Merayakan Idulfitri sambil bekerja

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Merayakan Idulfitri sambil bekerja
Demi Kamu, mereka rela tak berlebaran bersama keluarga

 

JAKARTA, Indonesia — Sudah dua tahun Galih berada di atas kereta di Hari Lebaran. Jangan salah sangka, dia tidak mudik. Dia ada di atas kereta karena pekerjaannya sebagai masinis. 

“Sudah dua tahun kaya gini, sejak jadi masinis,” kata Galih saat diwawancarai Rappler di Stasiun Jakarta Kota. 

Tahun lalu saat dia pertama kalinya tak bisa berlebaran bersama keluarga, dia sempat dicari-cari keluarga yang datang dari kampung. 

“Ya sedih, enggak ngumpul sama keluarga,” katanya. “Sudah risikonya, harus kerja.”

Meski sedih, Galih mengaku senang saat bertugas karena setidaknya dia bisa membantu orang lain bertemu keluarga mereka. 

Foto oleh Camelia Pasandaran/Rappler

Tak hanya masinis yang tak bisa meninggalkan pekerjaan mereka. 

Suster Restafia Widyaningsih juga sudah dua tahun tak merayakan Idulfitri bersama keluarga. Sejak bekerja di RSAB Harapan Kita di Jakarta Barat, Resta tak bisa menghadiri kumpul keluarga besarnya di rumah orang tuanya. 

“Iduladha dan Idulfitri tidak pernah di rumah,” kata Resta pada Rappler. “Awalnya sih sedih. Apa begini terus ya, kerja jadi suster. Tapi lama-lama sesudah dijalani mulai terbiasa. Orang rumah juga sudah cukup memahami.”

Jumlah pasien memang tak sebanyak biasanya. Di bangsal Teratai tempat Resta bertugas sehari-hari, jumlah pasiennya hanya 9. Biasanya kalau sedang penuh bisa lebih dari 20. Tapi kebijakan rumah sakit tetap membuat dia tidak bisa meninggalkan pekerjaan. 

“Di awal tahun, cuti dikocok. Yang hanya boleh cuti di Hari Lebaran hanya dua orang,” kata Resta. “Nanti libur bisa diambil setelah Lebaran. Bisa tukeran dinas sehingga belakangan bisa sampai 4 hari libur. Kalau cuma di Jakarta saja sih cukup.” 

Keadaan ini lebih mudah buat dia yang belum menikah dibandingkan rekan kerjanya yang sudah menikah. 

“Kalau orang tua, ada saudara yang menemani mereka. Tapi kalau sudah nikah, dari cerita teman-teman beda rasanya ninggalin anak, ninggalin suami,” katanya. “Saya rencananya menikah tahun depan, untung pacar saya mengerti.”

Foto oleh Adelia Putri/Rappler

Ini tahun pertama untuk Meita Pusparani, management trainee di Lottemart, tidak bisa seharian penuh bersama keluarga di Hari Idulfitri. 

“Yah, sudah konsekuensi ketika memilih kerja di retail, ya hari libur pasti masuk,” katanya, Kamis malam. “Awal-awalnya sih saya merasa, ah masa hari libur masuk sih? Natal, Tahun Baru, tapi kesini sih sudah biasa.”

Meita kali ini harus masuk di hari pertama dan kedua Idulfitri. Untungnya, ia mendapat jadwal masuk sore sehingga ia bisa salat ied dan berkumpul bersama keluarga di pagi harinya.

“Besok (Jumat) masuk jam 4, jadi paginya masih sempet salat Ied. Yang masuk pagi pun dikasih masuk jam 11, mereka dikasih kesempatan juga untuk salat dan bertemu keluarga.”

Bagaimana rasanya tak kumpul bersama keluarga saat Lebaran? “Sedih, tapi ada hikmahnya. Lagipula, suasana tempat kerja itu enak, makanya saya ngerasa fun.

Setelah Idulfitri, Meita akan mudik ke Bandung untuk menghabiskan waktu bersama teman dan keluarga. “Yah, di Bandung cuma sebentar sih. Belum punya cuti, jadi harus maksimalin jatah libur yang ada,” ujarnya.

Pekerja media seperti Faris Akbar membuat kita tetap tak ketinggalan berita bahkan di Hari Idulfitri. Reporter Trans TV ini sudah tidak pulang ke kampung halaman di Samarinda selama 4 tahun. 

Tiap kali Lebaran, dia justru meliput titik-titik arus mudik di Pulau Jawa. “Kebetulan tahun ini saya meliputnya di Jalur Pantura,” kata Faris. 

“Awalnya sedih enggak bisa berlebaran bareng orang tua dan salat Ied bareng keluarga,” akunya. “Tapi, mau gimana lagi. Namanya juga kerjaan.”

Menurut Faris, akibat tuntutan pekerjaannya, ia biasanya baru bisa pulang kampung 2 bulan setelah masa lebaran usai. Untungnya, orang tua Faris memaklumi pekerjaan anaknya.

“Mereka selalu menonton TV. Kalau saya mau live, saya selalu mengabarkan mereka,” ujarnya. Melihat Faris melalui layar kaca pun sudah cukup bagi orang tua dan keluarga Faris untuk mengobati rasa rindu mereka.

Biasanya, jadwal live report Faris dimulai pada pukul 5 pagi dan berakhir saat breaking news jam 10 malam. Tentu diselingi jeda sepanjang hari.

Dalam melakukan pekerjaan yang digemarinya ini, ia mencoba melihat sisi positifnya. Seperti yang terjadi kepada kru Trans TV beberapa hari lalu.

Akibat kemacetan parah di Jalur Pantura, mobil yang biasa menjemput Faris dan koleganya di hotel terperangkap dalam kerumunan kendaraan mudik. Alhasil, Faris dan rekan-rekannya harus menumpang bus untuk mencapai titik tujuan.

Dalam bus tersebut ia harus berbagi kursi dengan para pemudik lain yang membawa segerombol barang dan sayur-sayuran.  

“Berasa ikut mudik,” katanya sambil tertawa.

— Laporan dari Abdul Qowi Bastian, Adelia Putri, Camelia Pasandaran & Haryo Wisanggeni/Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!