Mahkamah Konstitusi tolak uji materi UU MD3

Abdul Qowi Bastian

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mahkamah Konstitusi tolak uji materi UU MD3

AFP

Partai Golkar kini dijagokan untuk mengisi posisi Ketua DPR setelah MK menolak uji materi UU MD3 yang diajukan oleh PDI-P

JAKARTA, Indonesia — Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruhnya uji materi Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3, Senin (29/9). Menurut majelis hakim MK, uji materi yang diajukan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) terkait susunan pimpinan DPR tidak bertentangan dengan UUD 1945.

“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva saat membacakan sidang putusan.

Sebelumnya, PDI-P mendaftarkan uji materi UU MD3 karena merasa dirugikan oleh tujuh pasal dalam UU tersebut. Pasal tersebut adalah Pasal 84, 97, 104, 115, 121, dan 152.

Pasal 84 menyatakan bahwa pimpinan DPR RI dipilih dari dan oleh anggota DPR. Berdasarkan UU No. 27 Tahun 2009, PDI-P sebagai pemenang pemilu 2014 berhak mendapatkan jatah posisi sebagai Ketua DPR. PDI-P dalam pemilihan umum legislatif bulan April lalu menjadi pemenang pemilu dengan 18,95% jumlah suara sah.

Dengan disahkannya UU No. 17 tahun 2014, maka ketentuan pimpinan DPR yang sebelumnya diatur dalam UU No. 27 Tahun 2009 tidak berlaku lagi.  

UU MD3 digarap oleh partai politik yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih yang terdiri dari Golkar, Gerindra, PPP, PAN, dan PKS. Dengan demikian, masing-masing partai dapat mengajukan calonnya untuk menjadi Ketua dan Wakil Ketua DPR.

Partai Golkar kini dijagokan untuk mengisi posisi Ketua DPR, menurut Wakil Ketua DPR periode saat ini Priyo Budi Santoso. 

Sejauh ini nama-nama yang masuk dalam bursa pencalonan ketua DPR adalah Ketua Fraksi Golkar Setya Novanto dan Wakil Ketua Umum Golkar Fadel Muhammad.

Seharusnya dikabulkan

Hakim Konstitusi Maria Farida dan Arief Hidayat mengajukan dissenting opinion terhadap putusan MK tersebut. Menurut Maria, gugatan pemohon seharusnya dikabulkan.

“Pembentukan UU MD3 tidak berdasarkan prinsip negara hukum. Pengujian formil seharusnya dikabulkan dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Maria membacakan nota perbedaan pendapatnya. 

Maria melanjutkan, seharusnya UU MD3 dipersiapkan sebelum pemilu legislatif dilaksanakan, bukan sehari sebelum pemilihan presiden bulan Juli lalu. Pembentukan UU ini, menurut Maria, harus mengedepankan keterbukaan. 

Ia juga menyatakan bahwa UU MD3 “cacat hukum. Mengapa setiap lima tahun setelah pemilu, peraturannya selalu berubah?”

Pakar hukum tata negara Refli Harun mengatakan bahwa keputusan MK menolak seluruhnya uji materi UU MD3 memang beralasan.

“Pemilihan Ketua DPR oleh anggota DPR bukan inkonstitusional, karena pernah kita praktekkan,” ujar Refli dalam wawancaranya dengan Metro TV, Senin (29/9).

“Tapi penetapan Ketua DPR oleh partai dengan kursi terbanyak juga tidak inkonstitusional, karena juga pernah kita praktekkan,” sambungnya.

Persoalannya, lanjut Refli, adalah sisi moralitas konstitusionalnya. Ia setuju dengan pendapat Hakim Maria yang menyatakan mengapa UU tersebut ditetapkan setelah hasil pemilu diketahui. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!