KontraS desak Polri evaluasi kinerja Densus 88

Sakinah Ummu Haniy

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

KontraS desak Polri evaluasi kinerja Densus 88
Kinerja Densus 88 dinilai berbahaya pasca meninggalnya terduga teroris saat pemeriksaan

JAKARTA, Indonesia — Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) meminta Kepolisian Republik Indonesia mengevaluasi dan memperbaiki cara kerja serta kualitas operasi detasemen khusus pemberantasan terorisme (Densus 88).

Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Divisi Advokasi Hak Sipil dan Politik KontraS, Putri Kanesia, serta Staf Divisi Advokasi Hak Sipil dan Politik KontraS, Satrio Abdillah Wirataru, dalam konferensi pers yang berlangsung di kantor KontraS, Jakarta Pusat, pada Sabtu siang, 26 Maret.

“Kami menemukan bahwa ada beberapa penangkapan yang mana di situ terlihat ada pola kesalahan-kesalahan Densus 88,” ujar Wira di hadapan awak media.

Investigasi yang dilakukan oleh KontraS menyusul adanya tindakan anggota Densus 88 yang menyebabkan hilangnya nyawa seorang terduga teroris asal Klaten, Jawa Tengah, bernama Marso Siyono pada 11 Maret lalu.

Sebelum kasus Siyono, Densus 88 juga pernah memperlihatkan perilaku serupa. Salah satunya, penangkapan dua orang berinisial AP dan NS di Solo pada 29 Desember 2015. 

“Mereka ditaruh di sel, tidak ada BAP, tidak diberikan pula surat penangkapan atau alat administrasi lain yang menunjukan bahwa operasi Densus ini resmi atau legitimate secara hukum,” kata Wira.

Menurut KontraS, dalam kasus tewasnya Siyono, Densus 88 melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang mereka buat sendiri. Tidak ada surat penangkapan maupun surat penggeledahan yang ditunjukkan saat penindakan.

Jika dilihat dari keadaan jenazah Siyono saat dibuka oleh pihak keluarga, ada indikasi penyiksaan yang terjadi.

“Hampir di seluruh tubuhnya ada memar. Ada luka memar di pipi, mata kanan lebam, patah tulang hidung, kondisi kaki dari paha hingga betis membengkak dan memar, salah satu kuku jari kaki hampir patah, dan keluar darah dari belakang kepala,” ungkap Wira.

KontraS menekankan bahwa pihaknya mendukung penuh upaya pemberantasan terorisme yang dilakukan Polri lewat Densus 88, namun harus sesuai hukum yang berlaku.

“Tapi pemberantasan terorisme tersebut tentu harus dibarengi dengan akuntabilitas Densus 88, apabila mereka melakukan pelanggaran atau kesalahan, sebaiknya ditindak,” tutur Wira.

Ada ‘Pasal Guantanamo’ di revisi UU Terorisme?

Dalam kesempatan yang sama, KontraS juga mengkritisi beberapa pasal dalam revisi Undang-Undang Terorisme yang sedang dibahas di DPR.

“Di RUU Terorisme yang baru ini, tidak ada satu pasal pun yang terkait jika Densus 88 melakukan salah tangkap atau ternyata ketika terduga itu salah, tidak ada mekanisme bagaimana kemudian ganti kerugian atas korban tersebut,” ujar Putri.

Tidak hanya itu, waktu penahanan terduga teroris juga diperpanjang.

“Ada salah satu pasal yang menyebutkan bahwa penyidik dan juga jaksa berhak melakukan penahanan maksimal 6 bulan,” ujar Putri.

“Waktu 6 bulan juga memungkinkan terjadinya penyiksaan, tidak dapat akses untuk mendapatkan bantuan hukum, tidak dapat bertemu keluarga, dan lain sebagainya.”

Menurut keterangan KontraS, hal tersebut menyalahi aturan KUHAP yang batas maksimal penahanan hanya 60 hari di penyidikan dan 50 hari oleh jaksa.

Selain itu, dalam RUU baru tersebut, orang tidak harus berstatus tersangka untuk dapat ditindak.

“Kami menyebutnya sebagai ‘Pasal Guantanamo’, orang dibawa, tidak jelas untuk apa, karena apa, lalu bisa berdampak apa juga tidak jelas,” ujar Wira. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!