Hari Lupus Sedunia: Kesempatan hidup kedua bagi Dian Syarief Pratomo

Yuli Saputra

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Hari Lupus Sedunia: Kesempatan hidup kedua bagi Dian Syarief Pratomo
Perempuan ini memotivasi pada odapus bahwa hidup adalah karunia Sang Pencipta dan harus diisi dengan hal yang bermakna. Penyakit adalah cara ungkapan kasih sayang dari Sang Maha Penyayang dalam bentuk lain

BANDUNG, Indonesia — Tiga dari lima inderanya tak berfungsi normal akibat penyakit lupus. Namun, kondisi tersebut tak membuat Dian Syarief Pratomo takluk terhadap penyakit yang hingga kini sulit disembuhkan itu.  

Perempuan 51 tahun itu bahkan mendapat sejumlah penghargaan atas kiprahnya membantu orang-orang yang bernasib sama dengan dirinya.

Pada 1999, Dian didiagnosa mengidap penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Lupus adalah penyakit autoimun di mana sistem kekebalan tubuh bukan melindungi tapi justru menyerang sel-sel, jaringan, dan organ tubuh yang sehat, sehingga menimbulkan peradangan kronis.  

Penyakit itu mulai diidap Dian saat ia berumur 33 tahun dan tengah menjalani kehidupan yang nyaman dan produktif. 

Lima tahun pertama setelah didiagnosa Lupus merupakan tahun-tahun perjuangan antara hidup dan mati bagi alumnus Farmasi Institut Teknologi Bandung (ITB) itu. Terapi obat lupus berdosis tinggi yang dikonsumsinya ternyata berdampak fatal bagi kesehatan Dian.  

Keselamatan jiwanya terancam karena abses otak yang merupakan efek samping dari obat-obatan yang diminumnya. Abses otak juga mengakibatkan matanya mengalami kebutaan.  

Dian pun harus dilarikan ke rumah sakit di Singapura untuk menjalani bedah otak. Tapi operasi besar yang dijalani Dian bukan tanpa risiko. Ia terancam kehilangan ingatan atau lumpuh pasca menjalani bedah otak. 

“Jadi saya ini half-blind, half-deaf, dan anosmia [tidak bisa mendeteksi bau]. Lima dari tiga panca indera sudah hilang.”

Namun keajaiban datang. Setelah kurang lebih satu bulan tidak sadar pasca operasi, Dian siuman tanpa mengalami risiko yang ditakutkan tersebut. Ia bangun dengan kesadaran penuh dan anggota tubuh yang masih berfungsi. Indera penglihatannya yang sebelumnya gelap gulita, mulai bisa melihat cahaya. 

Saat siuman, Dian merasa mendapat kesempatan hidup kedua. Apalagi, pasien lain yang menjalani operasi yang sama dengan dirinya, dikabarkan tidak selamat. Dian merasa mendapat sebuah “pesan” dari Sang Pencipta.

“Di situ pembelajaran pertama. Kenapa ya ini, tindakannya sama, penyakitnya sama, yang satu hidup lagi, yang satu selesai, tutup buku,” kata Dian kepada Rappler saat ditemui di kantornya beberapa waktu lalu.

“Berarti Allah ke saya ngasih kesempatan hidup yang kedua. Nah, di situ enlightment pertama, dapat bonus hidup, enggak boleh disia-siakan.”

Hal itulah yang akhirnya membuat Dian bertekad melakukan sesuatu bagi orang-orang yang senasib dengan dirinya, yakni para Odapus (Orang dengan Lupus) dan penyandang Low Vision atau yang disebut Sahabat LoVi.  Tekad itu diutarakannya kepada suami yang tak henti mendukungnya. 

Namun rencana tersebut baru terwujud lima tahun kemudian. Selama lima tahun itu, Dian masih berjuang mempertahankan hidupnya.  

Setelah bedah otak, Dian harus menjalani beberapa kali operasi yang menguras kondisi fisiknya. Ia harus menjalani operasi pengangkatan empedu.    

Selain itu, Dian juga harus menjalani operasi pemotongan tulang hidung akibat radang yang membuatnya tidak bisa bernafas. Tindakan medis itu membuatnya kehilangan daya penciuman. Ujian berikutnya adalah radang di telinga kiri yang membuatnya kehilangan fungsi pendengaran.

“Jadi saya ini half-blind, half-deaf, dan anosmia [tidak bisa mendeteksi bau]. Lima dari tiga panca indera sudah hilang,” akunya.

Pada 2007, Dian terpaksa merelakan rahimnya untuk diangkat akibat akibat pendarahan yang terus menerus. Namun semua itu tidak membuat tekadnya surut untuk membantu sesama, termasuk untuk membuat dirinya kembali beraktivitas.  

Kehilangan daya penglihatan membuat Dian mengikuti sejumlah pelatihan untuk mengasah kepekaan inderanya yang lain. Selama tujuh tahun, Dian mengikuti pelatihan menggunakan tongkat, Braille, dan pelatihan yang bisa membantu keterbatasan penglihatannya.

Semua latihan itu dilakukan dengan tetap menganggap dirinya bisa melihat. Padahal dokter telah memvonis penglihatannya hanya berfungsi 5 persen dan tidak bisa dipulihkan kembali. Menurut dokter, syaraf penglihatannya sudah rusak akibat abses otak.

Tapi keajaiban kembali datang. Karena ketekunannya berlatih, Dian bisa meningkatkan fungsi penglihatannya hingga mencapai 15 persen. 

“Mungkin buat orang biasa, enggak ada artinya dari 5 ke 15 persen. Tapi kalau buat saya yang tadinya udah nol, dapat 5 persen sudah miracle karena sudah ada cahaya lagi,” ucapnya bersyukur. “Dari 5 ke 15 persen, saya bisa lihat siluet, sudah cukup.”

Sampai sekarang peningkatan daya penglihatan Dian masih belum bisa dijelaskan secara medis.  Tapi karenanya, Dian bisa kembali beraktivitas tanpa menggunakan tongkat ataupun tergantung orang lain. Kondisi itu membuatnya bisa mewujudkan keinginan membuat organisasi sosial yang akan dijadikan kendaraan untuk menjadikan hidupnya lebih bermakna.

Pada 2003, Dian dan suami mendirikan organisasi nirlaba yang diberi nama Syamsi Dhuha Foundation (SDF). Setahun kemudian, yayasan ini mulai bergerak melakukan edukasi, sosialisasi, pendampingan, dan penelitian melalui divisi Care for Lupus & Care for Sahabat LoVi.   

Tiga divisi lainnya menyasar bidang kegiatan yang berbeda, yakni Mirsa untuk kegiatan motivasi dan spiritual; Medisa untuk memenuhi kebutuhan medis Odapus dan Sahabat LoVi; dan Finsa bergerak di bidang financial dan bisnis.

Sasaran kegiatan SDF bukan hanya para penyandang Lupus dan Sahabat LoVi, tapi juga keluarga dan kerabat, serta masyarakat umum. Sejauh ini, SDF telah mendampingi sekitar 700 Odapus dan 100 orang Sahabat LoVi yang datang dari berbagai daerah di Indonesia. 

Pada sepuluh tahun pertama, SDF mulai berkiprah di tingkat internasional. Pada 2007, SDF berkiprah di Internasional Lupus Congress, Shanghai, Tiongkok. Pada 2012, SDF yang mewakili Indonesia terpilih untuk menerima Sasakawa Health Prize dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) atas segala kreativitas dan inovasi yang dilakukan di bidang kesehatan di kategori Non-Government Organization.

Sebagai inisiator dan relawan SDF, Dian juga turut mendapat penghargaan  dari berbagai organisasi dan lembaga, baik nasional maupun internasional. 

Saat ini, SDF sedang bertransformasi menjadi lembaga wirausaha sosial. Tujuannya, agar pendampingan terhadap para Odapus dan Sahabat LoVi terus berkesinambungan. Salah satunya dengan memproduksi buku, CD, dan DVD yang bertemakan Lupus dan Low Vision.  

Buku karya SDF berjudul Luppy Sahabatku Yang Nakal telah diterjemahkan ke bahasa Inggris, Perancis, dan Belanda serta diedarkan ke seluruh Eropa bekerja sama dengan Lupus Europe.  Selain itu, diterbitkan pula buku-buku yang menginspirasi, seperti Miracle of Love yang menceritakan perjuangan Dian dalam mengatasi sakitnya.

Di bidang penelitian, SDF memberikan beasiswa kepada para peneliti yang memfokuskan penelitian pada bahan alami Indonesia yang berpotensi sebagai suplemen terapi Lupus. Penelitian juga dilakukan untuk pengembangan alat bantu Low Vision.

“Ada ketidakrelaan mendatangkan barang [alat bantu Low Vision] dari luar negeri, kenapa kita enggak bikin sendiri,” ujar Dian yang sempat bekerja sebagai pegawai sebuah bank nasional itu.

“Makanya, kemarin kita start penelitian. Belum sepenuhnya berhasil, masih gagal. Tapi at least kita mulai, supaya one day, kita bikin alat sendiri.” 

Sejumlah pencapaian telah berhasil diraih SDF. Namun masih banyak harapan yang ingin dicapai.  Dian berharap penelitian yang dilakukan SDF dapat menemukan bahan alam sebagai terapi lupus yang aman dan efektif dengan harga terjangkau. Ia juga berharap, bisa memproduksi sendiri alat bantu penglihatan bagi Sahabat LoVi.

Di atas semua itu, Dian berharap kiprahnya di SDF bisa memotivasi dan memberikan inspirasi kepada para Odapus dan Sahabat LoVi, bahwa hidup adalah karunia Sang Pencipta yang harus diisi dengan hal yang bermakna dan sakit adalah cara ungkapan kasih sayang dari Sang Maha Penyayang dalam bentuk lain.

“Sakit itu tidak harus menderita karena yang sakit itu fisiknya, sedangkan jiwa tidak perlu ikut sakit. Nanti jiwa yang kita upayakan tetap sehat ini, akan membawa fisik yang sakit untuk bisa tetap survive, untuk bisa menjalani hidup,” kata Dian. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!