Filipino movies

Selamat ulang tahun, Jakarta: Yuk, puasa pembangunan

Ardi Wirdamulia

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Apa yang bisa Jakarta pelajari dari bulan puasa?

Ikon kota Jakarta, Monumen Nasional (Monas), di Jakarta Pusat. Foto oleh EPA

Ulang tahun Jakarta tahun ini akan jatuh pada bulan baik Ramadan. Saya bayangkan kemeriahannya akan jauh berkurang. Di bawah bayang-bayang Ramadan Sale, perayaan apa saja memang akan mati gaya.

Namun apa yang sebenarnya kita rayakan setiap 22 Juni ini? Rasa syukur bahwa kita harus melewatkan 5 sampai 6 jam setiap hari di tengah kemacetan? Kebanggaan terhadap kehadiran gedung-gedung tinggi tanpa fasilitas umum yang memadai? Kegairahan karena setiap saat bisa ada segerombolan orang yang mengacungkan tongkat dan parang di jalanan?

Kota ini salah urus. Sudah lama demikian. Gubernur datang dan pergi. Wajah kota tetap memburuk setiap hari. Toh, kita tidak beranjak pergi. Karena seburuk-buruknya Jakarta, sungai uangnya ada di sini.

Jakarta begitu serakahnya menyerap sumber daya perekonomian. Baik itu modal, teknologi, sumber daya manusia, dan juga energi. Menumpuknya tanpa ingin berbagi. Membuat tikus, kita-kita ini, bisa mati terhimpit padi.

Kata kuncinya serakah. Dan ini mengingatkan saya dengan apa yang harus kita lawan sepanjang bulan Ramadan dengan berpuasa. Kota ini perlu berpuasa dan nantinya berzakat. 

(BACA: Menjual bulan Ramadan, sebuah masalah moral)

Faisal Basri, saat kampanye menjadi calon gubernur DKI Jakarta tiga tahun yang lalu, sudah bilang puasa pembangunan. Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama sekarang masih sibuk bikin jalan tol/non-tol. Malah mau reklamasi pantai Jakarta. Suram.

Puasa pembangunan tentu tidak dimaksudkan untuk mematikan kota. Hanya menjadi sinyal bahwa Jakarta tidak perlu memperbesar sumber daya ekonominya lagi. Para pengusaha silakan membawa bisnisnya ke kota lain untuk bertumbuh.

Memang nggak mudah untuk berpuasa. Apalagi puasa pembangunan. Semua orang takut lapar atau tidak kebagian. Tapi kenapa kita bisa taat puasa sebulan penuh? Karena beriman? Barangkali. Tapi saya akan perlihatkan alasan lain dari sifat alami manusia. Sesuatu yang bisa ditiru Jakarta.

(BACA: 4 fokus utama Pemprov DKI Jakarta di bawah Ahok)

Ada kejelasan jangka waktu untuk menahan dan itu masuk akal. Tiga puluh hari adalah selang waktu yang bagus. Cukup lama untuk membentuk kebiasaan yang baik. Namun tidak sampai membuat orang merasa berlebihan. Bayangkan kalau anda disuruh puasa 6 bulan dalam setahun.

Puasa pembangunan selama 5 tahun seperti yang ditawarkan Faisal Basri masuk akal. Dalam 5 tahun, kita bisa merasakan perubahan yang berarti. Kalau kita mau.

Ada kejelasan, tentang apa yang dilarang atau membatalkan puasa dan ada dalam batas kemampuan kita. Tidak boleh makan, minum, dan bersetubuh hanya dari imsak sampai maghrib. Coba kalau tiga hari tiga malam?

Puasa pembangunan bisa difokuskan pada puasa terhadap infrastruktur baru dan perizinan sentra-sentra ekonomi. Rawat dan tingkatkan kualitas dari yang ada. Jangan ditambah. Tentu saya nggak hanya bicara yang besar. Yang kecil pun harus puasa.

Terakhir, dan ini yang paling penting, adalah pemahaman tentang motivasi berpuasa.

Baiklah. Saya memang sinis terhadap masyarakat ini. Saya curiga hanya sebagian kecil dari yang berpuasa melakukannya karena ikhlas. Selebihnya punya motivasi pribadi. Dari yang takut masuk neraka sampai yang nggak enak sama mertua.

Orang-orang seperti ini perlu mendapat tawaran nilai lain. Misalnya, dalam bentuk penghormatan dari masyarakatnya. Hal-hal seperti inilah yang membuat mereka tahan berpuasa. Ikhlas? Jauh.

Saya nggak yakin ada yang ikhlas untuk puasa pembangunan. Apalagi ini tidak punya kaitan dengan surga atau neraka. Jadi harus ada bentuk tawaran nilai lain yang membuat orang tahan berpuasa pembangunan.

Saya duga, tawaran nilainya tidak jauh dari penghormatan masyarakat. Pemerintah DKI perlu merencanakan kampanye yang cukup masif untuk menghormati para pengusaha yang memindahkan bisnisnya ke luar Jakarta.

Namun sebelum itu, harus ada upaya untuk menanamkan kesadaran berpuasa pembangunan. Bahwa Jakarta bisa menjadi kota yang nyaman jika semua orang menahan diri. Begitu. —Rappler.com

Ardi Wirdamulia adalah doktor ilmu marketing dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang sedang belajar menulis artikel populer. Follow Twitter-nya di @awemany.

Tulisan ini adalah bagian dari Cerita Ramadan

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!