Anak disleksia hanya kehilangan huruf, bukan masa depan

Eka Handriana

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Anak disleksia hanya kehilangan huruf, bukan masa depan
Disleksia, gangguan membaca spesifik, bukan halangan untuk berprestasi

Selalu ditolak saat ingin bergabung dalam pekerjaan kelompok di kelas. Hasil pekerjaan rumah dicoret guru dengan tinta merah tebal dan besar. Dijadikan ukuran anak paling bodoh oleh para orangtua murid lainnya. 

Semua itu dialami Nadia karena mengidap gangguan membaca spesifik, disleksia, yang tidak dipahami oleh orang-orang di sekelilingnya.

“Nadia nilai merahnya berapa?” pertanyaan itu selalu didapat Adria Rini dari sesama orangtua murid, pada hari penerimaan rapor. Pertanyaan yang membuat Rini lebih merasa cemas daripada minder. Rini mencemaskan masa depan putri bungsunya, Nadia, yang sulit membaca meski sudah duduk ke bangku kelas tiga Sekolah Dasar.

Semula, Rini berpikir Nadia sengaja menggodanya dengan memain-mainkan pengucapan saat membaca.

“Nadia membaca kata ‘sirip’ tapi yang saya dengar ‘sirim’. Awalnya saya tidak curiga. Tapi ternyata yang salah bukan hanya pengucapan, menulis juga salah. Huruf tertukar-tukar ‘b’ jadi ‘p’, ‘m’ jadi ‘n’. Kesalahan itu berulang dan berderet,” papar Rini.

Ia amat kaget ketika ia menyodorkan buku baru berjudul Ariel Tamasya. “Anak saya tidak bisa membaca judul buku barunya itu. Saya mulai curiga, ini tidak sewajarnya. Karena kalau saya minta membaca huruf alfabet dari A sampai Z dia bisa. Asal huruf berdiri sendiri bisa. Tapi begitu sudah dirangkai, dia bingung,” ujar Rini.

Pada saat Rini masih bergelut dengan kecemasannya dan belum melakukan apa-apa, Nadia sudah mengalami hal-hal buruk di sekolah. Kepada Rini, Nadia mengatakan, “Ibu guru jahat.” Rini mencari sebabnya dan menemukan tanda silang warna merah memenuhi salah satu halaman buku Nadia.

Rini mencoba menelusuri lebih jauh. “Ternyata memang Nadia salah mengerjakan pekerjaan rumah. Perintah guru halaman 12, tapi yang dikerjakan halaman 21. Saya tambah cemas, ada apa dengan anak saya?” ujar Rini. 

Rini mulai lebih memerhatikan saat Nadia bicara dan bercerita seadanya. Tak banyak teman sekolah yang diceritakan Nadia. Dari seluruh kawannya di kelas, hanya satu nama yang dihafal Nadia.

Puncak kecemasan Rini terjadi saat Nadia berkata, “Mama, aku ini bodoh ya, Ma? Tidak seperti teman-teman.” Saat itu, Rini menyadari bahwa Nadia telah tumbuh menjadi anak yang tidak percaya diri, tidak berani menunjukkan kemampuannya di sekolah.

Suatu siang Rini menemukan artikel di sebuah tabloid tentang ciri-ciri anak dengan gangguan disleksia. Seluruh ciri yang ia dapati pada Nadia, ada dalam artikel tersebut. Dari tempat tinggalnya di Semarang, Rini lantas membawa Nadia mengunjungi psikolog yang masih kerabatnya di Yogyakarta. 

Saat itulah Rini mendapat hasil diagnosis, Nadia mengidap disleksia. Ada gangguan fungsi kerja pada otak Nadia.

“Kadang orangtua dan lingkungan terlalu menuntut anak untuk mandiri. Padahal anak dengan disleksia butuh pendampingan khusus.”

Rini terperangah. Ia heran, bagaimana bisa? Dua kakak Nadia tumbuh normal. Merunut silsilah keluarga, Rini tak menemukan kelainan seperti yang dimiliki Nadia. Ia hanya mengingat dua peristiwa yang berhubungan dengan kepala Nadia. 

Pertama, ketika melahirkan, Rini diminta oleh tenaga medis yang menolongnya untuk menghimpitkan dua paha. “Saat itu saya bisa merasakan kepala Nadia sudah keluar. Tapi diminta menahan, katanya menunggu dokternya dulu,” ujar Rini. Kedua, Nadia pernah terpeleset dan kepalanya terbentur lantai.

Penasaran, Rini lantas mengumpulkan beberapa literatur tentang disleksia. Ia mendapati hasil penelitian mutakhir yang menunjukkan ada perbedaan anatomi antara otak anak disleksia dengan anak normal.

Berdasarkan pemeriksaan fungsional dengan Magnetic Resonance Imaging, otak bagian samping dan belakang pada individu disleksia menunjukkan aktivitas berbeda, terutama dalam hal pengolahan makna atas input informasi huruf atau kata yang dibaca.

Rini kemudian mencoba menjelaskan itu semua kepada kepala sekolah dan guru-guru di sekolah Nadia. “Saya tidak minta anak saya diistimewakan. Saya hanya minta kondisi anak saya dipahami,” ujar Rini.

Sulit dikenali

Rini (kiri) mencari cara agar anaknya, Nadia, mendapat kesempatan belajar yang layak. Foto oleh Eka Handriana/Rappler

Pekerjaan yang tidak mudah bagi Rini. Ia kerap menerima bantahan dari guru maupun sesama orangtua murid lainnya. Sebab, sekilas Nadia tak tampak beda dari anak lain. Rini dianggap mengada-ada hanya agar anaknya mendapat keistimewaan nilai akademis.

Sementara, guru menganggap Nadia tidak memiliki minat belajar, kurang konsentrasi dan malas. Label-label itu semakin memperburuk kondisi Nadia.

“Anak saya semakin minder, bertambah sering bilang dirinya bodoh. Terlihat sering cemas dan sering tidak mau berangkat sekolah. Saya sangat tertekan waktu itu,” kata Rini.

Psikolog yang mendalami disleksia, Lisa Maria MPsi, menjelaskan bahwa secara lahiriah anak dengan gangguan disleksia tidak tampak berbeda dengan anak lain. Jika dilakukan tes intelligence quotient (IQ) pun, hasilnya akan normal, bahkan superior. 

“Itulah mengapa disleksia sulit dikenali. Padahal di setiap sekolah yang saya teliti ada murid disleksia,” kata Lisa.

Penelitiannya pada 20 sekolah di Semarang, Jawa Tengah, menyebutkan, dalam setiap jenjang masing-masing sekolah terdapat sekurangnya satu anak disleksia. Persentasenya mencapai lima hingga 15 persen dari seluruh siswa sekolah.

Seorang neurolog Inggris, McDonald Critchly, dalam bukunya The Dyslexic Child yang terbit pada 1970 menyebutkan, disleksia merupakan salah satu bentuk gangguan belajar yang paling banyak ditemui. Dalam sebuah kelompok individu dengan gangguan belajar, 80 persen di antaranya mengidap disleksia. Disleksia bukanlah hal baru. Gangguan ini pertama kali dilaporkan tahun 1896.

Disleksia memiliki beberapa tingkatan gradasi, dari ringan ke berat. Pada kasus Nadia dalam tesis Lisa yang berjudul Phonological Awareness Training: Dyslexia, tingkat gangguannya tidak berat.

Nadia mengalami gangguan pada persepsi visualnya pada huruf atau kata tertentu yang menjadi seperti hilang saat dibaca. Nadia juga tidak bisa membaca kata dengan tiga suku serta lebih, serta kata dengan huruf konsonan yang berurutan.

Disleksia sendiri memiliki berbagai ciri khas. Ada pengelompokan disleksia visual, disleksia auditori, dan disleksia visual-auditori. 

Kemudian ada disleksia berdasarkan persepsi:

  • Persepsi pembalikan konsep, misalnya suatu kata dipersepsikan sebagai lawan katanya. 
  • Persepsi disorientasi vertikal atau horizontal, dimana saat membaca, huruf atau kata seperti berpindah dari depan ke belakang atau atas ke bawah. 
  • Persepsi teks terlihat terbalik seperti dalam cermin.
  • Persepsi kata dan huruf seperti hilang.

“Kasus yang sering ditemui itu kombinasi dari jenis-jenis disleksia, dengan tingkat atau kadar yang berbeda-beda,” tutur Lisa.

Dari keseluruhan itu dapat ditengarai gejala-gejala disleksia. Kesulitan membaca adalah salah satunya. Kesulitan membaca akan memengaruhi daya ingat, kecepatan memproses input, kemampuan pengaturan waktu, aspek koordinasi dan pengendalian gerak. 

“Nadia sering sekali tidak sengaja menjatuhkan sesuatu, menyenggol benda-benda yang dilewatinya,” imbuh Rini.

Gejala lain yang muncul, anak disleksia akan sulit sekali menerima instruksi yang panjang. Kesulitan mengurutkan nama hari dalam seminggu. Terbalik-balik memakai sepatu. “Angka juga sering terbalik, misalnya ‘dua belas’ menjadi ‘dua puluh’. Atau tidak bisa membedakan kata ‘paku’ dengan ‘palu’. Pada setiap anak dengan dileksia, gejala yang muncul akan berbeda-beda,” urai Lisa.

Menurut Lisa, gejala disleksia sebetulnya sudah muncul saat anak berusia empat atau lima tahun. Namun sulit sekali dikenali secara akurat. Baru ketika sudah belajar membaca atau usia sekolah dasar, gangguan disleksia akan memunculkan gejala-gejalanya.

Bukan malas dan bodoh

Selain tak sebanding dengan tingkat inteligensi, gangguan belajar tersebut juga tidak sebanding dengan motivasi anak. “Mereka biasanya justru unggul dalam motivasi untuk berkreasi,” kata Lisa.

Seperti Nadia yang memiliki koleksi lukisan hasil karyanya sendiri. Nadia juga banyak menggambar komik dan mendesain poster. Ia pun mampu menyusun ribuan puzzle dalam hitungan hari dan membuat kerajinan clay dalam ukuran kecil, namun detil. Hasil tes IQ Nadia menunjukkan hasil di atas rata-rata.

“Tapi tidak mungkin Nadia mendapat nilai bagus dengan mengikuti metode belajar mengajar yang ada di kelasnya. Untuk memahami sebuah pertanyaan yang dibacakan saat ulangan misalnya, anak saya harus berpikir keras.

“Setelah paham dan tahu jawabannya, tinggal menulis jawabannya saja juga harus berpikir sangat keras lagi agar tidak salah. Sementara guru sudah membaca soal berikutnya, anak saya masih menulis. Kehabisan waktu,” papar Rini. 

Saat itu berharap ada pendekatan cara belajar yang berbeda terhadap Nadia di kelas.

Hak anak

Nadia saat ini duduk di bangku kelas 1 Sekolah Menengah Kejuruan jurusan tata busana. Foto oleh Eka Handriana/Rappler

Kebutuhan khusus pada anak, jika sulit dikenali seperti disleksia, berpotensi melanggar hak-hak anak. Baik di rumah maupun di sekolah. Berdasarkan penelitiannya, Lisa menyimpulkan bahwa institusi pendidikan formal belum memahami kebutuhan khusus anak disleksia. 

“Perlakuan khusus kepada anak disleksia pada pendidikan formal belum ada,” kata Lisa.

Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 berikut perubahannya, Undang-Undang No. 35 tahun 2014 memuat hak-hak anak. Khusus hak dalam pendidikan dijabarkan dalam Pasal 9, di antaranya menyebutkan bahwa setiap anak berhak mendapat perlindungan dari kekerasan yang dilakukan pendidik, tenaga kependidikan sesama peserta didik, dan pihak lain. Anak dengan kebutuhan atau keunggulan khusus berhak mendapatkan pendidikan khusus.

Menurut Direktur Program Yayasan Setara Semarang, Tsaniatus Solihah, hal-hal yang menimpa Nadia saat duduk di sekolah dasar merupakan kekerasan dan pelanggaran hak anak. Yayasan Setara yang fokus pada penegakan hak-hak anak meneliti 8 sekolah dasar di Semarang.

“Di seluruh sekolah itu kami menemukan anak-anak dengan hambatan belajar dan diberi stigma bodoh. Terlepas dari anak itu disleksia tidak karena belum ada diagnosis klinis, hak anak tersebut untuk mendapat perlakukan layak tidak boleh dilanggar. Memberi stigma bodoh itu termasuk kekerasan verbal yang bisa memengaruhi psikis anak,” papar Solihah.

Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang Bunyamin mengatakan pihaknya membutuhkan rekomendasi dari psikolog untuk mendeteksi dan memberikan perlakuan khusus kepada anak berkebutuhan khusus seperti disleksia. 

“Tentunya kami tidak berani langsuh menempuh langkah-langkah tersendiri,” kata Bunyamin.

Menurut Bunyamin, orangtua dan guru harus berkomunikasi jika menemui kendala belajar pada anak. Kedua pihak harus bekerjasama. 

Senada, Solihah menekankan pada peran guru dan orang tua. “Dinas pendidikan seharusnya bisa mengoptimalkan Program Sekolah Ramah Anak dan program parenting di sekolah,” kata Solihah. 

Dua program tersebut merupakan program yang dicetuskan Kementerian Pendidikan.

Pendekatan khusus

Belum jelas apa yang menjadi penyebab disleksia. Gen diduga menjadi penyebab utama disleksia, disamping kemungkinan risiko disleksia akibat gangguan otak saat anak dikandung, dilahirkan, dan saat tumbuh kembang. 

Critchly dalam The Dyslexic Child menyebutkan riwayat keluarga dengan disleksia merupakan faktor risiko terpenting. Sebanyak 23-65 persen orangtua disleksia akan mempunyai anak disleksia.

Namun ada beberapa faktor yang memengaruhi gangguan disleksia, yakni situasi akademik, rangsangan lingkungan, dan potensi anak. Pendekatan melalui ketiga hal tersebut, menurut psikolog Lisa Maria, akan memberi wadah khusus bagi tumbuh kembang anak disleksia. 

Lisa menyebut beberapa langkah penanganan terhadap disleksia.

  1. Menciptakan lingkungan dimana anak harus merasa diterima. 
  2. Menumbuhkan rasa percaya diri. 
  3. Melakukan pendampingan secara intensif. 

“Kadang orangtua dan lingkungan terlalu menuntut anak untuk mandiri. Padahal anak dengan disleksia butuh pendampingan khusus,” kata Lisa.

Setelah satu tahun Rini memberikan pengertian soal disleksia di sekolah dan lingkungan lainnya, pendekatan cara belajar khusus akhirnya didapatkan Nadia. Di sekolah, guru memberikan toleransi waktu kepada Nadia untuk menyalin dari papan tulis, menjawab soal, dan lainnya. Tempat duduk Nadia juga dipertimpangkan posisinya.

Cara menulis Nadia menjadi perhatian tersendiri. Rini selalu mengecek ulang hasil pekerjaan Nadia dan memberikan koreksi pada bagian-bagian yang salah. Di rumah, Nadia diajarkan cara-cara memahami materi pelajaran dengan simbol-simbol dan gambar yang dipahami Nadia.

“Misalnya, belajar sejarah perdagangan di Indonesia. Gambar dulu peta Indonesia, terus gambar kapal-kapal, jalurnya lewat mana. Gambar sekenanya saja, tidak usah bagus-bagus, yang penting saya paham,” ujar Nadia yang saat ini sudah duduk di bangku kelas 1 Sekolah Menengah Kejuruan.

Ia berhasil merampungkan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertamanya dengan baik. Kini Nadia menekuni jurusan tata busana.

Sementara, cara belajar dengan gambar itu masih digunakan Nadia saat ini. “Kalau guru sedang menerangkan, atau membacakan soal dan saya ketinggalan, saya langsung kasih tanda pakai gambar. Saya selalu pakai gambar untuk menyederhanakan apa yang saya tidak paham,” kata Nadia.

Saat ini, membaca menjadi salah satu hobi Nadia. “Setiap bulan sekali harus ke toko buku,” kata Rini. 

Novel Totto Chan karya Teysuko Kuroyanagi dan komik Hai Miiko karya Ono Eriko menjadi kegemaran Nadia. “Ceritanya asik,” kata Nadia sambil mencoreti buku sketsanya. Desain logo, desain baju, dan gambar-gambar lain yang apik memenuhi buku itu.

Akhir-akhir ini, Nadia tak jarang mendapat pesanan gambar dari beberapa mahasiswa yang tinggal di sekitar rumahnya. Ia bercita-cita menjadi perancang busana.

Dengan pemahaman, pendekatan dan pemahaman yang tepat, pengidap disleksia bukan tidak mungkin bisa hidup mandiri dan meraih kesuksesan. Pemilik kerajaan bisnis Virgin Group di Inggris, Richard Branson, salah satu contohnya. Dengan disleksia, ia jutru dapat menggenggam dunia.

Seperti disebut dalam kutipan terkenalnya ini, “Being dyslexic can actually help in the outside world. I see some things clearer than other people do because I have to simplify things to help me and that has helped others.” —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!