Mengenakan mukena saat salat? Sebuah dilema spiritual waria

Yuli Saputra

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengenakan mukena saat salat? Sebuah dilema spiritual waria

ANTARA FOTO

Bagaimana Islam memandang persoalan ini?

BANDUNG, Indonesia — Deretan mukena yang dipajang di etalase kios sebuah pasar di Kota Bandung menarik perhatian Monik. Motif dan modelnya yang beraneka ragam seakan menggoda Monik untuk memilikinya.  

Namun keinginan itu segera ditekannya. Bagi Monik, memiliki dan mengenakan mukena adalah sebuah khayalan yang entah kapan akan terwujud.

Monik terlahir sebagai seorang laki-laki di sebuah keluarga Muslim yang taat beragama. Sejak kecil, ia dibiasakan mengaji dengan memakai baju koko dan peci seperti anak laki-laki lainnya. 

Namun Monik tahu ada yang berbeda dalam dirinya. Daripada mengenakan baju koko dan peci, ia lebih menyukai gamis dan kerudung. Ketika itulah Monik menyadari, dalam tubuhnya, ia adalah seorang perempuan. 

“Di situlah aku merasa bahagia. Ketemu teman sesama waria, pakai wig, pakai beha, aku merasa merdeka. Seperti hidup dalam penjara, terus bebas.”

Monik menjalani masa remaja dengan penuh tekanan. Ia dipaksa menjalani hidup sebagai seorang laki-laki; disuruh bertani dan mencari kayu bakar di hutan. Monik pun sempat dimasukkan ke sebuah pesantren khusus laki-laki di kampungnya, Tasikmalaya, Jawa Barat.

“Orangtua pengen aku jadi laki-laki,” ungkapnya.

Tahun 2000, Monik memutuskan kabur ke Bandung. Di kota berjuluk Parijs van Java ini, Monik menemukan kebebasan yang dicarinya.

“Di situlah aku merasa bahagia. Ketemu teman [sesama waria], pakai wig, pakai beha, aku merasa merdeka. Seperti hidup dalam penjara, terus bebas,” ujar Monik. 

Di Bandung, Monik bisa bebas mengekspresikan dirinya sebagai seorang wanita pria (waria). Ia bisa berdandan, memakai rok, daster, bahkan sesekali berhijab. Namun ada satu hal yang tidak bisa ia lakukan untuk menyerupai perempuan: memakai mukena.

“Aku tuh pengen salat itu pakai mukena, tapi kan balik lagi, dalam ajaran kerohanian mah walaupun waria, tapi kalau masih ada kelamin laki-laki, tetap pakai sarung aja, pakai ala-ala cowok. Cuma aku kepalanya ditutup pashmina, bukan peci,” ujar waria yang aktif sebagai pendamping sebaya bagi ODHA (orang dengan HIV dan AIDS) ini.

Sejujurnya, Monik mengaku kurang nyaman melakukan salat hanya mengenakan sarung. Tapi ia tidak mau memaksakan diri mengenakan mukena. Waria 34 tahun ini takut dianggap mempermainkan aturan agama. Apalagi saat salat, dirinya berhadapan langsung dengan Sang Pencipta.

“Aku waria, senyaman mungkin aku menghadap Tuhan. Karena aku masih belum operasi, masih ada kelamin laki-lakinya, jadi aku sebisa mungkin menghadap Tuhan secara live harus sesuai jenis kelaminnya, meskipun ada pashmina-pashmina manja,” ujar anggota komunitas waria Srikandi Priangan ini sembari menyimpulkan senyum. 

Tidak hanya mukena, memakai hijab juga menjadi keinginan terpendam Monik. Sesekali, ia menutup rambut pendeknya dengan kerudung di momen-momen tertentu atau ketika membaca Al-Qur’an.

Sebagai seorang pemeluk agama Islam, Monik ingin mengikuti apa yang menjadi aturan agamanya. Didikan keluarga dan guru-gurunya di pesantren mengajarkan hal itu. Mengenakan mukena dan berhijab akan dilakukannya kelak, jika ia telah operasi kelamin.

Mukena dan hijab mungkin hanya selembar kain, tapi bagi Monik, itu adalah sebuah pembuktian bahwa ia telah menjadi seorang perempuan seutuhnya.

Merasa lebih nyaman

NGABUBURIT. Seorang santri Pesantren Al-Fatah, Shinta Ratri, membaca Al-Qur'an saat ngabuburit pada 11 Juni 2017. Foto oleh Dyah Ayu Pitaloka/Rappler

Lain halnya dengan Shinta Ratri. Baginya, mengenakan mukena dan hijab bukan lagi khayalan. Waria berusia 55 tahun telah mengenakannya sejak 1997 silam. 

Ketua Pondok Pesantren khusus waria Al-Fatah di Yogyakarta itu mengenakan mukena dan juga hijab karena  menurutnya dirinya adalah perempuan yang terperangkap dalam tubuh laki-laki. Sebagai perempuan Muslim, Shinta pun berusaha mengenakan busana sesuai aturan berpakaian bagi Muslimah, yakni mengenakan mukena saat salat dan berhijab.   

Secara fisik, Shinta memang masih berjenis kelamin laki-laki. Status di kartu identitasnya pun menyatakan hal serupa. Namun kondisi itu tidak menghalangi dirinya untuk mengenakan mukena.

Dirinya merasa lebih nyaman melaksanakan ibadah salat dengan mengenakan mukena. Beberapa temannya di pesantren juga melakukan hal serupa. Tapi ada pula yang tetap memakai sarung dan peci, tergantung kenyamanannya masing-masing.

“Karena kenyamanan itu kan berhubungan langsung dengan kekhusyuan beribadah,” kata Shinta.

Keputusannya mengenakan mukena, meski masih berkelamin lelaki sempat menimbulkan keraguan, apakah salatnya sah atau tidak, diterima atau tidak. Shinta mengaku berkonsultasi dengan ulama dan akademisi mengenai persoalan tersebut.   

Ia mendapat penjelasan bahwa diterima atau tidaknya salat seseorang adalah hak prerogratif Tuhan, bukan urusan manusia. Sebagai manusia, Shinta hanya berusaha melakukan apa yang menurutnya baik.

“Di dalam agama Islam tidak ada fiqh-nya buat waria, bagaimana atau apa. Jadi kemudian, kita menjalani hal-hal yang kita anggap sesuatu yang baik dan kita memasrahkan hasilnya kepada Allah. Bagaimanapun yang punya hak menerima atau tidak kan Allah,” tuturnya.

Anggur Sanjaya mempunyai pandangan yang bertolak belakang. Meski dirinya secara terbuka telah menyatakan sebagai perempuan, tapi untuk urusan salat, Anggur memutuskan menempati posisi sebagai laki-laki.

“Organ fisik secara kelamin laki-laki, cuma secara gender saya perempuan. Jadi menurut aturan agama saja, kalau aurat laki-laki itu dari mana sampai ke mana. Enggak usah ribet-ribet pakai mukena lah, cukup pakai kaos dan celana panjang, jadi kok salat,” kata Ketua Srikandi Panjalu, komunitas waria di Ciamis, ini.

Anggur mengaku mendapat wejangan dari penasehat spiritualnya yang mengingatkan dirinya untuk sadar akan kodratnya sebagai laki-laki. Apalagi untuk urusan yang terkait hubungan antara dirinya dengan Sang Maha Kuasa.

“Walaupun menjalankan hidup sebagai waria, yang penting kita sadar, kita tetap laki-laki,” kata Anggur.

Mukena bagi waria menurut Islam

Monik, Shinta, dan Anggur memiliki pendapatnya sendiri mengenai mukena bagi kaumnya. Apa yang menjadi pendapat mereka bisa jadi mewakili pemikiran waria lainnya. Tapi bagaimana Islam memandang persoalan tersebut?

Sebelum menyatakan sah atau tidaknya pemakaian mukena saat salat bagi waria, Dosen Pascasarjana Institut Pendidikan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta, Nur Rofiah, mengajak untuk menyamakan persepsi mengenai waria atau transgender.

Diterima atau tidaknya salat seseorang adalah hak prerogratif Tuhan, bukan urusan manusia. Sebagai manusia, Shinta hanya berusaha melakukan apa yang menurutnya baik.

Rofiah menjelaskan, ada dua istilah untuk menyebut seseorang yang berlawanan antara identitas gender dengan jenis kelaminnya, yakni transgender atau waria dan transeksual.

Transgender adalah seseorang yang perilakunya perempuan tapi jenis kelaminnya laki-laki. Sedangkan transeksual adalah seseorang yang terlahir secara fisik laki-laki atau berkelamin ganda tetapi orientasi seksual dan perilakunya perempuan,  atau bisa juga sebaliknya, lahir secara fisik perempuan namun orientasi seksual dan perilakunya laki-laki, lalu melakukan operasi kelamin untuk menetapkan identitasnya.  

Transgender yang melakukan operasi kelamin juga disebut transeksual.

Di dalam Islam sendiri, kata Rofiah, ada istilah khunsa, sebutan untuk mereka yang punya alat kelamin ganda dan khunsa musykil, bagi mereka yang sulit  ditetapkan identitas gendernya, laki-laki atau perempuan. 

Akan tetapi, lanjut Rofiah, apapun kondisinya, jika sudah ditetapkan jenis kelaminnya, misalnya melalui operasi, maka identitas seseorang akan sesuai dengan keputusan akhir tersebut, meskipun sebelumnya dibesarkan dengan gender sebaliknya. 

“Artinya jika seorang khunsa dibesarkan sebagai laki-laki, kemudian setelah dewasa dia lebih yakin sebagai perempuan, lalu operasi, maka secara hukum dia perempuan sehingga tentu saja tidak hanya boleh tapi harus pakai pakaian dan alat ibadah perempuan,” kata anggota dewan Rahima, Pusat Pendidikan dan Informasi tentang Islam dan Isu-isu Hak Perempuan, ini.

Persoalannya, imbuh Rofiah, banyak waria atau yang berkelamin ganda tidak memiliki kemampuan untuk operasi.

“Jadi, seseorang terlihat sebagai waria sebetulnya bisa jadi adalah transeksual atau berkelamin ganda,” ujar Rofiah.

Berdasarkan Fiqh Islam yang mengatur secara positifistik atau lahiriyah dan terukur, seorang waria yang belum melakukan operasi  atau memiliki alat kelamin laki-laki harus melaksanakan salat dengan tata cara laki-laki.

“[Jika waria salat mengenakan mukena] menurut fiqh secara umum salatnya tidak sah,” kata perempuan bergelar doktor ini.

Akan tetapi, Rofiah mengingatkan, manusia memiliki dimensi nonfisik yang tidak terukur, di mana orientasi seksual termasuk di dalamnya. Dalam salat pun ada dua dimensi, yakni lahir yang menjadi acuan fiqh serta spiritual yang terkait dengan hubungan sangat personal antara manusia dengan Allah. 

Untuk hubungan ini, parameternya melampaui fisik. 

Jadi, apakah Allah menerima salatnya waria yang mengenakan mukena?

“Kalau menurut Allah, tentu hanya Allah yang tahu,” ujar Rofiah. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!