Mengingat kembali tragedi Mina 1990

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengingat kembali tragedi Mina 1990

EPA

Saksi mata yang berada di tempat mengulang kembali apa yang ia saksikan saat tragedi Mina, Arab Saudi, 1990

JAKARTA, Indonesia — Sudah lebih dari 700 jemaah haji dari seluruh dunia meninggal dunia akibat terinjak-injak saat melempar jumrah dalam prosesi ibadah haji di Mina, Arab Saudi, Kamis, 24 September.

Sedikitnya 3 jemaah asal Indonesia dilaporkan wafat. Menurut Kementerian Agama jemaah haji asal Indonesia yang wafat karena tidak melempar jumrah sesuai jadwal yang sudah ditentukan sebelumnya.

Pemerintah Indonesia memberi instruksi kepada jemaahnya agar melontar batu sesaat setelah Subuh atau sore mendekati waktu Maghrib, mengingat akan terjadi kepadatan di pagi hari.

Ini adalah insiden terbesar setelah tragedi Mina pada 1990 yang menewaskan lebih dari 1.400 orang. 

Di bawah ini adalah kutipan tulisan Masykur A. Baddal, seorang saksi mata yang menyaksikan langsung musibah 25 tahun silam, yang pernah dimuat di Kompasiana.

Pada saat kejadian, Masykur bekerja di Kantor Muassassah Haji No. 21, sebagai tenaga pengawas dan penanggung jawab keamanan jemaah haji asal Indonesia.

Tulisan ini dikutip sudah dengan izin penulis. Baca cerita lengkapnya di sini

Setelah menunjukkan ID resmi dari Muassasah, aku pun diizinkan masuk ke dalam terowongan. Lalu aku mempercepat langkahku, khawatir jika jemaah yang hendak ditolong oleh ambulance itu adalah jemaah dari kantorku.

Setelah berjalan sekitar 10 menit menyusuri terowongan sempit yang panjangnya sekitar 1 km, kebetulan saat itu lagi ramainya dengan para jemaah, tiba-tiba aku mencium bau amis dan busuk. 

Lalu, terlihat banyangan gelap yang bergulung-gulung dari mulut terowongan  arah pelontaran. Setelah mendekat sekitar 100m dari sumber cahaya gelap yang bergulung-gulung, baru aku tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi.

Seketika bulu romaku berdiri dan badanku pun bergetar hebat, sambil berujar ‘Oh Tuhan, selamatkan aku dari bencana ini’. Ternyata cahaya hitam yang bergulung-gulung itu adalah sekelompok manusia yang jumlahnya ribuan, mereka saling dorong, saling desak dan saling injak. Seolah-olah orang-orang itu tidak sadar apa yang sedang mereka melakukan.

Ditambah lagi menipisnya ketersediaan oksigen di dalam terowongan itu, sehingga membuat semua jemaah panik, serta berlarian tidak menentu arah, saling tabrak dan dorong, akhirnya mereka juga terjatuh dan tewas terinjak-injak.

Di tengah-tengah keterpanaanku, tanpa mampu berbuat apa-apa, tiba-tiba aku mendengar dari arah belakang suara gemuruh. Ternyata rombongan jemaah haji lainnya meringsek masuk dari arah perkemahan, seketika terjadilah saling dorong, saling injak tanpa ada yang mampu melerainya, karena semua terjadi begitu cepat.

Kini posisiku berada di antara dua kelompok tersebut, sambil terus berzikir dan beristighfar, serta memohon kepadaNya untuk diselamatkan dari maut yang sangat mengerikan itu. Lalu, aku pun berpikir, jika tetap berada di tengah-tengah kelompok yang sedang beringas ini, berarti riwayatku pun akan tamat di sini. 

Tanpa kusadari, seperti ada yang menarik, tiba-tiba tubuhku sudah merapat ke dinding terowongan. Aku melihat tepat di atas kepalaku ada gantungan lampu besi, lalu kucoba untuk meraihnya dengan susah payah, tetap saja tidak berhasil.

Namun, tiba-tiba ada sekelompok jemaah Afrika yang sedang saling dorong dan injak di dekatku, entah bagaimana kok tiba-tiba bisa memantulkan tubuhku ke atas, dan alhamdulillah akhirnya aku mampu meraih besi gantungan tersebut. Dari posisi menggelantung itulah, aku merinding melihat bagaimana seorang anak manusia begitu mudah kehilangan nyawanya. 

Sambil terus berdoa kepadaNya dengan linangan air mata semoga diselamatkan dari bencana yang sangat mengerikan tersebut. Setelah menggelantung selama 30 menit, dan suasana heboh pun sudah agak mereda, lalu aku menjatuhkan tubuhku di atas timbunan mayat yang saling bertindihan.

Menurut penglihatanku ada sekitar 1 sampai dengan 1.5 meter ketebalan tindihan mayat yang begeletakan dalam terowongan tersebut. Sesampai di mulut terowongan arah perkemahan, aku menceritakan sekilas kepada pasukan pengaman di situ, ternyata mereka sudah mensterilkan wilayah tersebut beberapa saat yang lalu.

Kemudian aku pun bergegas menuju perkemahan untuk melaporkan bencana berdarah tersebut kepada pimpinan di kantor Muassasah.

—Rappler.com

BACA JUGA: 

 

 

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!