Ali Imron: “Saya bukan monster”

Rebecca Henschke

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ali Imron: “Saya bukan monster”
Ali Imron dijatuhi hukuman seumur hidup karena peranannya dalam Bom Bali 2002 yang menewaskan lebih dari 200 orang. Suami Ni Luh Erniati dan Nyoman Rencini yang pada malam kejadian sedang bekerja turut menjadi korban. Sementara Jan Laczynski kehilangan 5 teman baiknya.

JAKARTA, Indonesia — Untuk kali pertama, keluarga korban ini bertatap muka dengan Ali Imron, satu-satunya pelaku dalam lingkaran jaringan bom Bali yang masih hidup. Ada Ni Luh Erniati, Nyoman Rencini, keduanya dari Bali dan warga Australia, Jan Laczynski, duduk di kursi plastik dalam ruang pertemuan penjara.  

Di depan mereka, hanya berjarak sekitar satu meter, duduk seorang pria yang bertanggung jawab atas kematian orang-orang yang mereka cintai, Ali Imron.

(BACA: Keluarga korban bom Bali bertemu dengan Ali Imron, bagian 1)

Cerita Erni

Ni Luh Erniati mengambil nafas dalam-dalam dan dengan sopan bertanya apakah dia boleh bercerita sedikit tentang keadaannya.  Tanpa menunggu jawaban Ali Imron, dia pun mulai bercerita.

Dia sedang berada di rumah bersama anak-anaknya saat dia mendengar ada ledakan di Sari Club, tempat suaminya sedang bekerja. Karena tidak bisa meninggalkan anak-anaknya, dia terpaksa menunggu pagi tiba untuk mencari suaminya.

“Setelah sampai di Sari Club di situ, baru saya merasa semua harapan yang ada di dalam hati saya saat itu hilang. Tidak mungkin suami saya masih hidup. Karena Sari Club sudah hilang. Saya cuma ngeliat bekas-bekas kebakaran semalam itu, puing-puing,” kata Erni. 

“Dan saya juga melihat dengan mata kepala sendiri, bahwa sukarelawan saat itu banyak, saya lihat ambil potongan-potongan tubuh korban. Kemudian mengangkatnya ke tandu kemudian menutupinya dengan kain putih. Dan membawanya ke trotoar. Itu sesuatu yang sangat sangat berat sekali yang saya rasakan.” 

“Dan tidak hanya itu, tidak hanya sampai disitu penantian saya. Setelah itu, saya kembali ke keluarga, saya juga menemukan masalah karena status saya. Kehilangan suami, status saya semua orang bilang terlalu muda untuk menjadi seorang janda dengan dua orang putra.”  

“Jadi mereka menyangsikan bahwa saya akan mampu untuk membesarkan anak-anak saya. Karena saya terlalu muda dan mungkin banyak godaan untuk saya. Jadi mereka enggak percaya bahwa saya bisa menjaga anak-anak saya sampai dewasa.”     

Air mata Erni pun mengalir. Ali Imron terlihat tidak berdaya. Dia menatap Erni tapi pikirannya tampak berkelana.

“Waktu itu saya sudah merasa mati dalam hidup. Sudah tidak ada semangat lagi hidup. Saya sudah kehilangan suami, dan saya hampir kehilangan hak asuh anak-anak saya karena saya tidak dipercayai. Oleh karena itu saya bertekad, untuk membuktikan pada mereka, itu tanggung jawab saya. Walaupun apapun yang terjadi.” 

Erni menutup ceritanya dengan mengatakan “Derita saya yang saya alami karena kejadian itu, mungkin saya sampaikan agar Pak Ali tahu tentang saya saat ini.” 

(BACA: Keluarga korban bom Bali bertemu dengan Ali Imron, bagian 2)

Ali: Saya pribadi mengakui bersalah

Ali Imron mengatakan pada keluarga korban Bom Bali bahwa dia memahami bahwa terorisme itu salah. Foto dari Asia Calling

Jan pun angkat bicara. Namun intonasinya berbeda. 

 “Bisakah Anda melihat rasa sakit itu di wajah semua orang?” tanya Jan. 

 “Apakah Anda mengerti dan menerima bahwa siapa pun yang terlibat terorisme itu bersalah? Anda tidak akan mendapatkan apapun. Apakah Anda paham soal itu?”  

“Kalau soal itu, sejak awal sudah saya sampaikan,” kata Ali. 

“Hingga saat ini pun, belum pernah saya merasa gembira, itu. Nggak mungkin. Karena bagaimanapun penderitaan orang lain yang disebabkan tangan kami yang saya pribadi mengakui bersalah, itu juga menyakitkan. Bukan tidak menyakitkan.” 

“Tapi apakah Anda paham kalau semua agama menyatakan membunuh itu salah. Istri saya orang Indonesia. Teman-teman saya orang Indonesia. Membunuh karena alasan agama itu salah,” kata Jan. 

“Ya itu saya juga menyadari. Oleh karena itu kesadaran saya, sampai sekarang pun saya tidak pernah langsung membunuh orang,” kata Ali. 

“Padahal saya itu gampang sekali kalau mau membunuh orang. Saya kalau membuat ramuan, saya ramu, kemudian saya pengen membunuh orang, saya oleskan di stang mobil orang atau sepeda motor orang, dijamah begini, mati. Tapi saya nggak pernah melakukan seperti itu. Karena saya ini bukan monster.”

Ali Imron mengatakan ini dengan langsung menatap Jan, berusaha meyakinkan pria itu. 

“Kalau saya kapan-kapan keluar, kalau saya harus mempertanggungjawabkan kesalahan saya, saya harus minta maaf ke Australia, saya akan pergi. Nggak ada masalah,” kata Ali. 

Jan terlihat heran dan terlihat tidak begitu suka dengan ide ini. Sementara penjaga penjara memberi tanda kalau waktu kami sudah habis.  

”Satu juga yang menjadi pertanyaan kami yang tidak mengerti, kenapa orang begitu mudahnya mau bunuh diri,” tanya Erni. 

“Jadi kalau membicarakan soal itu, saya misalkan mau gitu, cukup dua jam saya menyiapkan orang bunuh diri,” jawab Ali. 

“Apa yang dia dapat?” tanya Erni lagi.  

“Surga,” jawab Ali. 

Ruangan itu pun hening. Erni lalu berdiri dan mengucapkan terima kasih karena sudah bertemu Ali Imron.  

Di epidode terakhir, kita akan mencari tahu bagaimana perasaan Ali Imron dan para korban bom Bali usai pertemuan itu. — Rappler.com

Berita ini berasal dari Asia Calling, program radio mingguan dari KBR.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!