3 alasan pemerintah tetap optimis hadapi situasi ekonomi

Haryo Wisanggeni

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

3 alasan pemerintah tetap optimis hadapi situasi ekonomi

EPA

Dari paradigma baru pemerintahan Jokowi-JK hingga berbagai kebijakan untuk dorong konsumsi.

JAKARTA, Indonesia — Dalam peluncuran laporan “Perkembangan Triwulanan Perekonomian Indonesia” edisi Juli 2015 di Jakarta, Rabu, 8 Juli, Bank Dunia menegaskan kembali proyeksinya awal bulan lalu bahwa perekonomian Indonesia hanya akan tumbuh sebesar 4,7% pada tahun ini. 

Angka ini lebih rendah dari proyeksi Bank Dunia sebelumnya maupun target yang dicanangkan pemerintah saat ini, 5,2%.

(BACA: Bank Dunia potong proyeksi pertumbuhan Indonesia)

Menanggapi laporan Bank Dunia, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara, yang juga hadir dalam acara yang sama, mengungkapkan bahwa pemerintah masih optimis dalam memandang situasi perekonomian saat ini. 

Suahazil paling tidak memiliki 3 alasan.

1. ‘Revolusi mental’ pemerintah

Suahazil menegaskan bahwa pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah mengembangkan pola pikir baru dalam penyusunan kebijakan ekonomi yang menurutnya lebih sesuai dengan upaya percepatan proses pembangunan.

Hal ini salah satunya tercermin melalui keberanian pemerintah untuk memotong subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan mengalihkannya untuk pembangunan infrastruktur.

“Ini pemerintah baru dengan mindset baru. Setelah bertahun-tahun, sekarang anggaran infrastruktur lebih besar dari anggaran subsidi BBM,” kata Suahazil. 

2. Kebijakan baru untuk genjot konsumsi

Selanjutnya menurut Suahazil, sejumlah kebijakan baru yang diharapkan mampu mendorong konsumsi masyarakat juga akan segera diimplementasikan.

Kebijakan yang dimaksud Suahazil di antaranya adalah revisi obyek pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) dan peningkatan batas atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

(BACA: Tanpa kepercayaan konsumen, naiknya PTKP tak akan dorong konsumsi)

Melemahnya konsumsi masyarakat memang ditengarai Bank Dunia sebagai salah satu penyebab perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

3. Kondusifnya iklim investasi

Suahazil juga mengangkat tentang proyeksi dari lembaga pemeringkat Standard and Poor’s (S&P) yang mengubah peringkat iklim investasi Indonesia dari ‘stable’ menjadi ‘positive’

Hal ini mengindikasikan bahwa iklim investasi di tanah air masih cukup kondusif untuk menarik arus investasi.

Tak hanya di tingkat proyeksi, Suahazil berharap bahwa S&P juga akan benar-benar menaikkan peringkat Indonesia. “Memang ini baru outlook tapi kita berharap nanti rating-nya juga akan mengikuti,” katanya.

Sebelumnya Bank Dunia menilai pemerintahan baru dinilai belum mampu menjawab tingginya ekspektasi publik di bidang ekonomi. Sebagai konsekuensinya, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia akhirnya mengalami perlambatan. 

“Untuk pertama kalinya sejak 2003, anggaran pembangunan infrastruktur lebih tinggi dari anggaran subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), lalu di awal pemerintah juga menyampaikan tentang rencana pengembangan infrastruktur yang sangat ambisius. 

Tapi seperti yang kita ketahui bersama, capaian-capaian yang ada belum sesuai dengan ekspektasi,” kata ekonom utama Bank Dunia di Indonesia, Ndiame Diop.

Secara internal, hal ini menurut Ndiop ditunjukkan oleh melemahnya konsumsi masyarakat. 


Situasi ini diperburuk oleh munculnya tekanan dari perekonomian global hasil proses perlambatan pertumbuhan yang melanda negara-negara berkembang.

Padahal, pasca badai krisis ekonomi yang dialami Amerika Serikat dan Eropa, negara berkembang adalah mesin pendorong utama pertumbuhan ekonomi global.


Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!