Mengakali pelantikan Jokowi

Haryo Wisanggeni

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mungkinkah pelantikan Jokowi-JK digagalkan? Kecil kemungkinannya

MENYAMBUT JOKOWI. Spekulasi merebak di media massa perihal skenario penjegalan pelantikan Presiden terpilih Joko ‘Jokowi’ Widodo. Foto oleh Bay Ismoyo/AFP

Hari-hari ini sedang merebak kekhawatiran bilamana proses pelantikan Joko “Jokowi” Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019 tidak dapat berjalan lancar. Penyebab utamanya, pihak pendukung mantan calon presiden Prabowo Subianto yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) ditengarai akan melakukan manuver untuk menghambat proses pelantikan mereka. 

Dugaan adanya upaya penjegalan ini telah dibantah oleh Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 2014-2019 terpilih yang berasal dari KMP, Zulkifli Hasan. Namun demikian, hingga saat ini kekhawatiran masyarakat belum reda. Relawan Jokowi-JK bahkan berniat menggelar aksi massa untuk mengawal proses pelantikan pasangan presiden dan wakil presiden pilihannya tersebut.

Mungkinkah pelantikan Jokowi-JK memang dapat digagalkan oleh KMP?

Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) Nomor 17 Tahun 2014 mengatur dalam Pasal 33, Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum akan dilantik dalam sidang paripurna MPR.

Masih bersumber pada UU MD3, dalam Pasal 34 Ayat 5 kemudian disebutkan, “dalam hal MPR tidak dapat menyelenggarakan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat 4 (dalam ayat ini dijelaskan bahwa yang dimaksud adalah sidang paripurna MPR untuk pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih), Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR.”

Bagaimana jika baik MPR maupun DPR tidak dapat melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih? Dalam Ayat 6 pasal yang sama dijelaskan, “dalam hal DPR tidak dapat menyelenggarakan rapat sebagaimana dimaksud pada Ayat 5, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung”.

Jadi, ada tiga opsi untuk melantik Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia: melalui sidang paripurna MPR; melalui rapat paripurna DPR; atau cukup melalui pengucapan sumpah atau janji di hadapan pimpinan MPR dan Mahkamah Agung.

Saat ini KMP memang menguasai kursi pimpinan DPR dan MPR. Artinya satu opsi sudah pasti dapat mereka gagalkan, yaitu pelantikan melalui pengucapan sumpah atau janji di hadapan pimpinan MPR dan Mahkamah Agung.

Koalisi pendukung mantan calon presiden Prabowo Subianto (kedua dari kanan) disebut akan mencoba menghalangi pelantikan Presiden terpilih Joko Widodo. Foto oleh Adi Weda/EPA

Kubu Jokowi-JK memang masih memiliki Oesman Sapta yang terpilih sebagai salah satu Wakil Ketua MPR dari kelompok Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk periode lima tahun ke depan. Oesman Sapta diketahui mendukung pasangan Jokowi-JK dalam pilpres 2014. Namun demikian harus diingat sesuai dengan pasal 15 UU MD3, frase “Pimpinan MPR” merujuk pada satu orang ketua dan empat orang wakilnya. Satu orang saja tidak terwakili, maka tidak disebut sebagai “Pimpinan MPR”.

Merujuk pada Ketetapan MPR Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Tertib MPR Pasal 67, syarat sahnya keputusan sidang MPR selain untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945 dan memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden, adalah tingkat kehadiran minimal 50 persen tambah satu dan tingkat persetujuan minimal 50 persen tambah satu dari seluruh yang hadir. Sekalipun keputusan diambil berdasarkan mufakat, syarat terkait tingkat kehadiran tetap berlaku. 

Mari kita analisa komposisi perolehan suara dalam proses pemilihan ketua MPR yang lalu. KMP memperoleh 347 suara, sedangkan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) pendukung Jokowi-JK 330 suara. Ada 677 suara yang masuk dari 692 orang anggota MPR (560 orang anggota DPR dan 132 senator DPD) periode 2014-2019. 

Jika 15 orang yang belum menggunakan hak suaranya kita asumsikan semuanya pro KIH, kubu KMP tetap memiliki 347 suara yang merepresentasikan 50,14% suara anggota MPR saat ini. Dengan asumsi tingkat kehadiran 100%, KMP dapat menggagalkan pelantikan Jokowi-JK jika 347 orang ini kemudian beramai-ramai tidak hadir dalam sidang paripurna pelantikan yang akan berlangsung pada 20 Oktober mendatang.

Akan halnya untuk rapat paripurna DPR, merujuk pada Tata Tertib DPR berikut ini, paling tidak terdapat dua syarat sahnya keputusan rapat paripurna DPR. Pertama adalah kehadiran anggota dan unsur fraksi di DPR sebagaimana diatur dalam pasal 245 Tata Tertib DPR, yaitu minimal dihadiri oleh 50 persen anggota DPR yang merepresentasikan paling tidak setengah dari fraksi-fraksi yang ada. Selanjutnya dalam situasi voting, tingkat persetujuan minimal adalah 50 persen tambah satu dari jumlah yang hadir. 

Di DPR, KMP (minus PPP yang telah menyeberang ke KIH) menguasai 253 kursi, sedangkan KIH dengan tambahan amunisi dari PPP menguasai 246 kursi. Tidak satupun memiliki penguasaan di atas 50 persen sehingga dapat mengendalikan situasi sepenuhnya.

Kalaupun KIH dapat menghadirkan seluruh punggawanya, mereka belum dapat memenuhi syarat jumlah kehadiran minimal untuk sahnya keputusan rapat paripurna DPR meskipun untuk syarat keterwakilan fraksi telah terpenuhi (lima fraksi dari sepuluh fraksi di DPR). Di sisi lain, kubu KMP yang saat ini hanya terdiri dari empat fraksi jelas tidak mampu memenuhi kedua syarat tersebut. 

Sebagai konklusi, bila dinamika di MPR akhirnya membuat proses pelantikan Jokowi-JK di tingkat MPR terhambat, harapan terakhir mereka untuk dapat melenggang menuju istana adalah melalui rapat paripurna DPR. Hal ini karena seperti telah dijelaskan sebelumnya, opsi pelantikan melalui pengucapan sumpah atau janji di hadapan pimpinan MPR dan Mahkamah Agung sangat rentan untuk diganjal oleh KMP. Menyimak hitung-hitungan di DPR, maka sangat bisa jadi peran Partai Demokrat sebagai kekuatan penyeimbang akan kembali menjadi krusial seperti telah kita saksikan dalam proses pengesahan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang lalu.

Tentu saja semua perhitungan di atas berlandaskan pada satu asumsi dasar, yaitu jika KMP sungguh-sungguh berniat menggagalkan pelantikan Jokowi-JK. Sampai tanggal 20 Oktober, mari kita berprasangka baik terlebih dulu.

Haryo Wisanggeni adalah seorang content producer di Selasar.com, sebuah portal opini dari seluruh elemen masyarakat Indonesia. Follow Twitter-nya di @HaryoWisanggeni

Artikel ini sebelumnya diterbitkan oleh Selasar.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!