Olympics

Meski diakui sebagai gender ketiga, nasib transgender di India tak jelas

Jasvinder Sehgal

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Meski diakui sebagai gender ketiga, nasib transgender di India tak jelas
Mahkamah Agung India memutuskan mengakui transgender sebagai gender ketiga dalam dokumen resmi, namun aktivis hak gender mengatakan keputusan tersebut tidak membawa perubahan signifikan terhadap pandangan masyarakat terhadap komunitas transgender

JAIPUR, India —Dancing Kashish yang berasal dari Mumbai sedang menari di atas panggung diiringi lagu lama Bollywood. Dia  adalah  anggota  kelompok  ‘Dancing  Queens’  sebuah  kelompok  tari  ternama  di  India  yang semua anggotanya adalah transgender. Dia mengaku pernah ganti profesi tapi merasa tidak diterima di tempat baru. 

“Orang-orang di kantor terus memandangi saya sehingga saya jadi tidak  nyaman. Banyak dari  mereka  yang  mencoba  menggoda saya. Saya tidak bisa  bekerja dan terpaksa mengundurkan diri dalam sebulan. Saya sangat takut.” 

Dancing Harsha adalah penampil berikutnya yang hadir di Konferensi Nasional Transgender India ketiga di New Delhi.  Dia mengaku masalahnya adalah keluarga. 

“Keluarga tidak menerima keadaan saya. Padahal saya juga manusia. Saya sangat ingin orang tua mau menerima saya apa adanya.” 

Keputusan MA tak mengubah keadaan

Mahkamah Agung India mengeluarkan keputusan pada April 2014 yang menyatakan para  transgender bisa mengidentifikasikan diri mereka sebagai gender ketiga dalam dokumen resmi. 

Ambalika Roy adalah salah satu pengacara yang terlibat dalam kasus itu. Dia mengatakan meski keputusan itu penting tapi tidak menghentikan sikap prasangka terhadap komunitas ini. 

“Anda lihat, UU tidak bisa mengubah pola pikir masyarakat. Itu hanya senjata untuk membantu masyarakat mengakses hak-hak mereka. Anda putus sekolah karena Anda tidak mendapatkan semacam perlindungan yang dibutuhkan karena Anda berbeda,” kata Ambilika. 

“Anda tidak bisa bekerja dengan aman karena tidak ada aturan soal pelecehan seksual di tempat kerja. Aturan ini seharusnya  memberi  semacam  perlindungan  sehingga  Anda  tidak  masuk kedalam perangkap pelecehan dan diskriminasi terus menerus. Negara wajib melakukannya.” 

Majelis  Tinggi  Parlemen  India  telah  mengesahkan  RUU  yang  akan  menciptakan  sistem  kuota bagi komunitas transgender dalam sistem pendidikan dan beberapa profesi. Aturan itu juga menyediakan bantuan keuangan bagi transgender yang membutuhkan. Tapi RUU ini belum dibicarakan dan disahkan Majelis Rendah.  

Para pemimpin komunitas transgender  meminta  masyarakat untuk mendesak  anggota parlemen menyetujui RUU itu. Abhina Aher, seorang aktivis transgender memandang RUU ini sangat penting. 

“LSM adalah satu-satunya ruang tempat transgender bisa direkrut jadi staf. Ini tidak benar. Saya ingin transgender bisa bekerja di media, mewawancarai saya atau jadi  tukang  karcis,” kata Abhina. 

“Mengapa transgender yang mengemis dekat lampu lalu  lintas  tidak diberi tugas menjadi pengawas  rambu-rambu? Pemerintah  harus  sadar, bila  transgender  tidak  diberi kesempatan dan keistimewaan, komunitas ini tidak akan pernah mendapatkan kesetaraan.” 

Laxmi   Narayan   Tripathi,   seorang   artis   transgender   ternama,   mengatakan   ini   waktunya perubahan. “Kami  tetap  berjuang  meski  sudah  ada  keputusan  dari  Mahkamah Agung,” katanya. 

“Jika kita tidak melakukan apa-apa saat ini, komunitas kami akan tetap jadi pengemis di jalanan  200  tahun  kedepan.  Dan  generasi  masa  depan  kami  terpaksa  menjual  tubuhnya  untuk mendapatkan uang.” — Rappler.com

Berita ini berasal dari Asia Calling, program radio mingguan dari KBR.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!