Film terbaru Garin ‘Tjokroaminoto’ bicara guru bangsa dan komunisme

Adelia Putri

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Film terbaru Garin ‘Tjokroaminoto’ bicara guru bangsa dan komunisme
Film 'Guru Bangsa: HOS Tjokroaminoto' membuka sejarah yang kerap dianggap tabu. Ia tak hanya bicara soal figur seorang guru bangsa, namun juga komunisme, serta mengenalkan penonton pada karya nenek moyang.

Film Guru Bangsa: HOS Tjokroaminoto sudah mulai diputar di bioskop hari ini, Kamis, 9 April. Kalau kalian mengharapkan film penuh pertempuran dan romansa tingkat tinggi, ini bukan pilihan yang tepat.

Film ini menawarkan sesuatu yang lebih penting: Ulasan sejarah secara komprehensif yang selama ini hanya dibahas dalam beberapa halaman di buku sejarah sekolah, namun tetap dalam penggambaran indah khas sutradara Garin Nugroho.

 

Rappler bertemu dengan Garin dan tim film ini Rabu malam, 8 April, dan mendiskusikan hal-hal yang terjadi di belakang layar.

“Selalu ada dua pilihan dalam membuat film: Apakah itu untuk entertainment, dilihat lalu selesai, atau kedua, film yang cukup berat, panjang, tapi memberikan informasi yang cukup,” kata Garin. “Memilih keduanya hanya cita-cita, jadi saya pilih saja salah satunya.”

“Film ini tidak dibuat oleh PH (production house) untuk untung semata. Kami ingin film ini berumur panjang,” katanya lagi.

Garin meyakini bahwa film ini cukup menggambarkan perjuangan Tjokroaminoto secara komprehensif, lengkap dengan gambaran situasi saat itu dan pengaruh kejadian dunia.

“Film kita rata-rata cuma dari segi Indonesia, seakan-akan di luar tidak ada apa-apa. Film ini cukup komprehensif, ada pengaruh sejarah luar, revolusi di luar. Membuka mata kalau kita bagian dari sejarah dunia. Memang berat dan panjang tapi kita harus ambil resiko,” tutur Garin.

Unsur kepahlawanan yang kuat merupakan salah satu hal yang paling menonjol dalam film Guru Bangsa: HOS Tjokroaminoto. Kalau film-film sejarah sebelumnya bisa dibilang menghilangkan penghormatan atas pahlawan tersebut karena unsur hiburan, tidak dengan film ini. Hal ini pula yang membuat kerjasama antara tim produksi dan keluarga Tjokroaminoto berjalan lancar.

Film ketokohan memang sering menimbulkan pertentangan antara tim film dan keluarga karena perbedaan persepsi. Lihat saja film Sukarno yang akhirnya sampai harus ke ranah hukum karena keluarga tidak menerima penggambaran dan tokoh yang memainkan Bung Karno. 

“Keluarga (Tjokroaminoto) fully supported film ini. Memang ada beberapa perbedaan pandangan, tapi mereka serahkan semua ke sutradara karena kita berangkat dari respect terhadap tokohnya, bukan karena sekedar kita ingin buat film lalu kita respek-respekkan,” kata Garin.

Berani membuka sejarah yang dianggap tabu

Lucu memang, tapi bagi Garin, pencapaian terpenting film Guru Bangsa: HOS Tjokroaminoto adalah lolos sensor. 

“Untuk pertama kalinya kita bisa masukkan lagu Internazionale, lagu komunis, ke film, dan tidak dipotong. Tapi toh, memang lagu tersebut ya muncul di waktu itu,” ujar Garin. “Ya, tapi lagu tersebut tidak mungkin kalau nanti diputar di Malaysia.”

“Akhirnya membicarakan komunisme tidak lagi dianggap tabu di Indonesia. Kita bisa membahas Serikat Islam, meskipun belum sampai ke perpecahan SI merah dan putih, dan sekaligus membahas munculnya komunisme.”

Ada pula beberapa kritik mengenai tokoh-tokoh besar yang tidak terlalu terlihat dan cerita sejarah yang agak lompat-lompat, namun nampaknya ini sudah direncanakan dari awal.

“Kartosoewirjo, misalnya, memang tak terlalu ditampilkan. Kami potong di tahun 1921 karena ceritanya semakin rumit setelah itu,” jelas Garin. “Kalau terkesan lompat-lompat, saya memang ingin orang yang menonton timbul penasaran dan mencari tahu sendiri. Kalau ternyata ada salah, mereka bisa protes. Ini yang ingin kami munculkan. Saya nggak mau orang nonton lalu sudah begitu saja.”

Mengenal karya nenek moyang

Tak hanya mengulas sejarah, bagi aktris senior Christine Hakim yang juga bermain di film ini ada tujuan yang lebih besar lagi.

“Kalau kita lihat situasi sekarang, saya pikir film ini harus sampai ke masyarakat,” ujar Christine.

“Bukan cuma supaya mengenal Tjokro, tapi juga sebagai cermin kilas balik apa yang nenek moyang sudah lakukan, betapa luar biasanya bangsa ini. Supaya jangan lagi ada yang mengatakan kalau bangsa ini primitif.”

“Kita harus belajar, bagaimana dulu nggak ada Internet tapi mereka bisa menyatukan visi-misi. Itu hebat dan harus dicatat. Kenapa sekarang yang lebih gampang tapi tidak bisa melakukan itu?” 

Penasaran dengan filmya? Luangkan waktu 2,5 jam untuk kembali ke Indonesia (atau Melayunesia?) di masa penjajahan Belanda. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!