Kenangan bulan Ramadan seorang Kristen

Kristian Erdianto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kenangan bulan Ramadan seorang Kristen

EPA

 

Bulan Ramadan akan selalu meninggakan kesan tersendiri bagi saya. Ya, saya seorang Katolik dan masa puasa hingga Lebaran memiliki arti begitu mendalam bagi diri saya pribadi. Ini pertama kalinya saya menulis tentang perasaan dan pengalaman yang saya rasakan setiap bulan Ramadan. 

Sejak lahir dan besar di lingkungan keluarga kecil Katolik, saya memiliki kenangan begitu berkesan dari keluarga besar kakek-nenek yang mana sebagian besar Muslim. Tulisan ini mungkin bisa Anda lihat sebagai respon saya terhadap ramainya perbincangan di media sosial perihal boleh tidaknya warung makan beroperasi selama puasa.

Tentu saja anda boleh melihatnya sebagai sebuah pandangan atas maraknya postingan situs-situs radikal yang seringkali menebar kebencian serta menyudutkan agama tertentu ketika tidak sesuai dengan persepsi seseorang.

Tidak pernah terpikir sebelumnya untuk menulis seperti ini sampai suatu sore saya melihat nenek saya di dapur, mengangkat sebuah wajan besar. Ketika saya tengok, isinya ternyata adalah opor ayam yang biasa disantap dengan ketupat. 

Lalu saya tanya kepadanya, “Lho, masak lagi? Bukannya tadi sudah menggoreng tempe dan bikin sambel bawang?” Ia hanya menjawab dengan singkat, “Ini buat nanti puasa. Mau kirim untuk saudara dan tetangga buat buka puasa.”

(BACA: Menteri Agama: Hormati yang tak puasa, warung tak perlu tutup)

Sejak kecil saya tinggal dan dibesarkan oleh kakek dan nenek dari ibu saya yang sudah lama meninggal. Kakek dan nenek saya seorang Katolik, atau memutuskan menjadi seorang Katolik saat usia mereka berdua masih belia. Mereka berasal dari keluarga Jawa Timur yang begitu kental dengan nuansa Islam. Kata nenek saya, keluarga buyut adalah warga Nahdlatul Ulama (NU) yang sangat taat. 

Saya sempat heran, kok bisa-bisanya sebuah keluarga Jawa Timur yang dikenal keras bisa memiliki anggota keluarga mbalelo. Seorang Kristiani. Apa jangan-jangan kakek nenek saya ini sudah tidak dianggap di dalam keluarga buyut? Apa mereka sudah dicap kafir oleh sebagian besar saudara-saudaranya dan diusir dari rumah kemudian pergi merantau?

Dulu sebelum mengenal sosok Gus Dur, saya kira keluarga buyut adalah orang-orang yang memiliki pemikiran seperti Hafidz Ary atau Felix Siauw yang cangkem-nya terlalu enteng mengkafirkan seseorang. Ternyata saya salah.

(BACA: Ibu dan Ramadan)

Dulu, kakek kerap membawa saya pulang kampung menjelang hari raya Idul Fitri. Kebiasaan mudik lebaran menjadi momen paling menggembirakan saat itu. Meski sebagai seorang Kristiani, kakek selalu memilih pulang kampung saat Lebaran, bukan saat Natal atau pun Paskah. Biasanya semua sanak saudara berkumpul di rumah buyut di Jawa Timur. Kalau tidak salah nama kampungnya Tulakan, Kabupaten Pacitan. 

Kakek tidak pernah menganggap ritual pulang kampung ini sebagai sebuah kesempatan untuk berlibur atau sekedar meramaikan Lebaran. Oh, tidak. Kakek dan nenek tidak se-kaya itu untuk menghambur-hamburkan uang hanya karena ingin ikut macet-macetan di sepanjang jalur Pantura. Ada kebiasaan yang tidak akan pernah bisa mereka tinggalkan sebagai orang Jawa. Bersilahturahmi.

(BACA: Menjual bulan Ramadan, sebuah masalah moral)

Dari seluruh keluarga besar kakek dan nenek, hanya mereka berdua yang memeluk agama Katolik. Saudara, kakak, dan adik mereka semuanya adalah pemeluk Islam yang ramah. Saya tidak pernah merasa dibedakan atau diperlakukan sebagai orang asing. Tidak pernah merasa diasingkan dengan adanya perbedaan yang cukup mencolok. 

Kami biasanya tiba di Pacitan beberapa hari sebelum Idul Fitri. Selama di sana hingga Lebaran, saya sama sekali tidak pernah dilarang untuk makan dan minum. Pakdhe dan Budhe saya tidak pernah menunjukkan raut wajah terganggu karena melihat saya makan dan minum di dapur. Kehidupan berjalan seperti biasa. Budhe saya tetap menanak nasi di dapur untuk buka puasa. Buyut saya tetap mbabati rumput dan ngangon wedus

Tidak pernah ada larangan makan dan minum pada siang hari. Justru kakek dan nenek yang sering mengingatkan saya untuk tidak makan minum di luar rumah. Pada saat hari raya Idul Fitri, saya diperlakukan layaknya seorang Muslim. Sungkeman, saling bermaafan, dan makan opor ayam.

Jika sedang tidak pulang kampung, rumah kakek dan nenek di Cilegon pun tidak kalah ramainya saat Lebaran. Bahkan biasanya lebih ramai ketimbang Natal dan Paskah. Sering anak-anak kecil di sekitar rumah datang untuk meminta duit Lebaran atau tetangga yang datang hanya untuk sekedar mencicipi ketupat sayur dan kue kering bikinan sendiri.

Semua kenangan akan hari raya itu saya alami selama masa kanak-kanak, dan saya sadari sekarang bahwa hal itu telah menjadi proses pembelajaran mengenal makna toleransi sesungguhnya. Perasaan memanusiakan manusia lain, tanpa harus memiliki tendensi untuk menghakimi, tanpa mencari siapa yang benar, siapa yang salah, dan siapa yang lebih berhak masuk surga.

Setelah cukup dewasa, tinggal di kota besar, saya menjadi tidak terlalu polos untuk menyadari bahwa sering kali manusia hidup dalam pengkotak-kotakan. Saya jengah ketika melihat begitu banyak konflik sosial yang terjadi karena perbedaan agama. Sudah begitu lama saya tidak lagi merasakan perasaan yang sama ketika ikut merayakan lebaran di Pacitan. 

Saya tidak lagi menemukan makna sesungguhnya dari kata toleransi yang hari ini begitu sering dipelintir sedemikian rupa oleh banyak orang. Kita mudah sekali diganggu dengan hal-hal sepele seperti boleh tidaknya warung makan ketika puasa, siapa harus menghormati siapa. Sama dangkalnya ketika orang-orang yang meributkan perkara boleh atau tidak mengucapkan selamat Natal menjelang bulan Desember.

Awal bulan Ramadan tahun ini memberikan makna tersendiri bagi diri saya sebagai seorang Katolik. Kurang lebih, saya juga merasa ikut merayakan suasana Lebaran. Tentu saja saya memaknai Ramadan secara berbeda dengan saudara-saudara Muslim. Saya tidak ikut salat tarawih berjamaah. Saya tidak ikut berpuasa. Saya tidak ikut menunaikan salat Ied.

Tetapi saya percaya momen ini menjadi kesempatan saya untuk kembali belajar–setidaknya dari keluarga saya — menjadi seorang manusia yang humanis. Seorang manusia yang sejatinya tidak hidup dalam kotak-kotak berlabel SARA. 

Selama sebulan ini saya akan kembali diingatkan tentang bagaimana caranya hidup berdampingan tanpa harus ada institusi mengatur apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Tanpa harus diminta, saya akan menghormati siapa saja yang pantas saya hormati. Dari Lebaran, saya kembali belajar menjadi manusia yang toleran. 

“Ah, mungkin saya hanya terlalu rindu akan kenangan masa lalu,” ucap saya dalam hati. Selesai menulis, saya menghampiri nenek dan mencium pipinya, menyapa dia dengan panggilan darling. Entah kenapa. Saya hanya ingin melakukannya. —Rappler.com

Kristian Erdianto adalah seorang penulis di VOICE+ Magazine. Ia dapat disapa di @Kristian_Er

Tulisan ini adalah bagian dari Cerita Ramadan. Sebelumnya diterbitkan di blog pribadi penulis kristianerdianto.blogspot.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!