Kota ramah anak, kota untuk semua

Elisa Sutanudjaja

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kota ramah anak, kota untuk semua

EPA

Apa arti taman bagi anak-anak di kota Jakarta?

Dalam satu kesempatan, saya cukup beruntung pernah menghadiri acara makan malam bersama Enrique Penalosa. Penalosa adalah mantan walikota Bogota, Kolombia, yang cukup sukses mentransformasi kotanya dalam masa pemerintahannya yang hanya 3 tahun. 

Dulunya Bogota dikenal sebagai kota yang berbahaya, namun kini menjadi kota yang nyaman ditinggali. Beberapa keberhasilannya termasuk sistem bus rapid transit TransMilenio, pembangunan 300 kilometer jalur sepeda yang menghubungkan daerah miskin dengan pusat kota, serta pelaksanaan car-free day di seluruh kota. 

Saat itu Penalosa mengatakan, jika seorang walikota ingin kotanya nyaman ditinggali, maka dia harus melihat kota tersebut dari kacamata anak, orang lanjut usia, dan pengguna kursi roda. Misalnya, apa yang dilihat anak yang hanya setinggi 1.2 meter, berapa cepat atau lambat lansia berjalan, hingga seberapa mudah kursi roda bermanuver di antara bangunan. 

Kebijakan yang diterapkan Penalosa banyak yang berfokus pada kesejahteraan anak. Menurutnya, arah pembangunan kota bukan untuk kepentingan bisnis dan mobil, tetapi demi kepentingan anak-anak.

Demi menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak, dia mengurangi akses kendaraan bermotor, misalnya dengan investasi pembangunan trotoar, taman, jalur sepeda, hingga perpustakaan. Bagi Penalosa, penting untuk menciptakan kota di mana segenap anak dapat merasa bahagia. 

Kebijakan Penalosa lainnya yang terkait dengan anak-anak adalah membangun ratusan taman kanak-kanak dan tempat penitipan bagi anak di bawah 5 tahun, serta memastikan mekanisme pembiayaannya. Ia juga membangun 50 sekolah baru dan meningkatkan mutu perpustakaan dan teknologi informasi di sekolah. Dalam waktu 4 tahun, ada lonjakan angka sekolah sebanyak 34%.

Trotoar yang baik adalah bukti dari hasil kerja demokrasi, demikian kata Penalosa. Demikian juga bagi Jane Jacobs, urbanis yang karyanya memengaruhi pemikiran arsitek dan perencana kota di seluruh dunia, yang bermanifesto bahwa trotoar yang baik adalah trotoar yang “sibuk” dengan orang berlalu lalang. 

Kesibukan tersebut memiliki nilai positif, yaitu pemberi rasa aman. Dan rasa aman tersebut berbeda dengan rasa aman semu yang ditawarkan oleh CCTV dan kehadiran polisi. Menurut Jacobs, trotoar yang aktif pun adalah tempat berbagai macam orang bertemu, dan sekaligus memperkenalkan anak-anak kepada kehidupan bermasyarakat. 

Kota-kota di Indonesia, seperti Jakarta dan Bandung, berlomba-lomba menambah taman, yang menurut promosi masing-masing kepala daerahnya adalah ramah anak. Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama berambisi untuk membangun 56 Ruang Publik Terpadu Ramah Anak, dan setidaknya dari 4 ruang tersebut sudah diresmikan. Namun sayangnya, perhatian Jakarta terhadap trotoar sangatlah minim. Hanya trotoar-trotoar di jalan protokol yang mendapat perhatian dan peningkatan kualitas. 

Walaupun nantinya ada 56 taman baru bersebaran di berbagai tempat di seluruh Jakarta, namun taman tersebut tak ada artinya tanpa trotoar. Anak-anak tidak punya sayap untuk terbang, jadi begitu dia keluar dari pintu halamannya, dia harus berjalan kaki menuju taman. Anak-anak terpaksa berjalan dari rumah ke taman di atas jalan beraspal, menyatu dengan laju motor dan mobil. 

Trotoar tidak hanya berperan penting sebagai penghubung anak-anak dari rumah ke dunia lain, trotoar bisa menjadi sekolah informal pertama bagi anak-anak. Di trotoar anak-anak belajar untuk berjalan dan bersikap di ruang publik. Anak yang lebih besar bertanggung jawab melindungi anak yang lebih muda, terutama ketika menyeberang jalan. Secara dini anak-anak diajari tentang bagaimana menjadi warga. 

Anak-anak bermain di sebuah daerah kumuh dengan latar belakang bangunan gedung tinggi di Jakarta. Foto oleh EPA

Sementara di tingkat nasional, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sejak tahun 2008 sudah meluncurkan program Kota Layak Anak. Salah satu program Kota Layak Anak adalah memastikan trotoar dan jalan menuju sekolah dalam keadaan baik.

Ketidakramahan trotoar dan jalan di kota-kota Indonesia, hanya mendorong peningkatan ketergantungan pada kendaraan bermotor. Pada akhirnya, seperti lingkaran setan, anak-anak dan keluarga yang mau berjalan kaki, terisolir dan tanpa jaminan keamanan. (BACA: Tuna netra di Bali: Hak kami menikmati trotoar jangan dirampas)

Tidak hanya infrastruktur dan fasilitas publik saja yang perlu diperhatikan demi kepentingan anak, namun bagaimana kehidupan keseharian kota itu berjalan. Istilah populer lain dari Jane Jacobs adalah Eyes on the Street, yang sayangnya sering disalahartikan sebagai pengamatan (surveillance). 

Yang dimaksud Jane Jacobs adalah perasaan saling menjaga yang muncul akibat interaksi harmonis antar tetangga. Perasaan ini pula yang membuat orang tua merasa aman membiarkan anak-anak main dan berjalan kaki di trotoar, karena tahu ada tetangga-tetangga yang di saat bersama sedang mengobrol dengan santai di tepi trotoar, atau sedang menikmati sore di teras. 

Tentu saja, syarat minimal tercapainya keadaan tersebut yaitu ketersediaan fasilitas publik. Prasyarat lain adalah memastikan bahwa distrik tersebut adalah distrik campur (mixed-use), terdiri atas hunian dan komersial yang dapat mengaktifkan ragam kegiatan siang dan malam. 

Sebagai orang tua pekerja yang tinggal di lingkungan perumahan, masalah yang saya hadapi adalah masalah klasik yang dihadapi banyak orang tua pekerja lainnya, yaitu siapakah orang yang dapat membantu menjaga anak saya? Ada pepatah klasik yang mengatakan, “It takes a village to raise a child”, dan lambat laun saya makin sepakat dengan pepatah tersebut. 

Saya beruntung memiliki support system di sekeliling. Ada keluarga yang mau menjaga anak saya yang masih berusia 4 tahun, ada sepupunya yang mengajak main, ada ibu setengah baya yang mau membantu mengurusnya di pagi hari dan sore hari, ada ibu-ibu sekitar rumah yang mau mengajaknya berbincang-bincang saat dia bermain ke satu rumah ke rumah lain. 

Anak saya tumbuh besar sambil berkenalan dan bersentuhan dengan berbagai ragam manusia yang berbeda latar belakang. Sore hari bersama sepupunya bisa dilewatkan di taman, yang walaupun demi menuju taman tersebut terpaksa harus mengendarai mobil, karena tidak ada trotoar yang memadai. 

Namun, tidak semua keluarga muda seberuntung saya, tidak semuanya memiliki support system yang memadai. Tidak semua bisa membayar tempat penitipan anak, atau tidak semua orang tua mampu membayar gaji pengasuh anak terpercaya. 

Adalah salah jika kelangsungan hidup seorang anak hanya dibebankan kepada orang tuanya saja. Negara perlu memastikan bahwa mereka menyediakan infrastruktur publik yang menjamin keamanan dan kesehatan anak, yang menjamin terjadinya interaksi antar manusia. Sehingga negara, institusi, dan segenap masyarakat memiliki porsi tanggung jawabnya masing-masing dalam memastikan masa depan generasi berikutnya. —Rappler.com

Elisa Sutanudjaja adalah seorang Eisenhower fellow, editor Kata Fakta Jakarta, dan co-founder rujak.org. Ia juga pengupaya sosial, pewarta ‘open data’ dan warga kota Jakarta. Follow Twitter-nya di @elisa_jkt

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!