Menguatkan penyelenggaraan pilkada langsung

Ferry Kurnia Rizkiyansyah

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menguatkan penyelenggaraan pilkada langsung

EPA

Secara kelembagaan KPU memutuskan untuk berada dalam posisi netral terkait UU Pilkada, tapi ada sejumlah catatan terkait penyelenggaraan pilkada selama satu dasawarsa terakhir

Mekanisme pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati dan wali kota) menjadi topik diskusi yang hangat di ranah publik. Yang harus kita pahami bersama, pemungutan suara merupakan perwujudan bagi rakyat untuk mengekspresikan pilihan politiknya. Membuka partisipasi masyarakat seluas-luasnya di dalam pemilu menjadi bentuk implementasi prinsip “Luber dan Jurdil” dalam pemilu yang berdampak pada semakin baiknya kualitas pemilu dan hasil pemilu.

Secara kelembagaan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah memutuskan berada dalam posisi yang tidak berpendapat dalam perdebatan mekanisme pemilihan kepala daerah tersebut. Tetapi kami berkeinginan untuk menyampaikan kepada publik, beberapa hal yang menjadi catatan dan pengalaman bangsa kita selama satu dasawarsa melaksanakan pilkada secara langsung sejak 2004 berdasar Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 

Pembiayaan pilkada

UU 32/2004 meletakkan tanggung jawab pembiayaan pilkada kepada pemerintah daerah. Usulan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait pembiayaan pilkada harus mendapat persetujuan pemerintahan daerah, yakni pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Situasi ini membuat KPU dalam posisi yang harus berkomunikasi dan bernegosiasi dengan pemerintah untuk memastikan alokasi anggaran disetujui dan sesuai kebutuhan.

Aspek pembiayaan yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) berpotensi menjadi ‘senjata’ kepala daerah yang sedang menjabat untuk menekan dan mengintervensi penyelenggara pemilu. Jika penyelenggara pemilu tidak kuat menghadapi situasi demikian, maka prinsip independensi, integritas, dan kemandirian akan terabaikan. 

Tetapi secara nasional, dalam satu dasawarsa terakhir, penyelenggaraan pilkada berjalan dengan baik dan mendapat dukungan dari pemerintah daerah. Proses komunikasi dan negosiasi anggaran yang cukup panjang dan melelahkan hanya terjadi di dua daerah, yaitu Provinsi Lampung dan Provinsi Maluku Utara untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur.

Perangkat undang-undang sebenarnya telah menyediakan format pembiayaan pilkada yang lebih fleksibel. Jika pemerintah merasa berat menyediakan anggaran pilkada dalam satu tahun anggaran, pemerintah dapat membentuk dana cadangan. Sehingga tidak ada alasan rasional bagi pemerintah daerah tidak menyediakan anggaran pilkada. Ke depan, jika pemerintah ingin menghindarkan penyelenggara pemilu dari posisi yang harus bernegosiasi dengan pemerintah daerah, maka aspek pembiayaan harus menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Hal ini sejalan dengan rezim penyelenggaraan pemilu yang menjadi kewenangan penuh KPU.

Kampanye kandidat

Kegiatan kampanye merupakan salah satu tahapan yang sangat penting dalam pelaksanaan pemilu maupun pilkada. Kampanye merupakan sarana bagi kandidat untuk menyampaikan visi, misi, dan programnya kepada para pemilih. Selain itu, kampanye menjadi sarana bagi publik untuk dapat mengenali kandidat secara detail, tidak hanya berkaitan dengan visi, misi, dan programnya, tetapi juga berkaitan dengan kehidupan pribadi kandidat.

Secara umum pengaturan kampanye untuk pilkada tak jauh berbeda dengan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Walaupun tentunya ada pengaturan pemasangan baliho dan spanduk untuk adanya keadilan semua peserta pemilu dan semangat efisiensi yang bisa diterapkan dalam pilkada.  

Ada 9 metode kampanye pilkada yang dibenarkan sesuai pasal 76 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yaitu pertemuan terbatas, tatap muka dan dialog, penyebaran melalui media cetak dan media elektronik, penyiaran melalui radio dan televisi, pemasangan alat peraga di tempat umum, rapat umum, debat publik/debat terbuka antar calon dan kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan.

Ruang dialog antara kandidat dengan para pemilih harus dibuka selebar-lebarnya. Pemilih harus mendapat informasi yang seluas-luasnya tentang kandidat. Hal ini penting untuk mendorong lahirnya pemilih yang rasional, cerdas, dan mandiri. Sayangnya dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, waktu yang disediakan untuk kandidat berkampanye sangat terbatas. Pasal 72 ayat 2 menyebutkan kampanye dilakukan selama 14 hari dan berakhir 3 hari sebelum hari pemungutan suara. Waktu 14 hari tentu terlalu singkat bagi pemilih untuk dapat mengenali secara mendalam profil kandidat.

Daftar pemilih 

Regulasi pilkada tidak mengenal adanya daftar pemilih khusus (DPK) dan daftar pemilih khusus tambahan (DPK TB). Kelemahan regulasi pilkada tersebut, kini telah dapat diatasi setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 85/PUU-X/2012. Putusan MK tersebut menegaskan Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang diartikan tidak mencakup warga negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT), daftar pemilih sementara (DPS), daftar pemilih sementara hasil perbaikan (DPSHP), daftar pemilih sementara hasil perbaikan (DPSHP) akhir dan daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP4).

Putusan MK tersebut telah ditindaklanjuti dengan Surat Edaran KPU RI bernomor 186/KPU/III/2013 perihal penjelasan tindak lanjut putusan MK nomor 85/PUU-X/2012 tertanggal 27 Maret 2013. Sejak saat itu, pemilih yang namanya tidak tercatat dalam DPT tetap dapat menggunakan hak pilih.

KPU telah mengatur tata cara penggunaan hak pilih bagi warga yang tidak tercatat namanya dalam DPT, yaitu : (1) menunjukkan KTP dan Kartu Keluarga (KK) yang masih berlaku atau nama sejenisnya; (2) penggunaan hak pilih tersebut hanya dapat dilakukan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang berada di RT/RW atau nama sejenisnya sesuai dengan alamat yang tertera di dalam KTP-nya; (3) sebelum menggunakan hak pilihnya, yang bersangkutan terlebih dahulu mendaftarkan diri pada KPPS setempat; (4) pemberian suara dilakukan dalam waktu 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS; (5) pemilih yang menggunakan hak pilih tersebut dicatat dalam Formulir C1-KWK pada kolom pemilih dari TPS lain dan juga dicatat pada Formulir C3 (pernyataan keberatan saksi dan kejadian khusus yang berhubungan dengan hasil pemungutan suara dan penghitungan suara pilkada di TPS).

Penghitungan suara

Untuk penghitungan suara, aspek transparansi menjadi hal yang sangat penting dalam memastikan hasil pemilu sesuai dengan kehendak rakyat yang asli. KPU telah memulai proses transparansi hasil penghitungan suara pada Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014. KPU menyediakan hasil scanning sertifikat hasil penghitungan suara di tingkat TPS (formulir C1) di website KPU yang dapat diakses secara luas oleh publik. Formulir C1 yang berhasil di-scan dan diupload ke website mencapai 98 persen.

Publikasi hasil pemilu secara transparan telah mendorong partisipasi publik untuk mengawal penghitungan dan rekapitulasi suara secara bertingkat yang dilakukan oleh Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), panitia pemungutan suara (PPS), panitia pemilihan kecamatan (PPK) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Setidaknya ada enam website crowdsourcing yang ikut melakukan penghitungan suara dan mempublikasikannya seperti kawalpemilu, kawalsuara, realcount, pilpres 2014, datapilpres, dan C1 Yang Aneh.

(BACA: Guardians of Indonesia’s votes)

Model transparansi hasil pemilu pada Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dapat diadopsi dalam pilkada. Transparansi akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap proses pemilu yang sedang berlangsung. Potensi konflik karena adanya tudingan-tudingan manipulasi akan terhindarkan. Masyarakat juga akan tergerak untuk berpartisipasi mengawal proses penghitungan dan rekapitulasi yang sedang berlangsung.

Sebagai penyelenggara, KPU berkewajiban memberikan layanan terbaik kepada para pemilih saat menggunakan hak pilihnya. Awalnya, regulasi pilkada memiliki titik lemah dalam hal perlindungan hak konstitusional warga negara. Di mana, untuk dapat menggunakan hak pilih, warga negara harus terdaftar sebagai pemilih dalam daftar pemilih. Warga yang tercecer dari pendataan panitia pemutakhiran data pemilih (PPDP), tidak dapat menggunakan hak pilih.

Model transparansi hasil pemilu pada Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dapat diadopsi dalam pilkada. Transparansi akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap proses pemilu yang sedang berlangsung. Potensi konflik karena adanya tudingan-tudingan manipulasi akan terhindarkan. Masyarakat juga akan tergerak untuk berpartisipasi mengawal proses penghitungan dan rekapitulasi yang sedang berlangsung.

Inilah beberapa aspek dalam penyelenggaraan pilkada yang perlu menjadi perhatian kita semua. Bangsa kita telah memiliki banyak pengalaman dalam penyelenggaraan pemilu dan pilkada. Berbagai titik lemah dalam hal electoral law (aspek hukum pemilu) dan electoral process (proses pemilihan) dalam pemilukada terus diperbaiki untuk melayani rakyat dalam melaksanakan kedaulatannya. 

Ferry Kurnia Rizkiyansyah adalah seorang komisioner di Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI). Follow Twitter-nya di @FerryKR.

Artikel ini sebelumnya diterbitkan oleh Rumah Pemilu.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!