Olympics

Solusi untuk mencegah politik dinasti

Yoes C. Kenawas

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Solusi untuk mencegah politik dinasti

EPA

Haruskah politik dinasti dilarang? Jawabannya ada pada tulisan ini.

Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 7 UU No. 8/2015 huruf r mengenai larangan calon kepala daerah yang masih memiliki hubungan keluarga dengan petahana, Rabu 8 Juli lalu. Menurut MK, pasal tersebut merupakan aturan yang diskriminatif karena membatasi hak berpolitik karena hubungan kekerabatan dengan petahana.

Politik dinasti, khususnya pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota, dianggap telah mencederai semangat demokrasi dan menghambat kompetisi untuk merebut tampuk kekuasaan di daerah. Namun, para pendukung pengadopsian pasal tersebut kedalam UU tentang Pemilihan Kepala Daerah tampaknya luput memperhatikan sebab-sebab menjamurnya praktek politik dinasti di Indonesia.

Berbagai kritik yang diajukan terlalu menekankan pada dampak buruk politik dinasti. Implikasinya, mereka berpikir bahwa memutus mata rantai dinasti politik harus melalui undang-undang yang membatasi hak dasar politik untuk mencalonkan diri dalam pemilu. Selain mencederai prinsip kesetaraan hak politik warga negara, disain institusional seperti ini juga mengabaikan faktor-faktor struktural penyebab munculnya dinasti politik.

Tulisan ini menguraikan sebab-sebab kemunculan dinasti politik di Indonesia. Tiga penyebab munculnya dinasti politik di Indonesia adalah lemahnya pengawasan pemilu, penegakan hukum, dan buruknya institutionalisasi partai politik. Resep kebijakan di masa depan haruslah menyasar pada tiga sebab tersebut yang juga adalah sumber utama penyakit demokrasi Indonesia.

Pengawasan Pemilu dan Penegakan Hukum

Persoalan mendasar pelaksanaan pemilu di Indonesia adalah terbatasnya jangkauan badan pengawas pemilu. Kehadiran badan pengawas belum dipandang sebagai kebutuhan mendesak dan hanya “pelengkap” dalam pelaksanaan pemilu, khususnya di tingkat daerah. Ditambah lagi dengan lemahnya koordinasi antara institusi yang berwenang menindak pelanggaran pemilu. Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat sipil pun masih belum bertaji.

Penelitian saya menemukan bahwa salah satu alasan maraknya politik dinasti di daerah bukan karena kurangnya persaingan antar kandidat. Bukan juga soal minimnya kandidat alternatif yang tidak berani ikut bersaing karena adanya anggota keluarga dinasti politik.

Praktek politik dinasti marak karena elit politik, yang umumnya adalah petahana, dapat dengan leluasa memanipulasi arena kompetisi elektoral.

Para elit yakin bahwa pelanggaran elektoral yang mereka lakukan demi keuntungan anggota keluarganya punya kemungkinan kecil untuk diusut dan mendapatkan hukuman berat. Keuntungan melanggar aturan pemilu lebih besar dibandingkan biaya yang harus dibayar atas pelanggaran.

Elit seakan yakin bahwa resiko terbesar hanyalah tuntutan sengketa pemilu di MK yang jarang memberi efek jera. Apalagi, kasus yang menjerat mantan Ketua MK Akil Mochtar mengisyaratkan bahwa “penjaga gawang” demokrasi pun masih rentan terhadap godaan.

Apakah pelanggaran-pelanggaran tersebut hanya dilakukan oleh anggota dinasti politik? Jawabnya tidak.

Khususnya di tingkat daerah, tingginya angka kasus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (PHPU) mengindikasikan bahwa kecurangan dilakukan oleh hampir seluruh peserta pemilu, bukan semata-mata oleh anggota keluarga petahana. 

Persoalan pengawasan dan minimnya efek jera atas pelanggaran-pelanggaran dalam keseluruhan proses pemilu adalah permasalahan yang lebih serius dalam praktek berdemokrasi di Indonesia. Efek jera diharapkan ada untuk mengubah kalkulasi politik para elit (tidak hanya petahana) sehingga beban yang harus mereka tanggung jika melanggar peraturan lebih besar daripada manfaat yang akan mereka dapatkan. 

Dinasti politik muncul karena hal ini tidak pernah ditangani secara komprehensif. Permasalahan ini memberi celah bagi hampir seluruh elit politik (tidak hanya mereka yang merupakan anggota dinasti politik) untuk berani menginjak-injak nilai demokrasi yang mengutamakan pentingnya kompetisi yang bebas, jujur, dan adil.

Institusionalisasi Partai politik

Sejatinya, partai politik merupakan sebuah arena persaingan demokratis bagi para kader partai untuk membuktikan kualitas kepemimpinannya. Faktanya, partai politik seringkali tersandera berbagai kepentingan jangka pendek dan melupakan fungsi utamanya sebagai agen untuk melahirkan calon-calon pemimpin politik.

Penelitian yang dilakukan oleh Inge Amundsen (2013) dan Nico Harjanto (2011) mengungkapkan bahwa salah satu biang kerok maraknya praktek politik dinasti adalah lemahnya partai politik dalam melaksanakan fungsi kaderisasi, seleksi dan promosi.

Ada dua akibat penting dari absennya fungsi partai politik sehubungan dengan maraknya politik dinasti. Pertama, posisi kunci kepemimpinan partai politik dengan mudah dikuasai oleh keluarga tertentu yang meraih tampuk kepemimpinannya tanpa proses demokratis dan meritokratis. Kedua, politik patronase dimana elit dengan sumber daya finansial yang besar dan akses atas berbagai proyek di daerah mampu “membeli” dukungan kader partai politik. Tidak mengherankan, kalau calon yang maju bertarung dalam pemilu adalah kerabat atau orang dekat sang patron.

Disini perlu ditekankan kembali argumen pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin bahwa aturan anti-dinasti politik adalah bentuk kemalasan negara. Kemalasan negara yang dimaksud adalah mencegah dan menindak penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh elit politik.

Alih-alih meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia, larangan-larangan yang diajukan justru akan berdampak sebaliknya. Robert Dahl (1971) menyatakan bahwa demokrasi memiliki dua prinsip penting: kompetisi dan inklusivitas. Melarang seseorang untuk mencalonkan diri berpartisipasi dalam pemilu semata-mata karena ia memiliki hubungan kekerabatan dengan petahana hanya akan mencederai kedua prinsip tersebut.

Solusi mencegah munculnya dinasti politik yang memiliki sifat merusak adalah memperkuat pengawasan dan penegakan hukum yang adil dan memiliki efek jera, mendorong institusionalisasi partai politik, serta memberikan pendidikan politik bagi pemilih.*

* Tulisan ini adalah opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan institusi yang terafiliasi dengan penulis

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!