Merry Kolimon, sang pendeta feminis dari Timor

Sakinah Ummu Haniy

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Merry Kolimon, sang pendeta feminis dari Timor
“Kepemimpinan itu haruslah sebuah kepemimpinan yang feminis. Kepemimpinan feminis artinya dia tidak mengulangi lagi nilai-nilai patriarki”

JAKARTA, Indonesia — Siang itu, Pendeta Merry Kolimon sedang rehat dalam sidang sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) di kantornya di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia bersedia bertemu dengan rombongan media dari Jakarta yang datang bersama Oxfam untuk berbincang tentang isu kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di provinsi tersebut.

Merry mengenakan kemeja putih yang dipadankan dengan rok batik bernuansa oranye, sambil memulai perbincangan.

“Terima kasih. Kami sangat terhormat dikunjungi Oxfam dan para wartawan dari Jakarta,” ujar Merry membuka diskusi.

Merry merupakan pendeta perempuan pertama yang menjadi Ketua Sinode GMIT sejak perkumpulan ini terbentuk pada 1947. Dengan keterpilihannya, anak sulung dari 7 bersaudara ini memiliki visi untuk membangun kepemimpinan gereja yang sensitif gender di GMIT.

“Kepemimpinan itu haruslah sebuah kepemimpinan yang feminis. Kepemimpinan feminis artinya dia tidak mengulangi lagi nilai-nilai patriarki: ‘Asal bapak senang’, ‘Saya memegang seluruh kuasa’,” ujarnya.

Ia menuturkan, selama ini jemaat di NTT dikenal sebagai masyarakat yang kental dengan budaya patriarki.

“Kalau dalam memutuskan masalah-masalah dalam keluarga, itu perempuan tugasnya di dapur, ngurusin teh, makanan, yang duduk rapat bapak-bapak. Tapi kemudian keputusan yang dibuat oleh bapak-bapak itu dijalankan oleh ibu-ibu,” katanya.

Budaya patriarki juga terjadi di lingkungan gereja. Saat Merry pertama kali datang sebagai pendeta perempuan di sebuah daerah terpencil di Molo Timur, NTT, seluruh pendeta perempuan bertugas sebagai diaken, sementara yang bertugas sebagai penatua semuanya adalah laki-laki.

Penatua adalah bagian dari gereja yang bertugas sebagai pengkhotbah di mimbar, sementara diaken lebih fokus pada pelayanan umat seperti membantu orang sakit dan orang miskin.

Merry memaparkan, terjadi konstruksi gender yang sangat kuat dalam gereja pada saat itu karena perempuan tidak diizinkan untuk menjadi penatua karena diaken dianggap sebagai pembantu penatua.

Namun setelah Merry selama hampir 3 tahun melayani di tempat tersebut, akhirnya hampir 50% perempuan mendapatkan kesempatan untuk menjadi penatua.

“Mereka percaya diri untuk hari Minggu berdiri di mimbar dan berkhotbah,” ungkapnya.

Terinspirasi sang ibunda

PEREMPUAN PERTAMA. Sejak 1947, GMIT belum pernah memiliki Ketua Sinode perempuan hingga akhirnya Merry Kolimon terpilih pada Oktober 2015. Foto oleh Sakinah Ummu Haniy/Rappler.com

Sejak belia, Merry telah familiar dengan konsep gender dan feminisme. Hal tersebut diperkenalkan oleh sang ibunda, Sarrin, yang merupakan lulusan dari yayasan Alpha-Omega—sebuah yayasan di bawah GMIT yang bergerak dalam isu pemberdayaan masyarakat.

Sarrin terlahir dalam kondisi ekonomi yang kurang mencukupi. Sejak ayahnya meninggal, Sarrin yang merupakan anak bungsu dari 4 bersaudara hanya bersekolah hingga tingkat SD karena ia dan satu orang saudara perempuannya harus bekerja membantu sang ibu untuk membiayai dua orang saudara laki-lakinya bersekolah. Kondisi tersebut yang membuat Sarrin bertekad agar seluruh anaknya, baik laki-laki maupun perempuan, bisa menempuh pendidikan yang layak.

“Ibu saya berkomitmen bahwa, ‘Kalau saya nanti menikah dan dikaruniai anak, saya akan kerja banting tulang supaya perempuan dan laki-laki dapat kesempatan yang sama’. Dan saya perempuan yang beruntung karena ibu saya seperti itu,” kata Merry.

Sang ibunda mengumpulkan uang dengan cara menjual baju tekstil yang dibelinya dari Pulau Jawa untuk di jual pada para tetangga. Merry pun berkaca-kaca saat bercerita tentang ibunya yang meninggal dunia beberapa saat sebelum ia mendapatkan promosi untuk mengejar gelar doktor di Belanda.

“Dia berharap bisa ikut promosi saya. Dia bilang, ‘Kamu tidak usah pusing dengan biaya, saya jual madu supaya saya bisa dampingi kamu’. Dia perempuan yang luar biasa,” kata Merry mengenang sang ibunda.

Ia pun menuturkan bahwa para perempuan NTT saat ini bisa mulai menjadi pemimpin adalah berkat para ibu yang bekerja keras dan berkomitmen agar para anak perempuan bisa sekolah. Oleh karena itu, Merry ingin mendedikasikan dirinya demi para perempuan di NTT.

“Kami tidak boleh hidup untuk diri kami sendiri, kami mesti menjadi berkat juga untuk anak-anak perempuan,” katanya. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!