PH collegiate sports

Keluarga korban bom Bali bertemu dengan Ali Imron (bagian 2)

Rebecca Henschke

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

"Masih sedikit yang sadar bahwa jihad seperti itu salah," kata Ali Imron.

Ali Imron dijatuhi hukuman seumur hidup karena peranannya dalam bom Bali 2002 yang menewaskan lebih dari 200 orang. Sementaranya saudaranya yang juga pelaku, dihukum mati.

Suami Ni Luh Erniati dan Nyoman Rencini yang pada malam kejadian sedang bekerja turut menjadi korban. Sementara Jan Laczynski kehilangan lima teman baiknya.  

Untuk kali pertama, keluarga korban ini bertatap muka dengan Ali Imron, satu-satunya pelaku lingkaran dalam jaringan bom Bali yang masih hidup. 

(BACA: Keluarga korban bom Bali bertemu dengan Ali Imron (bagian 1))

Ada Ni Luh Erniati, Nyoman Rencini, keduanya dari Bali dan warga Australia, Jan Laczynski, duduk di kursi plastik dalam ruang pertemuan penjara.

Suasana di ruangan ini sangat tegang saat Ali Imron melangkah masuk.

Dia menyalami Jan tapi Jan menolak dan menyatukan kedua tangannya di dada. Dia lalu duduk di kursi menghadap mereka. Jarak mereka hanya sekitar satu meter. 

Ni Luh Erniati melirik saya dan bertanya apa ada batasan soal apa yang bisa dia tanyakan. Saya katakan, dia bebas bertanya apa saja.

“Nah saya pingin tahu gimana perasaan Pak Ali ketika melihat dampak kejadian itu tidak hanya mendapat pada target yang di tentukan. Tapi mengimbas ke yang lain juga seperti halnya banyak ada ada orang Muslim juga di sana kena dan kami juga orang Bali yang tidak tahu apa apa dan juga anak anak kami yang kehilangan masa depan mereka. Itu yang saya pingin dengar dari Pak Ali,” kata Erni. 

Ali Imron menjawab.

“Nah oleh karena itu, begitu kejadian, meledaknya bom itu saya dengar. Saya berada di Jalan Imam Bonjol dekat simpang Teuku Umar, di situ ketika bom itu meledak masih keras keras saya dengar di situ. Saya itu bicara saja saya nggak bisa. Karena sudah membayangkan Bom sebegitu besarnya mesti banyak sekali korbannya,” ujarnya. 

“Bahwa jihad yang kita lakukan salah, jadi bukan berarti gini lho. Ketika ditangkap baru menyadari kesalahan seperti itu. Karena kita ini sampai sekarangpun istilahnya Jihadis Indonesia ini, masih sedikit sekali yang menyadari bahwa jihad yang semacam itu salah. Kalo mereka ini mampu melakukan yang lebih besar, akan melakukan yang lebih besar lagi pengeboman.” 

Erni mempertanyakan apakah mungkin terjadi lagi kejadian serupa.

”Terjadi lagi. Nah makanya saya bersyukur, artinya bersyukur, begini bukannya bersyukur gimana. Bom itu meledak di Bali bukan. Bersyukur karena saya yang menjadi salah satu  pelaku yang menyadari kesalahan dan menyesal. Sehingga ketika kesadaran saya seperti itu bisa menasehati yang lain.

“Nah Alhamdullilah alumni Afghanistan, perang Afghanistan itu sekitar ratusan orang  bahkan mencapai 400an orang. Tapi hingga sekarang ini satupun tidak ada yang terlibat. Karena saya dan kawan kawan yang menderadikalisasi mereka itu,” jawab Ali. 

Nyoman Rencini menatap dingin pada Ali Imron. Dia merasa terganggu soal akan ada bom lain dan tidak yakin Ali Imron sudah berubah.

“Tapi bapak ngomong setelah Bapak lakukan kan waktu Bapak disuruh bawa mobil kan buktinya Bapak jalan waktu itu? Bapak baru sadar kebelakangnya ya?” cecar Rencini.

“Makanya, jadi begini lho mbak,” Ali mencoba menjawab. “Makanya tadi saya jelaskan bahwa kami ini organisasi jamaah sebagaimana kalo di Kepolisian ada Komandan memerintahkan pada anak buahnya. Nah saya ini menjadi anak buahnya.” 

Mereka pun bertanya apa sanksi yang diterimanya bila tidak menuruti perintah itu?

Kata Ali, ia pasti dikeluarkan karena dianggap penghianat. 

Rencini tak terima. “Tapi itu kan lebih bagus daripada korban banyak begini Pak?” tanyanya.

Laczynski pun menimpali.  

“Saya ingat bertanya pada Anda, tak lama setelah divonis di pengadilan. Saya berada tak jauh saat Anda berjalan ke luar. Saya bertanya: ‘Ali, apa Anda benar-benar menyesal? Apakah Anda menyesal atas apa yang Anda lakukan?’ Dan pertanyaan saya adalah, apakah Anda benar-benar menyesal?” ujar Laczynski

“Kalo sekarang ini diperhatikan, saya ini yang paling banyak beban, daripada yang dieksekusi. Kalo yang dieksekusi kan hanya dibenci oleh pihak korban. Tapi kalo saya itu, bahkan keluarga anak-anak Muklas pun membenci saya, ponakan saya pun membenci saya,” kata Ali.

“Karena sikap saya, saya di benci oleh para korban, keluarga korban, dan dibenci oleh kawan kawan saya. Jadi saya yang paling banyak beban sebetulnya. Tapi saya ndak takut, bahkan saya pernah didatangi ke sini,karena sikap saya yang mengaku bersalah. Karena saya terlibat bom Bali dan saya menyesal, saya di cap sebagai penghianat saya sama kawan.” 

Dalam kisah selanjutnya kita akan mencari tahu apakah keluarga korban bom Bali menerima penyesalan Ali Imron. —Rappler.com

Berita ini berasal dari Asia Calling, program radio mingguan dari KBR.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!