Hukum syariah Aceh bisa dikenakan ke non-Muslim

Nurdin Hasan

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Hukum syariah Aceh bisa dikenakan ke non-Muslim
Warga Aceh non-Muslim yang melanggar syariat bersama orang Islam dapat diproses melalui peraturan daerah atau aturan KUHP

BANDA ACEH, Indonesia –  Pelaksanaan syariat Islam di Provinsi Aceh dapat menjerat sekitar 90.000 warga non-muslim apabila melakukan tindak pidana yang tak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau aturan pidana lain di Indonesia, seperti minum minuman beralkohol dan khalwat, kondisi di mana lelaki/perempuan yang berduaan dengan lawan jenis yang bukan pasangannya. 

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) berencana mengesahkan qanun jinayat pada sidang paripurna, 22 September 2004. Dalam draf qanun itu, ada klausul non-muslim yang melanggar syariat bersama orang Islam dapat memilih apakah diproses melalui qanun jinayat di Mahkamah Syariah atau Pengadilan Negeri dengan aturan KUHP.

Tetapi, jika pelanggaran pidana itu tidak diatur dalam KUHP atau ketentuan pidana lain di Indonesia, maka mereka tetap diproses berdasarkan qanun jinayat. 

Ketua Komunitas Hakka Aceh, Kho Khie Siong, mengatakan, dia tak bisa berkomentar soal pengesahan qanun jinayat ini. Pasalnya, ia belum mempelajari secara rinci pasal yang bisa menjerat non-muslim bila melanggar qanun jinayat. 

“Ini terkesan aneh karena yang saya tahu syariat Islam di Aceh hanya berlaku untuk muslim. Tetapi kenapa sekarang juga diberlakukan juga untuk non-Muslim?” katanya saat diwawancara Rappler di Banda Aceh, Rabu (10/9).

Dia berharap, bila aturan itu benar-benar diberlakukan untuk non-Muslim, tidak ada diskriminasi terhadap minoritas di Aceh. Terlebih, selama ini warga non-Muslim sangat menghormati pelaksanaan syariat Islam di Aceh.

Menurut dia, di kalangan komunitas etnis Tionghoa Kota Banda Aceh sempat mendiskusikan soal qanun jinayat yang dapat menjerat warga non-Muslim setelah ada pemberitaan di media massa lokal. 

“Kita tunggu saja bagaimana nanti. Jika memang untuk kebaikan bersama, saya pikir tak masalah, dan etnis Tionghoa bisa menerimanya,” katanya seraya menambahkan bahwa dia selalu mengingatkan komunitas etnis Tionghoa untuk tak melanggar aturan yang berlaku di Aceh.

Pernyataan senada diutarakan Baron Ferryson Pandiangan, pembimbing masyarakat Katolik di Kantor Kementerian Agama Provinsi Aceh. Menurutnya, umat Katolik yang berjumlah lebih 5.300 orang di Aceh sangat menghormati pelaksanaan syariat Islam sebagai bentuk kekhususan provinsi yang dikenal dengan sebutan Serambi Mekah itu.

“Toleransi orang Aceh kepada warga non-Muslim sangat tinggi. Saya pribadi merasa lebih menjadi seorang Katolik sejati sejak bertugas di Aceh. Saya merasa lebih taat,” kata Baron, yang telah tiga tahun lebih menetap di Banda Aceh.

Ketika ditanya soal menjerat warga non-muslim bila melanggar qanun jinayat, Baron menyatakan, pemerintah Aceh belum pernah menyosialisasikan hal itu kepada umat Katolik. 

“Patut dipertanyakan juga motif di balik masuknya klausul itu karena syariat Islam di Aceh dikatakan hanya untuk kaum Muslim,” katanya.

Sondang Marbun, pembimbing masyarakat Kristen pada Kantor Departemen Agama Aceh, menyatakan pasal itu tak begitu berpengaruh baginya, karena yang terpenting adalah umat Kristen jangan sampai melanggar hukum sehingga tidak perlu diproses dengan qanun jinayat.

Sebagai bentuk penghormatan pelaksanaan syariat Islam di Aceh, perempuan yang telah 35 tahun menetap di Aceh memilih mengenakan jilbab apabila berada di luar rumah. Anak-anak perempuannya dan perempuan Kristen juga dianjurkan memakai jilbab, tetapi tak ada paksaan karena mereka bebas berpakaian asalkan sopan.

“Saya selalu berpesan kepada umat Kristen untuk menyesuaikan diri karena Aceh memberlakukan syariat Islam. Saya dan anak-anak memakai jilbab bila keluar rumah. Begitu juga sebagian perempuan Kristen lain. Mereka merasa nyaman meski tak ada kewajiban harus memakai jilbab,” katanya.

Asas keadilan

Sementara itu, Abdullah Saleh, seorang anggota DPRA, mengatakan, pasal yang dapat menjerat warga non-Muslim dalam qanun jinayat bertujuan memberikan rasa keadilan hukum kepada pelaku tindak pidana di Aceh. 

“Misalnya, kalau terjadi tindak pidana yang di dalamnya terdapat non-muslim, tetapi tak diatur dalam KUHP atau aturan lain di Indonesia, pelaku beragama Islam diproses menurut qanun jinayat, sementara pelaku yang non-Muslim harus bebas karena tak ada dasar hukum untuk menjeratnya. Lalu, dimana rasa keadilan hukum?” katanya. 

Sementara itu, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Nahdhatul Ulama Aceh (DPW NU), Teungku Faisal Ali, menyebutkan, pasal yang mengatur non-Muslim dalam qanun jinayat jangan sampai dianggap sebagai upaya pemaksaan syariat Islam untuk mereka.

“Syariat Islam di Aceh jangan terkesan menzalimi non-muslim. Jadi bukan memaksa syariat karena warga non-Muslim bebas melaksanakan ibadah sesuai agamanya,” katanya. Ia pun berharap polisi syariah lebih berhati-hati dalam menjalankan pasal tersebut.

Tapi Al Yasa’ Abubakar, seorang tim ahli DPRA, memiliki pandangan lain. Menurutnya, klausul yang dapat menjerat warga non-muslim tidak perlu dipertentangkan. Alasannya, pasal itu terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

“Klausul [berlaku untuk non-muslim] dalam Qanun Jinayat adalah diambil utuh dari Undang-undang Pemerintahan Aceh. Pasal itu adalah perintah undang-undang yang bukan dibuat di Aceh, melainkan oleh DPR RI,” kata Al Yasa’, yang juga profesor pada Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh.

Marzuki, seorang pejabat senior Wilayatul Hisbah (polisi syariah) Aceh menyatakan, sebenarnya pihaknya sudah bisa melaksanakan aturan syariat bagi non-muslim sejak pengesahan UU itu pada 2006.  

“Tetapi, kami belum menjalankan pasal untuk non-muslim untuk menghindari suara macam-macam dari pihak luar. Nanti setelah qanun jinayat diberlakukan dan sudah ada sosialisasi kepada warga non-muslim, kita lihat bagaimana melaksanakannya,” katanya. 

Diskriminasi

Direktur Eksekutif Koalisi NGO HAM Aceh, Zulfikar Muhammad menyatakan kekhawatirannya ketika pasal itu diimplementasikan. UU itu juga memungkinkan polisi syariah bertindak di luar kewenangan seperti diatur dalam qanun jinayat.

“Ini bentuk diskriminasi terhadap warga non-muslim karena siapa bisa jamin kalau polisi syariah tidak bertindak di luar batas kewenangan mereka, seperti yang sering terjadi selama ini,” katanya.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!