Tokoh pers Herawati Diah meninggal dunia di usia 99 tahun

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Tokoh pers Herawati Diah meninggal dunia di usia 99 tahun
Herawati Diah membantu menerbitkan koran Indonesia Merdeka dan Indonesian Observer

 

JAKARTA, Indonesia — Tokoh pers Indonesia, Siti Latifah Herawati Diah, meninggal dunia di Rumah Sakit Medistra Jakarta, pada Jumat, 30 September 2016.

Herawati lahir di Tanjung Pandan, Belitung, pada 1917. Ia berusia 99 tahun. 

Ia sempat mengenyam pendidikan di Jepang sebelum berlanjut ke Amerika Serikat, di mana pada 1941 ia menjadi wanita pertama Indonesia yang berhasil meraih gelar sarjana dari luar negeri. 

Ia menjalani studi di Barnard College, Universitas Columbia, New York, AS. Pada musim panas ia belajar jurnalistik di Universitas Berkeley, California.

Latar pendidikan Amerika yang dimilikinya diperlukan ketika ia kembali ke Indonesia guna menghadapi berbagai peristiwa genting di Tanah Air. Herawati pun tergiring untuk menjalankan tugas-tugas jurnalisme. 

Ia pernah setengah dipaksa bekerja di stasiun radio penguasa militer Jepang yang membutuhkan penyiar berbahasa Inggris untuk keperluan propagandanya. Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu dan Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, ia sempat menjadi sekretaris pribadi Menteri Luar Negeri pertama republik, Achmad Soebardjo, yang kebetulan pamannya.

Herawati juga ikut membantu suaminya, B.M. Diah, menerbitkan koran pro Indonesia Merdeka untuk melawan Belanda dan Sekutu yang mengotot ingin memulihkan rezim Hindia Belanda. 

Sejak Oktober 1954, ia memimpin harian baru berbahasa Inggris, Indonesian Observer, untuk mengampanyekan aspirasi kemerdekaan RI dan negara-negara masih terjajah.

Menurut Herawati, jurnalisme paling tidak menuntut kecintaan pada pekerjaan dan membutuhkan pengindahan terhadap hati nurani.

“Hati nurani adalah penyuluh dari pekerjaan dan sukses wartawan, justru karena inti dari profesi ini adalah pengabdian kepada kepentingan umum. Inilah yang berulangkali saya sadari ketika melakukan lawatan keliling nusantara dalam rombongan bersama Presiden Sukarno,” kata Herawati. 

“Keterbelakangan sekian daerah di Indonesia mengharuskan kita membuat reportase menggunakan hati nurani. Dengan kegemaran merekam setiap kali terlihat satu contoh sikap [tidak] adil di dalam masyarakat, dan memegang teguh prinsip-prinsip moral dan etik, wartawan akan merebut kepercayaan pembacanya, membesarkan tempatnya bekerja, dan malah mencetak nama bagi dirinya sendiri.” —Antara/Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!