Mengapa LGBTIQ Indonesia perlu rayakan pengesahan pernikahan sejenis di AS

Amahl S. Azwar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengapa LGBTIQ Indonesia perlu rayakan pengesahan pernikahan sejenis di AS

EPA

Amerika Serikat bersuka cita, tapi apa maknanya untuk kaum LGBTIQ di Indonesia?

Presiden Barack Obama termasuk “lamban” dalam memperjuangkan hak-hak kaum LGBTIQ di Amerika Serikat. Namun, Obama merupakan Presiden AS pertama dalam sejarah yang berhasil “melukis pelangi” di Gedung Putih.

Gue termasuk yang turut merayakan putusan Mahkamah Agung AS yang pada hari Jumat lalu, 26 Juni, menjamin legalitas pernikahan sesama jenis di negara tersebut. Seperti teman-teman yang lain, gue mengubah foto profil di media-media sosial seperti Facebook, Twitter, atau Path menjadi bertemakan “pelangi.”

Barangkali ini terkesan euforia semata mengingat pada kenyatannya putusan Mahkamah Agung AS ini tidak ada pengaruh langsung bagi Indonesia. Namun, gue punya alasan tersendiri mengapa hal ini patut dirayakan.

Sekarang gue berada di Shanghai, Tiongkok, di mana beberapa teman LGBTIQ di sini berasal dari Negeri Paman Sam. Gue bisa ngerasain betapa bahagianya mereka atas putusan ini. Kini, mereka nggak perlu lagi khawatir untuk mengesahkan hubungan mereka.

(BACA: Kenapa saya ikut bahagia untuk LGBT di Amerika Serikat)

Salah satu teman, Rick, yang beberapa waktu lalu menikahi pasangannya di California, mengaku senang dengan putusan Mahkamah Agung tersebut.

Buat gue pribadi memang nggak ada pengaruhnya (sebab gue sudah terlebih dahulu menikah jauh sebelum putusan ini ada). Namun, senang rasanya melihat teman-teman yang lain kini memperoleh hak yang sama untuk menikah di negara bagian mana pun di AS,” kata Rick.

Ya, apa yang terjadi di AS bukanlah sesuatu yang terjadi secepat kedipan mata. Banyak sekali kasus di mana pasangan sesama jenis memperoleh banyak tekanan dan cobaan dikarenakan hubungan mereka yang tidak sah di mata hukum.

Salah satu kasusnya adalah penulis dan advokat hak-hak kaum LGBTIQ, Shane Bitney.

Sebelum terjun ke dunia aktivis, Shane kehilangan pasangannya, Tom Bridegroom, yang meninggal dunia dalam suatu kecelakaan di Los Angeles pada 2011. Bayangkan, Shane tidak diperbolehkan untuk melihat Tom yang sedang berjuang antara hidup dan mati di meja operasi karena statusnya yang “bukan keluarga.”

Padahal, Shane dan Tom sudah bersama-sama selama enam tahun. Shane baru diperbolehkan untuk melihat jasad Tom setelah salah satu sahabatnya memohon-mohon kepada staf rumah sakit.

Keluarga Tom yang homophobic tidak mengizinkan Shane untuk melayat. Bahkan mereka mengancam Shane dengan kekerasan apabila Shane memperlihatkan batang hidungnya di rumah keluarga Tom. Shane tidak berdaya sebab, di mata hukum, dia bukan siapa-siapa.

Ini baru satu dari sekian banyak kasus yang dihadapi kaum LGBTIQ di AS. Belum lagi kasus-kasus kekerasan, bullying, diskriminasi, hingga pembunuhan yang menimpa kaum LGBTIQ. Sebut saja Harvey Milk, politisi AS pertama yang terbuka akan status gaynya dan terpilih menjadi anggota dewan kota San Fransisco pada 1977. Sebelas bulan setelah terpilih, Milk dibunuh oleh bekas rekan kerjanya.

Kasus-kasus kekerasan terhadap kaum LGBTIQ di AS mulai dari kontak fisik sampai dengan cyber bullying begitu parah sampai-sampai tidak sedikit teman-teman LGBTIQ di sana memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.

Separah itu.

Putusan Mahkamah Agung AS ini, sekalipun suaranya 5 lawan 4 (yang sebetulnya cukup bisa dimengerti mengingat betapa kontroversialnya putusan ini), merupakan tonggak sejarah baru bagi AS. Sekalipun masih ada suara yang menentang, tetapi putusan Mahkamah Agung memastikan legalitas pernikahan sesama jenis di 50 negara bagian AS.

Mereka tidak perlu lagi khawatir dengan urusan asuransi atau jaminan kesehatan sebab kini mereka bisa menanggung pasangan mereka. Mereka tidak perlu lagi khawatir apabila tertimpa musibah sebab hukum memastikan kesahan status hubungan mereka.

Namun, lebih dari itu, putusan Mahkamah Agung AS memastikan hak-hak mereka sebagai manusia sebagaimana dijamin di Konstitusi AS untuk bisa menikah. Ini membuktikan bahwa pada akhirnya, cinta selalu menang. Love wins.

Lalu, apa maknanya untuk kaum LGBTIQ di Indonesia? (BACA: LGBT, pilihan hidup, dan agama)

Seperti yang udah gue sebutin di artikel gue yang lain, Mungkinkah pasangan gay di Indonesia bisa menikah?, memang untuk bisa menikah sepertinya masih jauh.

Walaupun sudah ada pasangan-pasangan sesama jenis yang pergi ke luar negeri untuk menikah, begitu kembali ke Indonesia tetap saja status mereka tidak diakui. Undang-Undang Perkawinan di Indonesia secara tegas menyatakan pernikahan adalah sesuatu yang terjadi antara pria dan wanita.

Kaum transgender melakukan protes di hari peringatan Hak Asasi Manusia di Jakarta, 10 Desember 2007. Foto oleh Jurnasyanto Sukarno/EPA

Namun, jangankan untuk bisa menikah. Bisa terbuka dengan status LGBTIQ saja sudah lebih dari cukup. Bisa bikin festival film bertemakan LGBTIQ saja sudah cukup. Bisa bikin kompetisi pageant untuk teman-teman waria tanpa perlu khawatir diserang kelompok tertentu saja sudah cukup. 

Bisa bikin film bertemakan gay atau lesbian tanpa perlu khawatir ditegur Komisi Penyiaran Indonesia saja sudah cukup. Bisa nulis buku bertemakan LGBTIQ tanpa perlu takut ada aktivis-aktivis yang ramai-ramai mendatangi penerbit supaya buku tersebut ditarik saja sudah cukup.

Bagi kami, pekerjaan rumah-pekerjaan rumah seperti di atas masih lebih penting untuk dibandingkan hak untuk menikah. Aktivis-aktivis yang memperjuangkan kaum LGBTIQ di Indonesia memang tidak sedikit (Dear Pak Dede Oetomo, segan aku padamu, Pak). Namun, masih banyak yang cuek. Masih banyak yang memilih untuk party, nge-gym, hura-hura, tetapi terlalu pesimis dan malas ketika diminta turut memperjuangkan hak-hak kaum LGBTIQ.

Padahal, hak-hak kami untuk hidup, tumbuh, dan berkembang, merupakan hal-hal yang layak untuk diperjuangkan. Putusan Mahkamah Agung AS yang terjadi setelah perjuangan selama beberapa dekade merupakan bahwa ini bukanlah hal yang mustahil untuk diperjuangkan di negara kita. Sekalipun mungkin gue nggak akan hidup untuk melihat hal yang sama bisa terjadi di Indonesia

Sekali lagi, Konstitusi Indonesia tidak membeda-bedakan warga negara Indonesia berdasarkan orientasi atau identitas seksual mereka.

Amahl S. Azwar adalah seorang penulis yang terbuka dengan status gay-nya dan kini membagi waktunya antara Bandung dan Shanghai. Baca tulisannya di blog pribadinya www.mcmahel.wordpress.com dan follow Twitter-nya di @McMahel.

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!