Tuna netra di Bali: Hak kami menikmati trotoar jangan dirampas

Luh De Suriyani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Tuna netra di Bali: Hak kami menikmati trotoar jangan dirampas
Penyandang tuna netra di Bali tak hanya menghadapi bahaya terperosok di trotoar berlubang ketika berjalan kaki, mereka juga kerap diamuk pedagang asongan karena menabrak dagangan mereka

DENPASAR, Bali — I Nyoman Sedana, seorang tuna netra, sedang berjalan di trotoar ketika dia terperosok ke dalam got. 

“Tongkat saya sampai patah karena nyemplung, saya juga luka,” kata Sedana. “Saya jatuh, teman saya juga jatuh.”

Sulit baginya untuk memantau kondisi trotoar yang berlubang dengan tongkatnya. 

Sedana tidak sendirian. Ada banyak penyandang tuna netra, yang sebagian kerja sebagai tukang pijat, kerap harus berjalan menyusuri trotoar untuk pergi bekerja. Daerah tempat kerja mereka umumnya di kawasan Jalan Sudirman-Diponegoro yang banyak tempat kos, sekretariat persatuan tuna netra, dan lokasi penginapan yang menjadi langganan pijat tuna netra di Denpasar. 

Musuh mereka tak hanya lubang di trotoar. Pedagang yang kerap berjualan di trotoar kerap memarahi mereka karena dagangannya tertabrak. 

“Terbalik, saya yang dimarahi mereka,” kata Bawa, penyandang tuna netra lainnya, menceritakan kisahnya dimarahi oleh pedagang bensin eceran. 

Trotoar juga bukan satu-satunya tantangan bagi para penyandang tuna netra. Mereka menghadapi masalah dalam bepergian. 

“Kalau gedung perkantoran kami mengandalkan satpam untuk mengantar ke tujuan,” kata Bawa. 

Berdemo untuk fasilitas yang lebih baik

Foto Luh de Suriyani/Rappler.com

Menghadapi tantangan ini, 30 orang dari Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) di Bali berjalan kaki sejauh 2 kilometer pada Rabu, 24 Juni. Mereka menyusuri jalan yang kerap mereka lalui untuk bekerja, memprotes fasilitas pejalan kaki yang tak ramah bagi mereka. 

Alih-alih berjalan di trotoar, mereka memilih berjalan di ruas jalan karena trotoar dianggap berbahaya. Beberapa kali mereka berhenti untuk berorasi sambil membentangkan poster yang mereka bawa. 

Poster tersebut bertuliskan “Trotoar berlubang musibah datang”, “Hak kami menikmati trotoar jangan dirampas”, dan “Pahami kami bukan dengan mengasihi.”

“Denpasar disebut kota berbudaya, tapi perilaku orangnya tak semuanya berbudaya,” kata Gede Widiasa, salah seorang peserta aksi, memprotes para pedagang di trotoar. 

Seorang perempuan pedagang bensin eceran yang menjadi objek protes malah memotret mereka dengan ponsel sambil tertawa. 

“Sebagian dari kami harus bekerja jadi tukang pijat ke beberapa kawasan di Jalan Diponegoro. Di sana malah banyak trotoar rusak, lubang, jadi parkir dan tempat berjualan. Banyak teman jadi korban.”

Menurutnya, trotoar adalah sumber penghidupan bagi para penyandang tuna netra yang bekerja. 

Di Bali, ada sekitar 400 penyandang tuna netra. Mayoritas mereka bekerja sebagai tukang pijat keliling dan membuat kerajinan tangan. Sisanya adalah ibu rumah tangga dan pelajar. Sebagian dari mereka pernah mengalami sulitnya bekerja secara mandiri karena fasilitas publik yang tak ramah pada mereka. 

Menuntut peraturan yang melindungi difabel

Para penyandang tuna netra ini menginginkan Pemerintah Bali untuk mengeluarkan peraturan daerah yang melindungi kaum difabel. 

“Salah satu kebutuhan dasar fasilitas publik yang belum dapat dinikmati secara utuh oleh penyandang disabilitas khusunya tuna netra di Kota Denpasar adalah fasilitas trotoar yang accessible,” kata Gede Nusantara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali. 

Undang-undang juga sudah mengatur ketersediaan trotoar untuk pejalan kaki, penyandang disabilitas dan warga senior. Tak hanya itu, Indonesia juga sudah meratifikasi Konvensi Hak-Hak penyandang Disabilitas. 

Namun Gede mengatakan meski ada undang-undang dan konvensi tersebut, diskriminasi terhadap penyandang disabilitas masih terus terjadi di berbagai bidang. — Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!