Akhirnya, Mbah Fanani kembali bertapa di Gunung Dieng

Irma Mufilikhah

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Akhirnya, Mbah Fanani kembali bertapa di Gunung Dieng
Mbah Fanani telah berusia 109 tahun

BANJARNEGARA, Indonesia — Setelah dikejutkan dengan hilangnya Mbah Fanani, seorang petapa yang selama 20 tahun bersemadi di Gunung Dieng, kini warga desa Dieng Kulon dikejutkan dengan kemunculan Mbah Fanani.

Mbah Fanani kembali ke tempat semadi dengan diantar oleh keluarganya dari Cirebon menggunakan sembilan mobil. Pria yang diperkirakan berusia 109 tahun itu dikembalikan ke tempat semadinya semula.  

Tempat semadi Mbah Fanani tersebut hanya berupa tenda biru berukuran sekitar 2 x 1,5 meter. Tenda tersebut berdiri di depan kediaman Sugiyono, di Jalan Raya Dieng Kulon, Batur Banjarnegara. 

“Warga Dieng menyambut gembira kedatangan kembali Mbah Fanani. Kami sangat terbuka,” kata Kepala Desa  Slamet Budiono, Selasa 23 Mei 2017. Slamet mengatakan, sejak Mbah Fanani dijemput sekelompok orang tak dikenal sebulan lalu, banyak warga merasa kehilangan.

Seperti diberitakan selumnya, sekelompok orang tak dikenal menjemput Mbah Fanani pada medio April lalu. Penjemputan ini sempat menuai kontroversi karena dilakukan malam hari, ketika banyak warga desa telah terlelap.

Penjemputan juga tak disertai dengan pemberitahuan kepada pemerintah setempat atau warga yang selama ini merawat Mbah Fanani. Apalagi, keluarga asli Mbah Fanani yang tinggal di Jatisari, Weru, Cirebon juga mengatakan mereka tidak mengirimkan orang untuk menjemput Mbah Fanani. 

Klarifikasi dari keluarga ini disampaikan melalui sepucuk surat yang ditulis oleh putri tunggal Mbah Fanani, Nyai Maryam (71), yang menegaskan dia adalah satu-satunya anak dari pasangan Mbah Fanani atau Kyai Ahmad Fanani dengan Nyai Zaenah yang tinggal di Pondok Pesantren Jatisari, Weru, Cirebon. 

Penjemputan Mbah Fanani dari tempat bertapanya di Dieng di luar pengetahuan dan tanggung jawab dia sebagai putri tunggal serta keluarga besar pesantren. Ia juga tidak pernah memberikan restu atau menyuruh orang untuk melakukan upaya penjemputan tersebut. 

Dalam surat pernyataan itu, Maryam membenarkan, ayahnya  sejak lama  meninggalkan tempat tinggalnya di Jatisari, Cirebon. Keluarga meyakini, kepergian Mbah Fanani untuk melaksanakan tugas mulia dari Allah melalui bertapa (uzlah). Karena keyakinan itu, keluarga ikhlas dan rido melepas Mbah Fanani.

Sayangnya, keluarga tidak dapat segera menjemput Mbah Fanani yang kemudian diketahui dibawa ke Petilasan Dampu Awang Indramayu, Jawa Barat. Saat penjemputan terjadi, Nyai Maryam sedang melaksanakan umroh sehingga ia tidak langsung mendapatkan kabar tersebut.

Mbah Fanani sempat sebulan berada di Petilasan Dampu Awang. Padepokan itu mendadak ramai dikunjungi para peziarah yang berharap berkah melalui perantara Mbah Fanani. 

Kepala Desa Dieng Kulon Slamet Budiono bersama puluhan warga Dieng kemudian mendatangi kediaman Nyai Maryam di Cirebon yang baru pulang dair Umroh pada Jumat 19 Mei 2017. Mereka hendak meminta maaf atas penjemputan Mbah Fanani oleh orang tak dikenal di wilayah mereka. 

Keluarga kemudian bermusyawarah dan merencanakan penjemputan Kyai Fanani dari Padepokan Dampu Awang Indramayu. Kendati demikian, keluarga tidak ingin penjemputan itu terkesan sembarangan. Pihak keluarga menjemput dengan terlebih dahulu memberitahu pihak Kepolisian dan pemerintah setempat. 

Keluarga juga membuat surat pernyataan bermaterai atas nama Nyai Maryam binti Kyai Akhmad Fanani Binti Kyai Banyamin untuk mengukuhkan status hubungan darah mereka dengan Mbah Fanani. 

Akhirnya, keluarga berhasil menjemput Mbah Fanani dari petilasan Ki Dampu Awang Indramayu. Tidak ada gejolak saat proses penjemputan oleh pihak keluarga. “Tuan rumah tidak bisa menahan, hanya diam saja melihat Mbah Fanani diambil keluarganya,” katanya.

Mbah Fanani kemudian dibawa ke kediaman asalnya di rumah putrinya, Nyai Maryam, desa Jatisari, Cirebon. Ia sempat beberapa hari tinggal bersama anak cucunya sebelum akhirnya diantar kembali ke tempat semadinya di Dieng, Senin malam 22 Mei 2017. 

Veti, perempuan yang turut mendampingi Mbah Fanani mengatakan, tidak ada yang tahu hingga kapan Mbah Fanani berada di Dieng. Bahkan, Mbah Fanani yang sempat berkomunikasi dengan Veti, mengaku tidak tahu kapan semedinya berakhir. “Mbah Fanani sendiri tidak tahu sampai kapan, dia menunggu perintah untuk menyelesaikan tapanya,” katanya.

Sebelum bertapa, Mbah Fanani adalah pengasuh pondok pesantren di Jatisari, Cirebon. Ia memutuskan pergi bertapa setelah mendapatkan petunjuk atau ilham. Kala itu, putri tunggal Kyai Fanani, Nyai Maryam tahun masih berada dalam kandungan ibunya. 

Sejak saat itu, Kyai Fanani bertapa berpuluh-puluh tahun dengan cara berpindah-pindah. Sekitar 20 tahun terakhir ini, ia memilih meditasi di tengah keramaian, pinggir Jalan Raya Dieng Kulon, depan rumah warga, Sugiyono. 

Salah satu keanehan pada diri Mbah Fanani adalah daya tahan tubuhnya yang kebal terhadap suhu ekstrem Dieng.  Padahal, pada musim tertentu, suhu udara Dieng berada di bawah 0 derajat celcius. Namun, Mbah Fanani tak kegigilan. Ia tetap bertelanjang dada dan hanya berbalut sarung. 

“Orang asli Dieng sendiri kedinginan dan tidak lepas jaket tebal. Kalau orang biasa mungkin tidak kuat,” katanya. 

—Rappler.com

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!