Bacalah sejarah bangsa ini dengan baik, Tere Liye

Bilven Sandalista

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bacalah sejarah bangsa ini dengan baik, Tere Liye
Enam tokoh komunis dan pemikir sosial yang berperan penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia

Suharto memang sudah lengser 18 tahun yang lalu. Begitu pun kekuasaan rezim Orde Baru selama sepertiga abad ikut tumbang bersamaan dengannya. Namun, warisan propaganda Orde Baru masih bersemayam dalam pikiran masyarakat sampai hari ini. Termasuk manipulasi sejarah.

Propaganda Orde Baru bahwa komunis itu jahat, komunis itu ateis dan anti-agama, Partai Komunis Indonesia (PKI) mau memberontak, PKI mau mengganti ideologi Pancasila, dan sebagainya, masih menjadi referensi sebagian masyarakat. Mereka seperti tidak peduli dengan banyaknya beredar buku-buku yang sudah membongkar segala manipulasi sejarah versi Orde Baru itu. 

Demikianlah dalam dua hari terakhir ini, Darwis Tere Liye di-bully akibat unggah status tentang sejarah Indonesia. Penulis yang telah menelurkan 24 novel itu mengatakan dengan sinis bahwa tak ada orang komunis dan pemikir sosialis yang pernah bertarung hidup mati melawan serdadu Belanda, Inggris, atau Jepang.

Posting-an Darwis itu pun dikecam banyak orang sambil menyebut banyak nama-nama tokoh pergerakan kemerdekaan seperti Sukarno, Hatta, Sutan Sjahrir, H.O.S. Tjokroaminoto, Tan Malaka, Alimin, Haji Misbach, dan lain-lain.

Ia kemudian menghapus posting-an aslinya dan mengunggah klarifikasinya. Darwis sendiri, yang meminta anak muda membaca sejarah bangsa ini dengan baik, barangkali belum pernah membaca sejarah berikut ini.

Pada 1914 di Hindia-Belanda, lahir organisasi Indische Social-Democratische Vereniging (ISDV). Salah satu pasal Program ISDV adalah memperjuangkan kemerdekaan. 

Enam tahun kemudian, pada 23 Mei 1920, dalam Kongres Tahunan VII, ISDV mengubah nama menjadi Perserikatan Komunis di Hindia (PKH). Pada Kongres II bulan Juni 1924, PKH mengubah nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Berarti PKI adalah partai politik pertama di Indonesia yang menggunakan kata “Indonesia” sebagai pengganti kata “Indie” atau “Hindia”. 

Selain itu, ada sekian banyak orang-orang komunis dalam perjuangan kemerdekaan namun hilang dalam catatan sejarah. Enam nama di antaranya:

Dari kiri ke kanan: Datuk Batuah, Tubagus Achmad Chatib, Musso. Foto dari Wikimedia  

Haji Datuk Batuah (1895-1949)

Ia adalah salah satu tokoh komunis terkemuka di Minangkabau, Sumatera Barat. Haji Datuk Batuah menimba ilmu agama ke Mekkah, Arab Saudi, selama 5 tahun. Kembali ke Tanah Air, ia mulai menyebarkan agama Islam melalui Sumatera Thawalib di Padangpanjang. 

Pemilik nama lengkap Ahmad Khatib Datuk Batuah mengatakan bahwa Islam dan komunis tidak bertentangan, tapi punya persamaan. Islam sebagai agama yang datang dari Allah untuk menyelamatkan manusia sejalan dengan komunis yang bertujuan menyelamatkan umat manusia dari kelaliman dan penindasan. 

Haji Datuk Batuah anti-penjajahan dan anti-kapitalisme. Komunisme menjadi sarana baginya untuk melawan penjajah, mencapai kemerdekaan yang abadi. Haji Datuk Batuah menjadikan ajaran komunis sebagai alat untuk menyelamatkan bangsa dari penjajahan, supaya manusia tidak lagi menindas manusia.

Mengenai pendapat bahwa komunisme itu ateis, Haji Datuk Batuah menanggapi dengan mengatakan, bahwa tidaklah betul orang-orang komunis itu anti-Tuhan, bahwa saudara-saudara komunisten itu masih tetap kuat Islamnya. 

Haji Datuk Batuah menekankan persamaan pandangan antara ajaran Islam dan komunis. Seperti pandangan komunis terhadap perlunya persamaan hak yang dalam ajaran Islam juga dibenarkan. Atau pandangan Islam mengenai perlunya membayar upah buruh sesuai dengan haknya sebelum keringatnya habis sama seperti bagian dari ajaran komunis. 

Aksi-aksi yang dilancarkan Haji Datuk Batuah membuat pemerintah kolonial Belanda khawatir. Pemerintah Hindia Belanda menangkap Haji Datuk Batuah lalu membuangnya ke Digul. 

Kiprah Haji Datuk Batuah berpengaruh besar dalam persiapan pemberontakan di Minangkabau pada tahun 1927. 

K.H. Tubagus Achmad Chatib (1885—1966) 

K.H. Tubagus Achmad Chatib merupakan seorang tokoh komunis di Banten, Jawa Baret. Ia adalah menantu kiai terkemuka, Haji Mohamad Asnawi dari Caringin. Banyak ulama, guru agama Islam, dan kyai, masuk menjadi anggota PKI dan ambil bagian aktif dalam pemberontakan nasional 1926 melawan pemerintah kolonial.

Ia mengatakan bahwa pemberontakan yang akan dilakukan adalah tugas suci umat Muslim dalam melawan pemerintah kafir. Achmad Chatib membawa semangat jihad dan mati syahid. 

Ia sempat menjadi Komandan Batalyon I Peta di Labuan-Banten. Pasca kemerdekaan, ia diangkat oleh Presiden Sukarno menjadi residen pertama Banten yang memerintah pada 1945—1949. 

Musso (1897—1948)

Musso pada usia 19 tahun sudah memimpin pemogokan para siswa sebagai protes terhadap penghinaan oleh guru-guru Belanda. 

Pada 1919, pemilik nama lengkap Munawar Muso ini bekerja sebagai pegawai kantor pos, sebelum dipecat karena kegiatannya di serikat buruh. Sesudah masuk menjadi anggota Sarekat Islam, Musso ditangkap dan dipenjara sehubungan dengan aksi-aksi anti-kolonial yang diorganisasi oleh sarekat tersebut. 

Musso kemudian menjadi pemimpin PKI awal pada 1920-an. Ketika pemberontakan PKI melawan kolonial meletus pada 1926, Musso berada di luar negeri.

Menghadapi berkembangnya fasisme di Eropa pada 1930-an dan bahaya agresi fasis Jepang di Asia, maka sekitar 1935, Musso kembali ke Tanah Air membangun kembali PKI dan menyampaikan garis politik anti-fasis. Musso mulai membangun kader-kader perjuangan rakyat, menjelaskan garis perjuangan anti-fasis, membangun PKI, dan memimpin perjuangan nasional dalam melawan fasisme Jepang. 

Tidak berapa lama, Musso terpaksa lari ke luar negeri untuk menghindari upaya-upaya penangkapan. Namun, ia sudah berhasil membentuk kader-kader dan organisasi-organisasi bawah tanah untuk perjuangan anti-fasis menghadapi agresi Jepang. 

Pada Agustus 1948, Musso datang kembali ketika Revolusi Agustus 1945 semakin lama semakin jauh menyimpang dengan adanya perjanjian-perjanjian dengan Belanda yang makin merugikan Republik. Musso menyampaikan Resolusi Jalan Baru untuk membentuk sebuah front nasional anti-imperialis di Indonesia. 

Musso kemudian terbunuh dalam Provokasi Madiun yang meletus pada September 1948.    

Dari kiri ke kanan: Amir Sjarifoeddin, D.N. Aidit, Wikana. Foto dari Wikimedia

Amir Sjarifoeddin (1907—1948)

Menjelang invasi Jepang ke Hindia-Belanda, Amir Sjarifoeddin menggalang berbagai pergerakan bahwa tanah dalam aliansi anti-fasis dengan mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Ia juga mendorong terbentuknya Gabungan Politik Indonesia (Gapi) dan Gerakan Rakyat Anti-Fasis (Geraf). 

Amir mempunyai pengaruh besar di kalangan massa. Sebagai orator ia sejajar dengan Sukarno.

Amir gigih menolak untuk berkolaborasi dengan Jepang, tidak seperti tokoh-tokoh lain yang berharap Jepang dapat memberikan kemerdekaan kepada Hindia-Belanda setelah Belanda dikalahkan. Amir yang aktif menggalang gerakan rahasia menentang fasis Jepang itu pun akhirnya tertangkap di tengah gelombang-gelombang penangkapan yang berpusat di Surabaya pada Januari 1943.

Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, dan Republik Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, Amir kembali ke Jakarta untuk memangku jabatan sebagai Menteri Penerangan. Ketika Sutan Sjahrir menjadi Perdana Menteri, Amir diangkat sebagai Menteri Keamanan Rakyat/Pertahanan.

Situasi internasional yang ketika itu diwarnai dengan adanya Perang Dingin antara kubu Uni Soviet dan Amerika Serikat pasca Perang Dunia II, turut memengaruhi situasi politik Indonesia. 

Partai Sosialis (PS) pimpinan Amir bersama-sama dengan organisasi kiri lainnya seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Buruh Indonesia (PBI), Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), menyatukan diri ke dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR). FDR menentang Kabinet Hatta yang menjalankan politik diplomasi dan kompromi dengan Belanda. 

Dalam Provokasi Madiun pada 1948, Amir tewas dieksekusi.     

Dipa Nusantara Aidit (1923—1965)

D.N. Aidit menggunakan Asrama Menteng 31 untuk mempropagandakan ide-ide anti-fasis. Aidit ikut aktif mengorganisasi Persatuan Buruh Kendaraan dan mendirikan Barisan Banteng, organisasi pemuda berumur 17 tahun dan mendidik mereka dengan semangat patriotisme anti-fasis.

Pada 1944, Aidit turut mendirikan satu organisasi yang lebih tegas corak anti-fasisnya yang dijiwai semangat komunis dan bertujuan untuk mencapai Indonesia merdeka, yaitu Gerakan Indonesia Merdeka (Gerindom). 

Pada September 1945, Aidit menjadi Ketua Angkatan Pemuda Indonesia (API) cabang Jakarta Raya. Ia terbunuh dalam tragedi pembunuhan massal 1965.

Wikana (1914—1966)

Pada masa Jepang, Wikana merupakan seorang kader PKI yang aktif ambil bagian dalam memimpin organisasi legal, semi-legal, dan ilegal. 

Ia aktif menghimpun massa dan menggunakan organisasi itu untuk mendidik dan melatih massa melawan fasisme Jepang. Wikana juga memimpin organisasi Gerakan Indonesia Baru.

Ia menggunakan kesempatan politik Kaigun untuk menarik pemuda-pemuda dengan mendirikan Asrama Indonesia Merdeka dengan pikiran-pikiran anti-fasis. 

Wikana adalah pemimpin pemuda yang mendesak Sukarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Agustus 1945. Wikana pula yang membawa Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok untuk mengadakan perundingan dengan tujuan agar kedua tokoh ini segera membacakan Proklamasi Kemerdekaan setelah kekalahan Jepang dari Sekutu. 

Namun kemudian ia hilang dan diduga terbunuh dalam Tragedi 1965.

Begitulah anak muda. Selain keenam nama di atas, masih banyak nama-nama lain dari golongan kiri yang berperan dalam sejarah Indonesia. Silakan cari. Tere Liye, bacalah sejarah bangsa ini dengan baik. —Rappler.com

Bilven Sandalista adalah seorang pedagang buku. Ia tinggal di Bandung.

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!