Barakan, silaturahmi Idul Fitri maraton dari Pulau Bengkalis

Luh De Suriyani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Barakan, silaturahmi Idul Fitri maraton dari Pulau Bengkalis
Barakan, sebuah toleransi nyata di Bengkalis, salah satu pulau terluar Indonesia yang berbatasan dengan Malaysia ini.


BENGKALIS, Indonesia — Warga menyebutnya Barakan. Dalam bahasa setempat bermakna rombongan. Bayangkan saja, ratusan warga dalam satu dusun datang bergerombol ke tiap rumah warga yang merayakan Idulfitri. Tak ada ruang kosong dalam rumah ketika gelombang silaturahmi ini tiba. Banyak yang mengantre di luar menunggu giliran.  

Karena semua rumah harus dikunjungi, warga otomatis silaturahmi penuh waktu dari pagi sampai sore selama 3-4 hari lebaran. Idulfitri benar-benar menjadi medium bertegur sapa dan membagi makanan sepanjang hari.

Warga pulau Bengkalis, Riau, ini masih melestarikan tradisi lebarannya yang penuh kekerabatan. Pesannya jelas, membagi makanan yang kita punya untuk siapa saja tanpa melihat status sosialnya dan mengenal para tetangga satu kampung.

Misalnya warga Wonosari. Sesaat setelah salat Idulfitri, warga sudah saling memanggil untuk berkumpul. Biasanya satu rombongan adalah puluhan warga dalam satu gang. Kepala RT sudah mengumumkan nomor urut warga yang akan didatangi rumahnya. Sekitar 400 kepala keluarga sudah mendapat nomor urut untuk 3 hari Barakan di sebuah pemukiman pusat kota Pulau Bengkalis ini.

Rombongan-rombongan tiap kompleks atau gang ini bertemu di jalan lalu menuju rumah dengan nomor urut pertama. Pada hari pertama Idulfitri kemarin tuan rumah pertama adalah Mbah Makmur. Perempuan usia lanjut ini duduk di dalam rumah sementara menantu dan anaknya bergantian menjamu tamu. 

Dimulai dengan rombongan laki-laki. Seseorang berinisiatif memimpin doa Al-Fatihah diikuti yang lain sekitar 2 menit. Aneka hidangan sudah tersaji. Dibagi menjadi beberapa kelompok agar tiap orang bisa mencicipi menu yang sama. Mbah Makmur dan keluarganya menghidangkan rendang dan ketupat sebagai menu utama. 

Lainnya ada aneka kue kering, buah, sirup, dan minuman kaleng aneka rasa impor dari Malaysia. Nyaris semua rumah menyediakan minuman kaleng ini. Pulau Bengkalis sangat dekat dengan Malaysia sehingga sejumlah produk konsumsi berasal dari negeri tetangga.

Dalam rumah panggung dari papan kayu Mbah Makmur ini, bisa menampung sekitar 40 orang. Sebagai toleransi, jika sudah banyak warga lain yang antre karena tak bisa masuk rumah, waktu makan dan icip kue ini dipercepat. Paling lama 5 menit, rombongan pertama selesai dan langsung mencari Mbah Makmur untuk bersalaman dan bermaafan. 

Hanya rombongan laki-laki di rumah pertama yang memanjatkan doa sebagai pembukaan dan rasa syukur. Lalu diikuti rombongan laki-laki lain yang mengantre. Jika sudah habis rombongan para pria, baru dilanjutkan rombongan perempuan. 

Demikian selanjutnya di rumah-rumah lain. Pada tengah hari, warga rehat pulang untuk salat dan melepas lelah. Kemudian dilanjutkan Barakan ke rumah-rumah lainnya. Jika ada 400 rumah yang perlu dikunjungi, artinya ada lebih dari 100 rumah per hari yang didatangi. Tak heran berlangsung dari pagi sampai sore secara maraton.

“Barakan ini berguna sekali buat kami mengenal tetangga dan warga satu dusun. Dulu pas baru tinggal di sini kita kan tak tahu siapa-siapa,” ujar Nur Aini, warga perantau dari Jawa Timur yang bermukim lebih dari 10 tahun di Pulau Bengkalis.

Kini ia merasa punya kampung kedua karena tiap tahun selalu bertemu, mengunjungi semua rumah warga dan berbagi makanan. Nur beberapa kali memeluk temannya yang lama tak jumpa. 

Salah satu yang jadi perbincangan selama rombongan adalah tentang makanan. Mereka sudah tahu ciri khas masakan atau penganan tuan rumah. Foto oleh Luh De Suriyani/Rappler

Salah satu yang kerap menjadi perbincangan selama rombongan ini jalan bersama menuju tiap rumah adalah tentang makanan. Mereka sudah tahu ciri khas masakan atau penganan tuan rumah. “Nanti kita makan pecel, aduh semoga ada tahun ini,” seru beberapa perempuan menyebut nama tuan rumah. 

Sate, sop kambing, pecel, siomay, kelengkeng (warga setempat menyebut buah ini mata kucing) adalah menu-menu yang banyak dibicarakan untuk dicicip. Kadang ada kejutan kuliner baru. Misalnya ketika warga mendapati roti jala di sebuah rumah. 

“Apa ini, gimana makannya,” celoteh mereka dalam bahasa Jawa. Walau tak semua beretnis Jawa, nyaris semua warga bisa berbahasa Jawa termasuk etnis Melayu dan Cina yang banyak di Pulau Bengkalis. 

Tuan rumah menyajikan roti jala yang terbuat dari tepung terigu. Teksturnya lembut setelah melewati proses pembuatan yang cukup rumit. Roti seperti jala dan dilipat membentuk lemper ini lalu disiram kuah opor. Gurih dan nikmat. 

Warga menikmati dengan bersemangat dan terburu-buru. Puluhan warga lain yang tak bisa masuk rumah sudah antre. 

Di dusun lain kadang ada perbedaan. Misal ada yang melakukan tradisi Barakan 4 hari karena dibagi jadi 3 rombongan yakni laki-laki, perempuan, dan anak-anak. 

Lebaran benar-benar hari kekerabatan di sini. Agenda lain hanya ada di malam hari. Namun ini bisa jadi sulit karena sudah letih dan harus menyiapkan tenaga untuk masak jika dapat urutan jadi tuan rumah selain energi untuk berkunjung ke rumah-rumah.

Sudarminto, salah tokoh masyarakat, mengatakan tradisi ini awalnya Tahlilan sehingga berlangsung cukup lama di tiap rumah warga. Namun saat itu jumlah KK sekitar 40-an. 

“Sekarang lebih banyak warga jadi dibuat singkat yang penting tujuan utamanya tercapai,” katanya. Yakni saling bermaafan, mengunjungi, dan mengenal.

Pertama kali menginjak kaki di Pulau Bengkalis, suasana nusantara sudah terlihat. Misalnya di pasar tradisional. Etnis warga beragam. Para pedagang terkenal dari etnis Jawa dan Melayu Cina. Tak heran bahasa Melayu dan Jawa dominan terdengar di tempat-tempat publik. Selain masjid, ada cukup banyak klenteng. 

Juga ada etnis Batak dan lainnya. Misalnya Yanto, seorang pemulung dari Medan tiap tahun berkunjung ke rumah Khusnul Wahid dari Lamongan, Jawa Timur saat Idulfitri. Keluarga pedagang pecel laut ini menjamu keluarga Yanto yang Katolik dengan hangat. 

“Saya kenal di jalan, ngobrol saja saya melihat dia memulung barang,” kata Khusnul Wahid. Keduanya lalu melanjutkan jalinan kekerabatan ini melalui perayaan agama masing-masing. 

Wahid juga membuat paket-paket makanan yang diberikan ke tiap kenalan termasuk etnis lain sebelum Idulfitri tiba. Demikian juga sebaliknya, mereka akan mendapat tanda silahturahmi saat perayaan Natal atau Imlek. Toleransi nyata di salah satu pulau terluar Indonesia yang berbatasan dengan Malaysia ini. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!