Jokowi bukan superhero

Tasa Nugraza Barley

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Jokowi bukan superhero

AFP

Jokowi tidak bisa penuh berkomitmen tepati janji kampanye, karena pada akhirnya ia hanya seorang politisi

Terkejut dan kecewa. Mungkin dua kata itu yang paling tepat menggambarkan perasaan banyak orang ketika Presiden terpilih Joko “Jokowi” Widodo mengumumkan postur kabinet di dalam pemerintahannya nanti. Di hadapan para wartawan, Senin pekan lalu (15/9), Jokowi menjelaskan bahwa ia akan mempertahankan komposisi 34 kementerian yang saat ini dimiliki oleh kabinet Indonesia Bersatu jilid II pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jabatan wakil menteri akan dihapuskan, Kementerian Luar Negeri menjadi pengecualian.

 

Yang paling mengejutkan, Jokowi mengatakan bahwa di dalam kabinetnya nanti akan terdiri dari 18 orang profesional non-partai dan 16 “profesional” partai. 

 

Pengumuman ini langsung mendapat respon yang keras dari banyak pihak. Harapan bahwa kabinet di bawah Jokowi hanya akan diisi oleh orang-orang yang betul-betul ahli, tanpa adanya transaksi politik, tiba-tiba sirna. Tentu, masyarakat tidak bisa menerima begitu saja alasan bahwa seorang profesional bisa saja datang dari partai politik. 

 

Jokowi dianggap berbohong, tidak sesuai dengan apa yang ia janjikan selama kampanye pemilihan presiden yang lalu. Reformasi birokrasi menjadi salah satu program jagoan Jokowi ketika itu. 

 

Ketika Jokowi muncul ke atas permukaan politik nasional, ia dielu-elukan bak seorang pahlawan. Sosoknya yang sederhana dan dekat dengan masyarakat, lewat metode “blusukan” yang akhirnya menjadi tren di kalangan para pemimpin daerah, merupakan antitesis dari model kepemimpinan yang biasa kita temukan selama ini. 

 

Ketika begitu banyak pejabat negara dan politisi yang tersangkut kasus korupsi, dan ketika masyarakat sudah mulai lelah untuk berharap, kemunculan Jokowi bagaikan sebuah oase di padang pasir yang begitu terik dan kering. Dukungan pun akhirnya mengalir tanpa henti. Hanya dalam waktu kurang dari tiga tahun, seorang walikota Solo bisa menjadi presiden negeri ini. 

 

Namun sayangnya, dukungan tersebut kebanyakan membabi buta. Kebanyakan orang, terutama mereka yang awam politik, lupa bahwa Jokowi bukanlah seorang superhero apalagi malaikat. Pada akhirnya, Jokowi adalah seorang politisi. 

 

Sebagai seorang politisi, Jokowi tidak akan pernah bisa lepas dari segala bentuk transaksi dan tekanan politik. Hal tersebut tidak bisa dihindari, bagaimanapun caranya. Apalagi di Indonesia, di mana sistem demokrasi kita masih jauh dari tahap menjadi dewasa.

 

Buku berjudul “The Prince” karangan Niccolo Machiavelli di abad ke-15 dengan gamblang menjelaskan soal ini. Di dalam bukunya yang kontroversial ini, yang menjadi acuan para pemimpin dan politisi hebat dunia, Machiavelli mengatakan bahwa untuk menjadi seorang politisi yang handal dan sukses, seseorang tidak bisa secara penuh berkomitmen pada semua janji-janji yang pernah ia buat.  

 

Sehingga ketika di masa-masa kampanye Jokowi dan Jusuf Kalla seakan-akan menjanjikan bahwa kabinet mereka akan sepenuhnya bersih dari transaksi politik, tentu kita tidak bisa memercayainya begitu saja. Kita seharusnya sadar bahwa hal tersebut tidak mungkin terjadi. 

 

Namun bukan berarti Jokowi salah. Hanya saja, ini politik.

 

Jokowi dan timnya jelas sudah mempertimbangkan banyak hal ketika merumuskan bentuk kabinet seperti apa yang cocok nantinya. Pengalaman Presiden SBY pasti menjadi salah satu acuan yang digunakan. 

 

Era SBY memberikan petunjuk yang jelas bahwa walaupun Indonesia menggunakan sistem pemerintahan presidensial namun kekuasaan para anggota legislatif yang begitu kuat semenjak era reformasi tidak bisa dikesampingkan. 

 

Seperti yang kita ketahui, salah satu kendala besar yang dihadapi oleh pemerintahan SBY selama sepuluh tahun adalah banyaknya serangan yang dilancarkan oleh para wakil rakyat. Walaupun SBY sudah mengakomodasi kepentingan partai pendukung melalui beberapa kursi di kabinet pemerintahannya, tetap saja SBY tidak bisa mendapat jaminan dukungan penuh di DPR. Akibatnya, banyak peraturan dan kebijakan pemerintah yang terganjal.

 

Jelas Jokowi tidak mau mengulangi hal yang sama. Koalisi Merah Putih yang dipimpin oleh partai Gerindra menguasai  63 persen kursi di DPR periode 2014-2019, unggul telak dari PDI-P dan partai pendukungnya. Masih terlalu awal memang untuk mengatakan bahwa koalisi Merah Putih bisa menjadi ancaman jangka panjang, namun jelas tidak bisa dianggap remeh. 

 

Mencuatnya wacana penghapusan pilkada langsung melalui RUU Pilkada adalah salah satu bukti nyata ancaman tersebut, walau sepertinya tidak akan terjadi setelah Partai Demokrat menyatakan dukungannya terhadap pilkada langsung.  

 

Jokowi harus mencari cara agar pemerintahannya bisa terus stabil, tanpa tekanan-tekanan politik yang tidak perlu. Mau tidak mau ia harus merebut hati beberapa partai di Koalisi Merah Putih agar berbagai kebijakan pemerintahannya nanti mendapat dukungan di DPR. Menggunakan logika sederhana, apabila SBY saja yang Partai Demokratnya menguasai koalisi di DPR seringkali mendapat serangan, apalagi koalisi PDI-P yang sampai saat ini masih menjadi kekuatan politik minoritas.

 

Yang harus dilakukan oleh Jokowi saat ini adalah memastikan bahwa walaupun ada beberapa pos menteri yang diisi oleh orang partai namun mereka harus betul-betul mendapatkan pengawasan yang ketat sehingga kepentingan partai tidak didahulukan. Sementara itu, Jokowi harus bisa menempatkan orang-orang yang benar-benar ahli untuk beberapa posisi menteri yang sangat strategis, misalnya menteri-menteri di bidang perekonomian. 

 

Kinerja kabinet adalah hal yang teramat penting bagi Jokowi nantinya. Dari situlah kinerjanya sebagai pemimpin negeri ini dapat kita nilai. Sehingga ia tidak bisa main-main dalam memilih siapa-siapa saja yang akan membantu kinerja pemerintahannya. Karena tentu ia tidak hanya ingin diingat sebagai seorang presiden yang “ndeso,” tapi juga seorang presiden yang berhasil membawa bangsa ini maju. —Rappler.com 

Tasa Nugraza Barley adalah seorang konsultan komunikasi yang pernah menjadi jurnalis selama dua tahun di sebuah koran berbahasa Inggris di Jakarta. Ia suka membaca buku dan berpetualang, dan ia sangat menikmati cita rasa kopi tubruk yang bersahaja. Follow Twitternya di @barleybanget

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!