Melihat Indonesia dari kursi roda bersama Sri Lestari

Uni Lubis
Melihat Indonesia dari kursi roda bersama Sri Lestari

“Hari ini resmi saya sampai di Titik Nol di Pulau Sabang. Bagi teman-teman yang berwisata ke Pulau Sabang, jangan lupa mampir ke Pantai Iboih yang sangat indah ini.” 

Kalimat yang penuh syukur di atas disampaikan Sri Lestari kepada penonton video perjalanan yang diputar di hadapan peserta diskusi publik “Implementasi Regulasi Fasilitas Infrastruktur dan Transportasi Publik Yang Ramah Bagi Penyandang Disabilitas”, (#cities4all), yang digelar Sabtu (11/10). Diskusi ini diselenggarakan oleh Perkumpulan Alumni Eisenhower Fellowhips Indonesia, di Aula Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Jakarta.

Pemandangan indah di Pulau Sabang membuat hadirin tercekat.

“Wow, amazing. Mbak Sri yang berkursi roda sudah sampai di Sabang. Saya belum pernah ke sana,” gumam peserta yang hadir. 

Ada haru. Juga tersipu. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu dan jajaran pejabat Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ada di antara hadirin. Mereka pun terpaku matanya pada keindahan yang dibagikan Sri Lestari kepada hadirin. 

Saya memandu acara ini dan spontan berkomentar, “Sri Lestari sebenarnya tengah melakukan promosi pariwisata Indonesia. Video yang mengabadikan perjalanan Sri dimuat di saluran YouTube dan dapat diakses dari manapun.” 

Perjalanan Sri yang tujuan utamanya mengampanyekan hak aksesibilitas bagi penyandang difabilitas ternyata sekaligus promosi bagi keindahan Indonesia.

Perjalanan Sri Lestari dari Sabang menuju Jakarta yang berakhir pada 9 Oktober 2014 ini melewati sejumlah kota dan tempat menarik. Orang yang memiliki tubuh dan panca indera yang normal belum tentu sanggup melakoni jalan darat sejauh 2.500 kilometer. 

Medan yang berat. Di beberapa lokasi infrastruktur jalan rusak. Kantor dan bangunan publik yang jauh dari layak untuk seorang penyandang disabilitas. Begitu pula sejumlah tujuan wisata yang diandalkan sebagai sektor penting dalam mengalirkan duit ke pundi-pundi keuangan negara.

Mengikuti perjalanan Sri Lestari seakan melihat Indonesia dari atas kursi roda. Sepanjang jalan ia bertemu ratusan orang dari beragam komunitas. Bersentuhan dengan beragam isu sosial kemasyarakatan. 

Isu pembakaran hutan secara ilegal. Isu akses pendidikan bagi murid dengan kebutuhan khusus. Isu kesetaraan gender. Isu kesamaan hak aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Saya membayangkan betapa kaya pengalaman dan pengetahuan yang didapat Sri Lestari dari perjalanan inspiratifnya. Bukankah pengalaman ini masukan yang sangat berharga bagi pembuat keputusan di beragam instansi, publik maupun swasta. 

Di Pulau Samosir, Sumatera Utara, dia menikmati obyek wisata Gale-Gale. Di Palembang, Sumatera Selatan, Sri menikmati pemandangan di Jembatan Ampera, mengunjungi pusat tenun, dan menggali informasi mengenai proses tenun songket Palembang yang sangat terkenal. Di sana pula ia melihat Al-Qur’an terbesar di dunia. 

Di Lampung dia berkunjung ke Pusat Pelestarian Gajah Way Kambas. Di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, ia menikmati Kuliner Kapau. 

Sungguh pengalaman yang luar biasa. Pengalaman yang didapat karena semangat luar biasa dari seorang yang pernah mendekam di rumah selama 10 tahun sejak alami kecelakaan yang merenggut dua kakinya. Kisah Sri Lestari sudah pernah saya sampaikan di tulisan di sini. 

Diskusi #cities4all oleh Eisenhower Fellowships Indonesia bagi penyandang disabilitas. Foto oleh Eka Lorena Sari/Twitter

Saya berpikir, Sri Lestari pantas menjadi Duta Wisata Indonesia. Beranikah Kementerian Pariwisata menggunakan pengalaman Sri Lestari sebagai cara promosi pariwisatanya? Bukankah sudut pandang “orang biasa” berpotensi lebih besar untuk menciptakan “engagement” atau keterlibatan emosional? Kalau Sri mau dan bisa, mengapa saya tidak?

Pertanyaan ini juga saya sampaikan ke produsen swasta. Maukah mereka menggunakan sosok seperti Sri Lestari sebagai duta produknya? Produsen kendaraan bermotor, cenderung mencari sosok perempuan cantik dan langsing dan dikemas dalam dandanan seksi untuk mengiklankan produk sepeda motornya. Tahu apa mereka soal kualitas produk yang ditawarkan? Padahal produk konsumen biasanya ingin mengincar semua ceruk pasar. 

Kecenderungan produsen dan biro iklan menggunakan wajah selebriti, baik itu aktor maupun aktris dalam menjajakan produk sudah sering menjadi perhatian dalam ragam diskusi media. Produsen biasanya ingin menawarkan produknya untuk sebanyak mungkin konsumen. Produk untuk semua. Tapi yang dijadikan duta adalah perempuan cantik atau lelaki ganteng dengan tubuh kekar dan ganteng. Ada produk minuman herbal yang pernah menggunakan sosok almarhum Mbah Maridjan, kuncen Gunung Merapi. Namun tetap saja figur lainnya di iklan itu adalah sosok selebriti .

Belum lagi dengan produk kecantikan yang mengandung pemutih wajah. Bintang iklannya pun sudah putih mulus kulitnya. Ada unsur “menipu” konsumen sebenarnya, karena mereka yang berkulit warga gelap mana mungkin kulitnya menjadi putih?

Hal yang sama berlaku di industri televisi. Kecenderungan mencari pembawa acara yang “enak dilihat” masih mendominasi. Kecuali Anda pemilik atau direktur yang bisa melakukan apa saja dan tampil di layar televisi yang dikelolanya, jangan harap wajah “biasa” berkesempatan menjadi ikon program. Termasuk di program jurnalistik.

Pengecualian ada di program komedi.

Dimas Muharam, seorang tunanetra pendiri perkumpulan Karya Tuna Netra dalam diskusi itu menyindir kami yang hadir. Saya yang sebelumnya bekerja di televisi merasa paling tersindir (saya terima dengan lapang dada). Dimas, yang artikulatif dalam mempresentasikan idenya soal @IDNyaman mengatakan, “Kami ini meski tidak bisa melihat bisa juga lho menjadi presenter televisi. Ada yang berani mengajak kami?”

Program @IDNyaman adalah situs yang mengajak semua warga berpartisipasi untuk melaporkan fasilitas publik yang tidak memenuhi syarat kota yang ramah untuk semua. Dimas dan kawan-kawannya di Karya Tuna Netra juga telah meluncurkan dua buku kumpulan cerpen. Dua tahun lalu mereka mengundang saya untuk memberikan pelatihan jurnalistik.

Menerobos “zona nyaman” ini yang dilakukan oleh situs media sosial Rappler.Com. Situs media yang didirikan oleh sejumlah jurnalis di Filipina ini memenangi Spark Award melalui kampanye #WHIPIT yang dikelolanya untuk merk pembasuh rambut yang diproduksi sebuah grup produk kecantikan. Alih-alih menggunakan sosok perempuan cantik untuk mempromosikan produk kecantikan rambut, tim Rappler.com menggunakan pendekatan jurnalistik sensitif gender dengan mengemas kampanye yang melibatkan kisah hidup beragam perempuan yang mewakili masyarakat Filipina.

#WHIPIT menuai sukses besar termasuk menempati Trending Topic di Twitter. Komunikasi produk disajikan merangkul semua lapisan perempuan di Filipina, yang notabene mirip dengan Indonesia. Mulai dari perempuan berprofesi polisi, perempuan buta, perempuan yang bekerja di ladang, ditampilkan aspek kehidupannya. Inovasi yang dilakukan tim #BrandRap mengundang decak kagum dari powerhouse seperti Facebook dan Google. Anda bisa ikuti kisahnya di sini.

Rappler didirikan dengan tim kecil, kombinasi jurnalis berpengalaman dan orang muda penggiat Internet. “Yang kami lakukan dengan kampanye #WHIPIT adalah membangun kolaborasi melalui beragam kisah kehidupan perempuan di Filipina, menggunakan pendekatan jurnalistik, urun daya dan data dari proses teknologi,” kata Maria Ressa, pendiri dan kepala eksekutif Rappler.

Saya bertemu Maria Ressa di Manila dua pekan lalu. Lama kami tak berjumpa sejak dia masih bertugas sebagai kepala biro CNN di Indonesia tahun 90-an, terutama saat reformasi. Kami bertemu lagi di Bali saat acara Global Media Forum awal September tahun ini. Kami tinggal di hotel yang sama yang disediakan panitia untuk para pembicara. 

Banyak sudut pandang inspiratif yang ingin saya bagikan kepada Anda dari diskusi #cities4all, Sabtu lalu, pula dari pengalaman Sri Lestari dan para pembicara lain yang hadir. Ada Ibu Sinta Nuriyah Gus Dur yang menceritakan bagaimana dengan kursi roda menunaikan kuliah di kampus yang tidak ramah bagi difabel. Ada Walikota Banda Aceh Illiza Saa’dudin Djamal yang bertekad jadikan Banda Aceh ramah difabel. Pula pembicara inspiratif lain yakni Eka Lorena Sari, Elisa Sutanudjaja, Totok Suryono dan Maria Lihawa. Tak lupa Mari Pangestu yang mengatakan, “Lewat diskusi ini, kesadaran kita akan isu disabilitas meningkat 1.000 persen.”

Tapi kali ini saya masih terkenang dengan keindahan Indonesia yang dibagikan Sri kepada kita semua. Melihat Indonesia dengan berbeda.

Video perjalanan Sri Lestari melintasi Pulau Sumatera dapat disaksikan di sini

Uni Lubis adalah mantan chief editor news and current affairs di ANTV. Follow Twitter-nya @unilubis

Artikel ini sebelumnya diterbitkan di blog pribadinya di unilubis.com.

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!