MK: Periksa anggota DPR RI harus seizin presiden

Haryo Wisanggeni

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

MK: Periksa anggota DPR RI harus seizin presiden

EPA

Putusan MK ini dinilai tak konsisten, mengingat lembaga eksekutif dan legislatif tidak 'satu kamar'

JAKARTA, Indonesia — Kini, tak mudah bagi aparat penegak hukum untuk meminta keterangan dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang diduga melakukan tindak pidana. 

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan, pada Selasa, 22 September, bahwa proses untuk memanggil dan meminta keterangan anggota DPR RI harus mendapat persetujuan dari Presiden.

Keputusan ini berawal dari gugatan yang diajukan oleh seorang warga bernama Supriyadi Widodo Eddyono dan Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana terhadap pasal 245 Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) No. 17 tahun 2014

Dalam gugatannya, mereka memohon agar MK membatalkan keberlakuan pasal tersebut karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. 

Alih-alih mengabulkan permohonan tersebut, MK malah mengubah ketentuan pada pasal yang menjadi objek gugatan, sekaligus pasal 225 ayat 5 karena dinilai memiliki keterkaitan.

Jika sebelumnya berdasarkan UU MD3 proses memanggil dan meminta keterangan anggota DPR RI harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), maka kini persetujuan serupa harus diminta kepada Presiden untuk anggota DPR.

Bahkan pada pertimbangannya, MK juga menyebutkan bahwa hal ini juga harus diterapkan untuk anggota MPR dan DPD.

Sedangkan untuk anggota DPRD persetujuan tertulisnya harus berasal dari Menteri Dalam Negeri. 

‘Tak konsisten’

Menanggapi keputusan tersebut, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menilai putusan MK ini tak konsisten.

“MK tidak konsisten. Mereka pernah membatalkan keperluan perizinan dari presiden untuk memeriksa kepala daerah, padahal itu masih make sense mengingat kepala daerah adalah perpanjangan tangan presiden,” kata Donal kepada Rappler, Selasa.

“Tapi sekarang untuk anggota legislatif harus izin presiden. Mereka itu beda kamar.”

Donal juga menambahkan bahwa dengan putusan ini, MK telah melampaui kewenangannya karena memutuskan sesuatu di luar yang diuji dan berpotensi menimbulkan kekacauan hukum. 

KPK tak terpengaruh

Menurut Donal, jika pemeriksaan terhadap anggota legislatif yang diduga melakukan tindak pidana hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Presiden dan Menteri Dalam Negeri, upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh kejaksaan dan kepolisian bisa terganggu.

Namun bagaimana dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? “KPK tidak terpengaruh karena dia mengikuti undang-undangnya sendiri tentang KPK,” kata Donal.

Pihak KPK sendiri membenarkan hal ini. 

“Sepengetahuan kami, KPK terikat dengan Undang-Undang KPK yang bersifat specialis (khusus), begitu pula dengan tata cara prosesualnya. Dengan demikian putusan MK itu tidak diartikan sebagai lex sine scriptis (hukum yang harus dilaksanakan tapi belum ada ketentuan pelaksanaannya) bagi Undang-Undang KPK,” kata Indriatno melalui pesan singkat, Selasa.

“Kami terikat terhadap Undang-Undang KPK. Bahwa ada perdebatan maka hal ini sebagai suatu kewajaran yang nantinya patut dihormati pula oleh pihak-pihak yang berkepentingan,” katanya lagi. 

Berikut teks lengkap putusan MK untuk perkara dengan nomor 76/PUU-XII/2014 ini:

Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!