US Open 2015: Perang terakhir Roger Federer melawan Novak Djokovic

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

US Open 2015: Perang terakhir Roger Federer melawan Novak Djokovic

EPA

Tahun ini Novak Djokovic berpotensi mengulangi prestasi epiknya di grand slam: merebut tiga piala dalam setahun. Siapa yang bisa menghalanginya di AS Terbuka?

Dua tahun lalu, Roger Federer benar-benar berada di titik nadir. Kolektor terbanyak gelar juara grand slam dalam sejarah tenis dunia itu dianggap sudah habis. Jangankan kembali meraih gelar paling bergengsi di dunia tenis tersebut, mencapai final di turnamen reguler saja dia ngos-ngosan.

Serial kegagalan Federer mencapai puncaknya saat dia keluar dari 4 besar ranking petenis dunia untuk kali pertama sejak 2003, tahun di mana dia meraih gelar grand slam pertamanya di Wimbledon.

Salah satu penyebabnya adalah cedera punggung. Performa Federer usai menjalani operasi penyembuhan cedera benar-benar drop. Banyak yang menganggap petenis 34 tahun itu sudah habis. 

Apalagi, saat itu generasi petenis yang lebih muda mulai menguasai panggung. Mulai dari petenis Spanyol Rafael Nadal, Novak Djokovic (Serbia), hingga petenis Inggris Raya Andy Murray.

Beberapa orang kala itu menganggap Federer berada di akhir karirnya. Rentetan 17 gelar grand slam, terbanyak dalam sejarah, yang dia raih diprediksi tak lagi bertambah. 

Tapi, mentalitas petenis Swiss itu berkata lain. Federer bangkit. Dia membangun kembali legacy-nya. Tahun ini, dia sudah membuntuti petenis nomor satu Novak Djokovic di peringkat kedua petenis dunia. 

Sekarang, di AS Terbuka (US Open) yang digelar pada 31 Agustus-13 Agustus di New York City, Amerika Serikat, Federer menjadi salah satu penantang terbesar Novak Djokovic. Peluang petenis lain yang dulu menguasai panggung justru meragukan.

Rafael Nadal, misalnya. Usai cedera pergelangan tangan dan operasi usus tahun lalu, performanya terus menurun. Rankingnya anjlok. Dia kini bahkan harus rela terjerembab di ranking delapan dunia. Performanya belum kembali seperti dulu.

Bahkan, tahun ini dia tak pernah lolos dari babak perempat final grand slam. Itu belum termasuk kekalahannya di Rolland Garros, lapangan yang dianggap favorit Nadal.  

“Ini memang musim terburukku dalam 11 tahun terakhir. Tapi, saya rasa saya masih bisa menjadi pemain yang berbahaya (di AS Terbuka). Yang paling penting untukku adalah bermain di level tinggi lagi. Saya yakin saya mulai mendekat ke sana,” kata Nadal seperti dikutip ATP World Tour.

Begitu juga Andy Murray. Namun, petenis Skotlandia itu lebih memiliki kans ketimbang Nadal. Petenis 28 tahun itu punya catatan mengagumkan: Dia mengalahkan Djokovic di Montreal Masters pada 16 Agustus lalu. Padahal, selama dua tahun belakangan dia selalu kalah dengan Djokovic.

Banyak yang percaya Murray bakal terus melaju paling tidak hingga perempat final.

“Rasanya tubuhku berada dalam kondisi yang bagus. Tahun ini saya memenangkan lebih banyak pertandingan daripada sebelumnya. Saya merasa sangat bersemangat di sini,” kata Murray seperti dikutip BBC

Dengan situasi di grup elite The Big Four seperti itu, praktis kans Federer lebih besar. Apalagi, karakter Federer yang dulu membawanya mendominasi jagat tenis dunia mulai kembali pulih. 

Federer dikenal sebagai petenis dengan karakter bermain yang sangat fleksibel. Dia bisa bermain agresif di baseline, tapi tiba-tiba bisa berada di depan net. Dia juga bisa mengandalkan power pukulan, tapi dengan akurasi dan teknik yang lebih komplit.  

Sementara itu, skill Djokovic lebih spesifik. Dia dianggap sebagai petenis dengan kemampuan servis terbaik (yang membuat lawan langsung kehilangan poin) sepanjang sejarah tenis dunia. Berbeda dengan Federer yang “all-round”, Djokovic cenderung bermain agresif dari baseline

Namun, Djokovic tentu tak ingin peluangnya meraih tiga gelar grand slam dalam setahun direbut. Setelah Perancis Terbuka sudah direnggut Stanislas Wawrinka, rekan senegara Federer, hanya AS Terbuka yang bisa menggenapi jumlah itu. Sebab, Djokovic sudah menguasai Australia Terbuka dan Wimbledon. 

Tiga grand slam dalam setahun bakal membuatnya mengulangi prestasi epik 2011. Saat itu, petenis 28 tahun itu meraih Australia Terbuka, Wimbledon, dan AS Terbuka. Hanya satu gelar lagi untuk membuat namanya kembali tercatat dalam sejarah tenis dunia.  

Bagi Federer, grand slam ini bisa menjadi monumen puncak come back dia di ajang tenis dunia. Sejak 2013, dia belum pernah lagi menjuarai satupun grand slam. Peringkatnya kini memang sudah masuk empat besar, tapi tanpa piala grand slam, Federer masih belum apa-apa.

Hanya ada dua kemungkinan bagi Federer. Pertama, menghadang Djokovic di AS Terbuka dan menambah gelar grand slam ke-18. Kedua, kalah dan menyaksikan Djokovic kembali mendominasi panggung tenis dunia. Untuk waktu yang lebih lama lagi. —Rappler.com 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!