Real Madrid vs Atletico Madrid: Balas dendam yang tak boleh gagal

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Banyak orang mendapat kesempatan kedua. Tapi tak semuanya bisa memanfaatkannya.

Pelatih Atletico Madrid Diego Simeone memberi instruksi. Foto: Peter Kneffel/EPA

JAKARTA, Indonesia – Memori final Liga Champions dua tahun lalu masih sangat jelas di benak Diego Simeone. Hampir sepanjang laga pasukannya unggul atas rival bebuyutannya, Real Madrid.

Gol Diego Godin di menit ke-36 sudah membuat Gabi dan kawan-kawan terbayang-bayang dengan Si Kuping Besar—sebutan untuk piala Liga Champions.

Namun, gol Sergio Ramos di injury time membuyarkan segalanya. Pertandingan berakhir seri 1-1. Laga dilanjutkan dengan babak tambahan.

Mental pasukan Simeone sudah drop. Fisik pemain juga sudah terkuras habis dengan gaya permainan pressing ketat yang sangat mengandalkan fisik.

Dia tak bisa lagi menyelamatkan pertandingan itu.

Gol-gol dari Gareth Bale di menit ke-110, Marcelo 118’, dan tendangan penalti Cristiano Ronaldo 120’ terjadi begitu saja dalam malam yang laknat di Estadio da Luz, Lisbon.

“Sejak hari pertama sesudah kejadian di Lisbon itu, kami berusaha membangun kembali passion, antusiasme, dan kompetensi,” kata Simeone seperti dikutip Football Espana.

Bertanding di laga puncak selalu memiliki tekanan tersendiri. Simeone sadar akan hal itu. Partai final Liga Champions—siapapun lawannya—jelas berbeda dengan laga-laga rutin di Primera Division.

Tapi, bersama El Cholo—julukan Simeone—laga final bukan sesuatu yang asing. Bersama entrenador (pelatih) asal Argentina itu, Atletico sudah tampil di tiga laga final. Mulai dari final Europa League 2012-2013, Copa del Rey 2013-2014, hingga final Liga Champions 2013-2014.

Simeone jelas jauh lebih berpengalaman menghadapi laga penuh tekanan. Begitu juga saat mereka kembali menghadapi Real Madrid dalam laga final Liga Champions pada Minggu, 29 Mei, pukul 01:45 WIB. 

Laga dua tahun lalu itu kembali terulang. Tapi para komandan di kedua pihak sudah berbeda.

Simeone masih bersama Atletico. Sedangkan Real bersama Zinedine Zidane yang sebelumnya adalah asisten Carlo Ancelotti, pelatih yang dua tahun lalu mendampingi Sergio Ramos dan kawan-kawan meraih La Decima (gelar Liga Champions ke-10 Real).

Zidane jelas bukan tandingan Simeone dalam hal pengalaman melatih. Dia baru lima bulan lalu menjadi pelatih tim utama.

Memang, di tangan legenda Perancis tersebut, Real mampu kembali mendapatkan kepercayaan dirinya. Saat menerima tongkat estafet kepelatihan dari Rafael Benitez pada Januari lalu, tidak pernah ada yang menyangka bahwa di tangan lelaki keturunan Aljazair itu Real bakal begitu dekat dengan gelar juara Primera Division.

Mereka hanya berselisih satu angka dengan jawara musim ini, Barcelona. Dan kini, mereka hanya berselisih satu laga dari gelar Liga Champions.

Pelatih Real Madrid Zinedine Zidane saat mendampingi anak asuhnya menghadapi Rayo Vallecano. Foto: Luca Piergiovanni/EPA

Salah satu faktornya tentu kharisma sang legenda. Sebagai pemain terbaik dunia tiga kali plus juara Piala Dunia, Liga Champions, dan sekian banyak gelar domestik, tidak ada satupun pemain Real yang meragukan dia.

Masalahnya, kharisma saja tidak cukup. Dan kharisma juga tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah taktikal dalam pertandingan sepanjang 90 menit.  

Apalagi, Zidane tak pernah mendampingi pasukannya dalam laga penuh tekanan seperti final.

“Bermain di final adalah sesuatu yang fantastis. Memenanginya adalah sesuatu yang besar,” katanya.

“Tapi, yang paling penting dari itu semua adalah bagaimana sebuah tim mempersiapkan diri, bangkit, dan menemukan dirinya kembali tanpa mengubah identitas dan komitmen,” katanya.

Performa Ronaldo diragukan

Dengan kondisi seperti itu, jelas Simeone jauh lebih berpengalaman dibanding Real. Apalagi, tak banyak perubahan dalam komposisi pemain sejak final 2 tahun silam.

Memang, ada 10 pemain anyar yang datang dan baru kali ini mengalami laga final Liga Champions.

Namun, para pilar Los Rojiblancos—sebutan Atletico—masih pemain yang sama seperti final 2 tahun silam. Mereka adalah para pemain dari lini belakang (Filipe Luis, Diego Godin, Luis Jimenez, dan Juanfran) dan gelandang (Gabi dan Koke).

Para pemain utama yang benar-benar baru hanya Saul Niguez, Antoine Griezmann, dan Fernando Torres. Khusus untuk nama terakhir, dia tak lagi asing dengan Liga Champions.

Ini adalah final kedua bagi Torres. Di final pertama, dia bersama Chelsea mengalahkan Bayern Muenchen dalam drama adu penalti final Liga Champions 2011-2012.

Situasi bagi Real Madrid agak sedikit sulit karena Cristiano Ronaldo kemungkinan tidak dalam kondisi bugar. Zidane memang menjamin pemain terbaik dunia tiga kali itu bisa dimainkan.

Tapi, dalam latihan bersama tim beberapa hari lalu, pemain Portugal itu harus dipapah keluar lapangan setelah bertabrakan dengan kiper Kiko Casilla.

Padahal, dia adalah mesin gol utama Real. Koleksi gol sebanyak 51 gol menunjukkan ketergantungan Los Blancos kepada mantan pemain Manchester United.

Apalagi, kekuatan utama Atletico justru di barisan pertahanan. Mereka adalah tim yang paling sulit dibobol di Primera Division, hanya kebobolan 18 gol.

Selain itu, lini tengah Atletico termasuk yang paling kuat dalam menekan lawan. Dengan Zidane hanya mengandalkan trio gelandang (Casemiro, Tonri Kroos, Luka Modric) dalam formasi 4-3-3, mereka harus siap dengan pressing fisik Atletico yang terkenal sangat keras.

Simeone menganggap laga ini tak hanya soal gelar juara. Tapi juga menjawab kritikan dari banyak pihak yang menganggap mereka tak layak meraih gelar karena tak memiliki tradisi kuat di Liga Champions.

“Itu pandangan yang sangat meremehkan. Padahal, kami selalu berusaha membangun tim jauh lebih baik dari sebelumnya. Kami selalu menatap ke depan dan mencari solusi,” katanya.—Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!