Jokowi marah soal ‘dwelling time’ di Tanjung Priok, apa solusinya?

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Setiap menjelang musim Ramadan dan Lebaran, biasanya para petinggi Indonesia meninjau lokasi yang dianggap penting untuk kelancaran arus barang dan orang. Salah satunya adalah Pelabuhan Tanjung Priok.

Pengemudi motor melintas di depan kargo-kargo di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Foto oleh Bagus Indahono/EPA

Rabu, 17 Juni, Presiden Joko “Jokowi” Widodo berkunjung ke pelabuhan terbesar di Indonesia yang terletak di utara ibukota Jakarta. Hasilnya, sebagaimana kita pantau di pemberitaan media, Jokowi marah-marah, karena dwelling time yang masih cukup lama, yaitu 5,6 hari. Targetnya adalah 4,7 hari.  

Dwelling time adalah waktu tunggu peti kemas di pelabuhan. Ini faktor penting dalam menentukan kinerja sebuah pelabuhan, dibandingkan dengan pelabuhan lain di sebuah kawasan.

Waktu tunggu pelabuhan di Indonesia rata-rata paling lama di kawasan ASEAN. Pendiri dan pemimpin Asosiasi Pengusaha Indonesia, Sofyan Wanandi, pernah mengatakan bahwa waktu tunggu di pelabuhan Singapura rata-rata 1,5 hari, di Malaysia 3 hari, dan Thailand 4 hari. 

“Di Indonesia ini bisa 14 hari,” kata Sofyan, dua tahun lalu. Menurut Sofyan, penyebabnya adalah sulitnya koordinasi antar instansi yang terlibat di area pelabuhan: Ego sektoral. Kini, di pemerintahan Jokowi-JK, Sofyan Waandi duduk sebagai koordinator staf wakil presiden di bidang ekonomi.

Menilik data Sofyan Wanandi terkait dwelling time di negara papan atas di ASEAN, pantas jika Jokowi gusar. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indroyono Soesilo yang hadir dalam kunjungan Rabu kemarin ikut kena semprot, begitu juga pejabat yang hadir, termasuk Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II RJ Lino. Jokowi bahkan mengancam tak segan mencopot pejabat yang bertanggung jawab, dari petugas lapangan hingga menteri.

Berkantor di pelabuhan

Menteri Keuangan Chatib Basri di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah menugasi Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar untuk berkantor minimal dua hari dalam sepekan di Pelabuhan Tanjung Priok. Tujuannya untuk mengawasi secara langsung koordinasi antar instansi dan memastikan dwelling time tak lebih dari empat hari. Ada 18-an instansi dari 8 kementerian yang memiliki otoritas di pelabuhan.  

“Ego sektoral tinggi, perlu diterobos dengan menunjuk siapa yang paling berwenang di pelabuhan, agar waktu tunggu turun dan proses arus barang lebih efisien,” kata MS Hidayat, mantan Menteri Perindustrian.

Hidayat yang saya wawancarai via telepon, Kamis, 18 Juni, mengatakan saat itu dirinya bahkan meminta waktu tunggu dipangkas menjadi dua hari. Hanya beberapa minggu Wamenkeu Mahendar Siregar bertugas mengawasi langsung, dia mendapat tugas baru sebagai kepala Badan Koordinasi Penamanan Modal. Kembali koordinasi di pelabuhan menjadi abu-abu, semua merasa tak mau dilangkahi, apalagi dikurangi kewenangannya.  

Di media massa saat itu Dirut Pelindo II RJ Lino sempat menuding instansi Bea dan Cukai menjadi penyebab lambatnya dwelling time. Proses di Bea dan Cukai, kata Lino, sekitar 4,8 hari dari total 9 hari tunggu. Kebandelan pengusaha importir juga berperan besar. 

Tim Ombudsman pernah menerbitkan penyebab lambatnya dwelling time di empat pelabuhan utama Indonesia termasuk Tanjung Priok. Bisa dilihat dalam daftar Ombusdman, lemahnya koordinasi antar sektor. Misalnya di situ disebut, Cargo Manifes yang diterima Ditjen Bea dan Cukai tidak segera diinformasikan ke instansi terkait termasuk Badan Karantina. Juga banyaknya peti kemas yang harus diperiksa satu per satu di jalur merah.   

Tampak aerial Tanjung Priok, Jakarta Utara, dari atas helikopter Wakil Presiden Jusuf Kalla, 18 Juni 2015. Foto oleh Staf Khusus Wapres Hussain Abdullah

Bulan Maret lalu, Menko Indroyono menugasi Menteri Perhubungan Ignasius Jonan untuk memegang kendali penurunan dwelling time di pelabuhan. Targetnya menurunkan dari delapan hari menjadi 4,7 hari rata-rata, sebagaimana kehendak presiden. Jonan diminta siapkan otoritas pelabuhan untuk memantau kegiatan terkait perizinan. Semua bisa dipantau secara online.

Menilik kemarahan Jokowi, nampaknya upaya itu belum berjalan. Padahal Jokowi memiliki data bahwa buruknya waktu tunggu menimbulkan kerugian tak kurang dari Rp 780 triliun, dari inefisiensi biaya logistik.

Usulan dari INSA

Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Perkapalan Indonesia (INSA) Carmelita Hartoto senada dengan presiden, soal membengkaknya biaya logistik karena waktu tunggu yang lama.

“Soal dwelling time di Priok yang buruk memang menjadi masalah kita karena memicu biaya logistik tinggi. Ini tidak mudah untuk diatasi, kecuali pemerintah bergerak cepat untuk membagi konsentrasi aliran barang agar tidak menumpuk di Priok saja,” kata Carmelita, saat saya kontak melalui telepon Kamis.

“Saya tanya, enggak ada jawabannya, ya saya cari sendiri jawabannya dengan cara saya. Kalau sulit, bisa saja dirjennya saya copot, pelaku di lapangan saya copot, bisa juga menterinya yang saya copot,” kata Presiden Jokowi.

Selain ego sektoral, kurangnya koordinasi dan lemahnya eksekutor di lapangan, Carmelita menilai kapasitas pelabuhan Tanjung Priok sudah tidak memadai. “Salah satu solusi yang harus direalisasikan adalah dengan  membangun pelabuhan baru. Cilamaya adalah opsi yang paling baik karena akan mengalihkan sebagian besar arus barang yang selama ditangani di Priok,” katanya.  

Dia juga mengingatkan ada pelabuhan Cikarang Dry Port yang tak jauh dari Jakarta, tapi dikelola swasta. “Masalahnya maukah Pelindo mengalihkan sebagian dari bebannya ke pelabuhan lain?,” tanya Carmelita.

Hidayat mengatakan debat soal pelabuhan Cilamaya sudah berlangsung lama. “Semoga Pak Jokowi mengambil keputusan. Kalau tidak, inefisiensi logistik bakal terjadi terus,” kata Hidayat. 

Pelabuhan Cilamaya menyimpan masalahnya sendiri. Pertamina keberatan jika pemerintah membangun pelabuhan di situ.  

Ada juga usulan lain, revitalisasi pelabuhan Kalibaru. Problemnya sama. Akses menuju kesana. Carmelita mengatakan, tidak layaknya Tanjung Priok juga dilihat dari kian padatnya jalur keluar masuk ke sana. “Saat ini truk bisa satu kali jalan. Dulu bisa tiga kali bolak-balik. Bagaimana mau efisien? Makanya ini soal antar instansi.  Tidak bisa disalahkan ke menteri,” kata Carmelita.

Pembentukan Badan Otoritas Pelabuhan dan layanan 7 hari 24 jam juga ditawarkan sebagai solusi. Menurut kajian INSA, menaikan terminal handling charge (THC) sebesar 300% sebagaimana yang dilakukan di era SBY terbukti tidak menyurutkan niat importir menumpuk barang di pelabuhan.  

“Daripada mereka sewa lahan penyimpanan di luar area pelabuhan, lebih baik mereka bayar kenaikan THC. Ini dibebankan ke konsumen. Tidak heran, biaya logistik menyumbang ke harga produk yang mahal. Ekonomi biaya tinggi,” kata Carmelita.

Membaca kemarahan Jokowi, dan menilik siapa saja birokrasi yang terlibat dalam pengelolaan penanganan barang di pelabuhan, sebenarnya ada ironi. Di tingkat menteri orangnya memang berubah. Tapi di level pelaksana lapangan termasuk orang-orang di Bea dan Cukai serta bos PT Pelindo II, masih dijabat orang yang sama, RJ Lino.  

Dirjen Bea dan Cukai Agung Kuswandono baru saja dilantik jadi salah satu deputi di kantor Menko Indroyono. Mereka-mereka ini bisa segera dimintai pertanggungjawaban atas kinerja selama ini. Kok problem lama tak kunjung ada solusi dan berhasil?

Sebagai konsumen, kalau pemerintah serius memastikan biaya logistik kian efisien sehingga harga barang kian terjangkau, tentu saya mendukung. Apalagi menjelang Lebaran seperti ini, ketika harga naik karena beragam sebab termasuk sentimen lonjakan permintaan.  

Anomali, makan sehari berkurang frekuensinya tapi permintaan bahan makanan naik. Ujungnya adalah inflasi tinggi selama Ramadan dan Idul Fitri.—Rappler.com

Uni Lubis adalah seorang jurnalis senior dan Eisenhower fellow. Dapat disapa di @UniLubis.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!