang mungkin tidak terbayangkan oleh perusahaan teknologi tinggi. Contoh inovasi itu misalnya ojek, yang lahir sebagai siasat untuk menanggulangi kemacetan lalu lintas. Tentu akan menarik jika seandainya Sidewalk Labs juga mengambil porsi dalam upaya menciptakan solusi orisinil seperti ojek. 

(BACA: Minta digampar: Jangan rebut hak pejalan kaki)

Tak hanya strategi inovasi Sidewalk Labs yang ditunggu-tunggu, namun bagaimana kiprah kaum muda dalam mendorong inovasi perkotaan. Generasi muda yang lahir di tahun 1990an tumbuh dan besar dengan zaman informasi dan teknologi yang berganti dengan cepat.

Mereka adalah kaum-kaum yang akrab dengan teknologi dan mendapat pendidikan yang lebih baik daripada generasi sebelumnya. Generasi muda-lah yang pada saat mereka dewasa nanti akan harus menjalani konsekuensi dari keputusan dan banyaknya kesalahan di masa lampau. 

Salah satu perbedaan mendasar generasi terdahulu, atau analog, dengan generasi millennial adalah kemudahan mereka berpindah tempat, mencari kota yang lebih memberi peluang dan menjanjikan. Kaum muda seharusnya mendapatkan porsi dan perhatian besar dalam menentukan rencana penataan ruang, karena mereka tahu apa yang mereka cari dan harapkan dari kota. 

(BACA: Membangun Jakarta sebagai kota ramah gender)

Para penentu kebijakan perkotaan selama ini hasil produksi pendidikan ‘analog’. Bagaimana mungkin kebijakan tata ruang ‘analog’ yang berlaku jangka panjang hingga 20 tahun diterapkan pada era digital seperti ini?

Saya menaruh harapan besar pada generasi muda dalam upaya terus mencari solusi untuk kota-kota Jakarta. Harapan yang sama juga untuk inisiatif terbaru Google, yaitu agar mereka berminat untuk menaruh perhatian pada sebagian besar kota-kota belahan selatan, yang memang masih dalam masa transisi perubahan analog ke digital ini. 

Lakukan lebih dari mencari teknologi tercanggih, tetapi carilah teknologi yang membantu segenap warga perkotaan tanpa pandang bulu tingkat kecanggihan mereka, agar dapat melakukan revolusi perkotaan menjadi lebih lestari. —Rappler.com

Elisa Sutanudjaja adalah seorang Eisenhower fellow, editor Kata Fakta Jakarta, dan co-founder rujak.org. Ia juga pengupaya sosial, pewarta ‘open data’, dan warga kota Jakarta. Follow Twitter-nya di @elisa_jkt.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!