Kata perempuan vs kata pria: Menjadi jomblo ibu kota

Adelia Putri, Tasa Nugraza Barley

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kata perempuan vs kata pria: Menjadi jomblo ibu kota
Menjadi jomblo di Jakarta. Apakah menyenangkan?

Kolom ini membahas berbagai macam isu yang berkembang di masyarakat Jakarta dan Indonesia — baik yang serius dan yang nyeleneh — dari dua sudut pandang yang berbeda. Adelia, seorang wartawan, melihat dari sisi perempuan, sementara Tasa, seorang praktisi komunikasi, mencoba membahasnya dari sudut pandang pria. Topik pekan ini adalah menjadi jomblo di ibu kota. Apakah menyenangkan?

——–

Teman saya tertawa ketika saya bertanya, apakah menyenangkan menjadi seorang jomblo di Jakarta. Bukannya menjawab, dia malah balik bertanya.

Well, sebagai pekerja kantoran, kita hanya punya 24 jam sehari, di mana 8 jam dihabiskan untuk kantor, 6 jam dihabiskan di jalan, dan 7 jam untuk istirahat, maka hanya ada sisa 3 jam yang mesti kamu tentukan — apakah 3 jam itu untuk dirimu sendiri atau untuk pasangan?”

Pertanyaan bagus. Kalau dipikir-pikir, betul juga kan? Dengan segala kesibukan di kehidupan ibu kota, punya pasangan berarti punya tambahan “pekerjaan” yang harus dijalani, mulai dari membalas SMS, menanyakan kabar, sampai menyempatkan waktu bertemu. Orang-orang sering lupa kalau punya pasangan juga berarti punya tambahan kewajiban baru, dan yang namanya kewajiban = usaha.

Yakin, mau menggunakan sisa waktu yang cuma sedikit untuk usaha lagi?

Apakah jadi jomblo di Jakarta menyenangkan? Terlepas dari beberapa patah hati sepihak yang pernah saya alami, saya bisa jawab: Ya. 

Saya selalu punya pacar sejak umur belasan, dan ketika akhirnya saya single lagi, wah, rasanya begitu membebaskan. Di 2,5 tahun terakhir ini, saya akhirnya punya kesempatan untuk dekat dengan kawan-kawan baru, mencoba hal-hal baru seperti menari dan ikut kontes pageant, dan mengejar hal-hal yang baru saya temukan. 

Baru-baru ini saya bertanya pada sang mantan pacar, sebenarnya apa yang salah dengan hubungan kami dahulu. Dia bilang, “Kita selalu bersama-sama sampai kita lupa ada orang lain. Kamu nggak punya temen deket selain aku, kan?” Betul juga. 

Kini, saya punya jadwal malam minggu dengan orang-orang berbeda dan bisa berteman dengan siapapun tanpa harus khawatir ada yang cemburu. Saya kembali masuk ke dunia di mana orang-orang lain adalah makhluk nyata. Ibarat lagu dangdut, dunia tak lagi milik berdua.

Tapi, apa iya, mau terus sendiri hanya karena malas berusaha atau tidak ingin terkekang?

Atau, kalau kata sahabat saya dulu: “memangnya kamu nggak kangen punya orang khusus yang bisa diajak berbagi momen spesial, hanya untuk berdua?” 

Mungkin “menyenangkan” atau “tidak menyenangkan” kembali ke bagaimana kita menyikapi hubungan yang sedang (atau akan) dijalani. Mungkin kalau kewajiban-kewajiban yang tadi saya bilang tidak dianggap sebagai kewajiban tapi keinginan, mereka bisa berubah bentuk jadi hiburan di sela-sela kesibukan. Dan mungkin juga, punya orang untuk menemani dan menyemangati, meski hanya 3 jam sehari, bisa membuat sisa 21 jam lainnya jauh lebih menyenangkan.

So, is it fun being single in Jakarta? It surely is. Tapi, seperti yang band Serieus bilang, “Sendiri itu asyik, tapi berdua pasti lebih menyenangkan.” 

Adelia Putri, 24 tahun, adalah multimedia reporter Rappler Indonesia. Follow Twitter-nya di @AdeliaPutri. 

Jadi jomblo atau tidak sebenarnya sama-sama enak dan sama-sama tidak enak, semuanya tergantung situasi dan kondisi, serta termasuk juga usia.

Ada banyak alasan yang digunakan oleh mereka yang belum punya pacar, terutama yang sudah bertahun-tahun lamanya. Salah satu slogan yang paling sering mereka gunakan adalah: “Jomblo itu pilihan.”

Namun, apapun alasannya, kalau kamu masih masuk kategori muda atau dewasa muda, jelas jadi jomblo di ibu kota itu seru, menegangkan, bahkan terkadang fenomenal. Betapa tidak, Jakarta itu pusat segala sesuatu di negeri ini, apapun yang kamu cari ada di sini. Tapi tentu dengan segala konsekuensinya.

Kalau kamu suka nongkrong, atau menghabiskan waktu berjam-jam tanpa tujuan yang jelas dengan teman-teman, sudah pasti Jakarta tempat yang paling pas. Di sini, kehidupan berjalan 24 jam, tanpa henti, selalu berisik hingga tengah malam. Kamu tiba-tiba lapar di jam 12 malam? Tidak perlu khawatir, penjual makanan baik yang tradisional sampai modern masih ada saja yang buka.

Buat yang jomblo, punya pasangan sepertinya terlihat begitu menyenangkan, paling tidak ada yang menemani kalau pergi ke acara-acara penting seperti pernikahan. Tapi, sebelum memutuskan cari pasangan, ada baiknya kamu menimbang segala konsekuensinya.

Selain kebebasan kamu akan lenyap walau mungkin hanya sebagian, kamu juga harus tahu bahwa perempuan ibu kota itu manjanya nggak ketulungan. Mungkin karena merasa diri mereka begitu berharga, dikejar oleh para pejuang cinta setiap harinya, mereka seringkali jual mahal dan punya lusinan bahkan puluhan syarat yang berlaku apabila kamu mau mendekati.

Perempuan ibu kota, misalnya, anti kalau pergi tanpa dijemput, apalagi untuk kencan pertama. Kemudian, ada juga peraturan tidak tertulis di dalam budaya Indonesia yang menyebutkan bahwa laki-laki itu harus selalu membayar segala macam pengeluaran di saat berkencan, sementara si perempuan hanya perlu dandan, berbicara seperlunya, dan duduk manis sambil sesekali tersenyum.

Dengan masih melemahnya rupiah, yang membuat harga-harga melambung, tekanan inflasi dan kemudian faktor-faktor ekonomi global yang tidak menguntungkan perekonomian nasional, ada baiknya kamu pikir-pikir dulu sebelum “menembak” sang idaman. Lebih baik kumpulkan uang dulu yang banyak dan habiskanlah waktu untuk bersenang-senang sebelum apa yang namanya “kebebasan” itu hilang.

Namun kamu tentu tidak mau selamanya jomblo. Ada waktunya di hidup kamu di mana akhirnya kamu bilang, “OK, ini waktunya gue serius.”

Jadi jomblo bukan pilihan bijak ketika kamu sudah dituntut jadi dewasa karena tingginya tekanan sosial ibu kota. Kamu tidak mau selamanya datang ke acara reuni sekolah atau kampus tanpa membawa pasangan, kan?

Kamu pasti tidak mau dijadikan obyek belas kasihan teman-teman dan keluarga setiap kali mereka membicarakanmu. Ketika berkumpul, kamu jadi tidak nyaman dan salah tingkah sendiri ketika orang lain mulai membicarakan soal rencana pernikahan, liburan bersama pacar atau istri, bahkan rencana membesarkan anak. Belum lagi tante-tante kamu yang selalu saja menanyakan: “Kapan kawin?”

Lama-lama kamu pasti juga jengah melihat teman-teman kamu yang selalu menyombongkan pasangan masing-masing di linimasa media sosial lewat foto dan video. Terkadang kamu bahkan merasa tersindir. Kamu pun bertekad di dalam hati, “OK, gue harus punya pacar!”

Tasa Nugraza Barley adalah seorang konsultan komunikasi di Jakarta. Ia suka membaca buku dan berpetualang, dan dapat disapa di @BarleyBanget.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!