Apa saja peran Setya Novanto dalam skandal mega korupsi KTP Elektronik?

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Apa saja peran Setya Novanto dalam skandal mega korupsi KTP Elektronik?

ANTARA FOTO

JPU mengungkap pertemuan antara terdakwa dengan Setya Novanto di sebuah hotel dan di ruang kerjanya di DPR RI.

JAKARTA, Indonesia – Jaksa Penuntut Umum Irene Putrie mengingatkan kepada wartawan usai sidang perdana perkara dugaan korupsi proyek KTP Elektronik. “Harap diingat, sidang ini menyangkut terdakwa Irman dan Sugiharto. Ini bukan sidangnya Setya Novanto,” kata Irene, masih di ruang sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat, Kamis, 9 Maret. 

Nama Setya Novanto memang menjadi magnet, daya tarik utama skandal mega korupsi yang diduga merugikan negara senilai Rp 2,31 triliun itu. Bendahara Umum Partai Demokrat saat kasus ini terjadi, Muhammad Nazaruddin pernah mengatakan bahwa Setya Novanto dan mantan ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum adalah pengendali proyek KTP Elektronik. 

Usai diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Setya Novanto membantah tudingan Nazaruddin. Saat pembahasan proyek berlangsung posisi Setya Novanto adalah Ketua Fraksi Partai Golkar.  

Setya Novanto diperiksa KPK sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi di proyek KTP Elektronik pada Selasa, 13 Desember 2016.  Dia membantah menerima aliran duit dari proyek ini. 

“Saya tidak pernah mengadakan pertemuan terkait e-KTP. Saya tidak terima uang sepeser pun,” kata Novanto setelah membuka Rapat Kerja Teknis (Rakornis) Partai Golkar di Jakarta, Kamis, 9 Maret. (BACA: Respon Mereka Yang Diduga Menerima Aliran Dana Proyek KTP Elektronik). 

Bagaimana sebenarnya peran Setya Novanto? Jaksa Penuntut Umum kasus ini membeberkannya pada sidang perdana. Nama Setya Novanto disebut sejak bagian awal dakwaan setebal 121 halaman, untuk terdakwa Irman (terdakwa I) dan Sugiharto (terdakwa II).

Berikut dakwaan JPU, yang dibacakan untuk giliran pertama oleh Jaksa Irene Putrie:

“Bahwa terdakwa I selaku Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri dan terdakwa II selaku pejabat yang melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja atau pejabat pembuat komitmen di lingkungan Direktorat Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) pada Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Tahun 2011 sampai dengan Tahun 2012 sekaligus sebagai Direktur PIAK, bersama-sama dengan Andi Agustinus alias Andi Narogong  selaku penyedia barang/jasa pada Kementerian Dalam Negeri, Isnu Edhi Wijaya  selaku Ketua Konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), Diah Anggraini selaku Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri, Setya Novanto, selaku Ketua Fraksi Partai Golkar dan Drajat Wisnu Setyawan selaku Ketua Panitia Pengadaan barang/jasa di lingkungan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil tahun 2011, pada hari dan tanggal yang tidak dapat diingat lagi antara bulan November 2009 sampai dengan Mei 2015 atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain dalam Tahun 2009 sampai dengan 2015, bertempat di kantor Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri di Jl. Taman Makam Pahlawan No. 17 Jakarta Selatan, di Graha Mas Fatmawati Blok B No. 33-35 Jakarta Selatan, di Hotel Sultan Jalan Gatot Subroto Jakarta Pusat atau setidak-tidaknya di tempat-tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi, yang melakukan atau yang turut serta melakukan, secara melawan hukum yaitu: 

Para terdakwa dalam proses penganggaran dan pengadaan barang/jasa paket pengadaan Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional (KTP Elektronik) Tahun Anggaran 2011-2013 telah mengarahkan untuk memenangkan perusahaan tertentu, yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Peraturan Presiden No. 24 tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu memperkaya para Terdakwa dan memperkaya orang lain yakni: Gamawan Fauzi, Diah Anggraini, Drajat Wisnu Setyawan, beserta 6 (enam) orang anggota Panitia Pengadaan, Husni Fahmi beserta 5 (lima) orang anggota Tim Teknis, Johannes  Marliem, Anas Urbaningrum, Marzuki Alie, Olly Dondokambey, Melchias Marchus Mekeng, Mirwan Amir, Tamsil Lindrung, Taufik Effendi, Teguh Djuwarno, Chairuman Harahap, Ganjar Pranowo, Arief Wibowo, Mustoko Weni, Rindoko, Jazuli Juwaeni, Agun Gunandjar Sudarsa, Ignatius Mulyono, Miryam S. Haryani, Nu’man Abdullah Hakim, Abdul Malik Haramaen, Jamal Aziz, Markus Nari, Yasonna Laoly dan 37 (tiga puluh tujuh) anggota Komisi II DPR RI lainnya serta memperkaya korporasi yakni, Perusahaan Umum Percetakan Negara Republik Indonesia (Perum PNRI), PT LEN INDUSTRI, PT QUADRA SOLUTION, PT SANDIPALA ARTHA PUTRA, PT SUCOFINDO, Manajemen Bersama Konsorsium PNRI, yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yaitu merugikan keuangan negara sebesar Rp2.314.904.234.275,39 (dua triliun tiga ratus empat belas miliar sembilan ratus empat juta dua ratus tiga puluh empat ribu dua ratus tujuh puluh lima rupiah tiga puluh sembilan sen) atau setidak-tidaknya sejumlah itu, yang dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1.Terkait Dengan Proses Penganggaran.

Bahwa pada akhir November 2009, Gamawan Fauzi selaku Menteri Dalam Negeri mengirimkan surat kepada Menteri Keuangan dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) No. 471.13/4210.A/SJ perihal usulan pembiayaan pemberian Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan penerapan KTP berbasis NIK secara nasional.

Dalam surat tersebut Gamawan Fauzi meminta kepada Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas untuk mengubah sumber pembiayaan proyek penerapan KTP berbasis NIK yang semula dibiayai dengan menggunakan Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN) menjadi bersumber dari anggaran rupiah murni. Perubahan sumber pembiayaan proyek penerapan KTP berbasis NIK tersebut kemudian dibahas dalam Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat antara Kementerian Dalam Negeri dengan Komisi II DPR RI.

Pada awal bulan Februari 2010 setelah mengikuti rapat pembahasan anggaran Kementerian Dalam Negeri, Terdakwa I Irman dimintai sejumlah uang oleh Burhanudin Napitupulu selaku Ketua Komisi II DPR RI, agar usulan Kementerian Dalam Negeri tentang anggaran proyek penerapan KTP berbasis NIK (KTP Elektronik) dapat segera disetujui oleh Komisi II DPR RI.

Atas permintaan tersebut, Terdakwa I menyatakan tidak dapat menyanggupi permintaan Burhanudin Napitupulu. Oleh karena itu Burhanudin Napitupulu dan Terdakwa I sepakat untuk melakukan pertemuan kembali guna membahas pemberian sejumlah uang kepada anggota Komisi II DPR RI.

Bahwa satu minggu kemudian Terdakwa I kembali menemui Burhanudin Napitupulu  di ruang kerjanya di gedung DPR RI. Dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa guna mendapatkan persetujuan anggaran dari Komisi II DPR RI, akan diberikan sejumlah uang kepada anggota Komisi II DPR RI oleh pengusaha yang sudah terbiasa menjadi rekanan di Kementerian Dalam Negeri yakni Andi Agustinus alias Andi Narogong.

Selain itu Burhanudin Napitupulu  juga menyampaikan bahwa rencana pemberian sejumlah uang untuk anggota Komisi II DPR RI oleh Andi Agustinus alias Andi Narogong tersebut juga telah disetujui oleh Diah Anggraini. Keesokan harinya Terdakwa I dihubungi oleh Diah Anggraini guna mengkonfirmasi pertemuan antara Terdakwa I dengan Burhanudin Napitupulu serta menginformasikan kepada Terdakwa I bahwa Andi Agustinus alias Andi Narogong adalah pengusaha yang komit dan akan memenuhi janjinya sebagaimana yang telah dibicarakan antara terdakwa I dengan Burhanudin Napitupulu.

Beberapa hari kemudian para terdakwa ditemui oleh Andi Agustinus alias Andi Narogong di ruang kerja terdakwa I. Dalam pertemuan tersebut Andi Agustinus alias Andi Narogong menyampaikan bahwa kedatangannya dalam rangka menindaklanjuti pembicaraan antara terdakwa I dengan Burhanudin Napitupulu, serta menegaskan bahwa Andi Agustinus alias Andi Narogong bersedia memberikan sejumlah uang kepada anggota Komisi II DPR RI dan Pejabat pada Kementerian Dalam Negeri guna memperlancar pembahasan anggaran proyek penerapan KTP berbasis NIK secara nasional (KTP Elektronik).

Atas penyampaian Andi Agustinus alias Andi Narogong tersebut, terdakwa I mengarahkan Andi Agustinus  alias Andi Narogong untuk langsung berkoordinasi dengan terdakwa II dalam menindaklanjuti rencana tersebut. Dalam kesempatan itu, Andi Agustinus alias Andi Narogong dan terdakwa I sepakat untuk menemui Setya Novanto selaku Ketua Fraksi Partai Golkar guna mendapatkan kepastian dukunganPartai Golkar terhadap anggaran proyek penerapan KTP berbasis NIKsecara nasional (KTP Elektronik).

Menindaklanjuti kesepakatan itu, beberapa hari kemudian sekira pukul 06.00 WIB di Hotel Gran Melia Jakarta para terdakwa bersama-sama dengan Andi Agustinus alias Andi Narogong dan Diah Anggraini melakukan pertemuan dengan Setya Novanto. Dalam pertemuan itu Setya Novanto menyatakan dukungannya dalam pembahasan anggaran proyek penerapan KTP berbasis NIK secara nasional (KTP Elektronik).

Guna mendapatkan kepastian mengenai dukungan Setya Novanto tersebut, beberapa hari kemudian terdakwa I dan Andi Agustinus alias Andi Narogong menemui Setya Novanto di ruang kerjanya di Lantai 12 Gedung DPR RI. Dalam pertemuan tersebut terdakwa I dan Andi Agustinus alias Andi Narogong meminta kepastian kesiapan anggaran untuk proyek penerapan KTP berbasis NIK secara nasional (KTP Elektronik).

Atas pertanyaan tersebut, Setya Novanto mengatakan bahwa ia akan mengkoordinasikan dengan pimpinan fraksi lainnya. Pada bulan Mei 2010 di ruang kerja Komisi II DPR RI Lantai 1 sebelum

Rapat Dengar Pendapat (RDP), terdakwa I melakukan pertemuan dengan Gamawan Fauzi, Diah Anggraini, Chaeruman Harahap, Ganjar Pranowo, Taufik Effendi, Teguh Djuwarno, Ignatius Mulyono, Mustoko Weni, Arief Wibowo, M.Nazaruddin dan Andi Agustinus alias Andi Narogong. Dalam pertemuan tersebut dibahas mengenai pembangunan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) dan pemberian NIK secara nasional serta pembicaraan pendahuluan Rencana Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) TA 2011, yang kemudian disepakati bahwa program penerapan KTP berbasis NIK secara nasional (KTP Elektronik) sebagai program Prioritas Utama yang akan dibiayai menggunakan APBN murni secara multiyears. 

Dalam kesempatan itu (pertemuan bulan Mei 2010), Mustoko Weni menyampaikan bahwa yang akan mengerjakan proyek KTP elektronik adalah Andi Agustinus alias Andi Narogong karena sudah biasa mengerjakan proyek di Kementerian dalam Negeri dan sudah familiar dengan komisi II DPR RI. Selain itu Mustoko Weni juga memberikan garansi bahwa Andi Agustinus alias Andi Narogong berkomitmen akan memberikan sejumlah fee kepada anggota DPR dan beberapa pejabat di Kemendagri. 

Atas pernyataan Mustoko Weni tersebut, kemudian Andi Agustinus alias Andi Narogong membenarkannya. Bahwa antara bulan Mei-Juni 2010, terdakwa I meminta Johannes Richard Tandjaya yang merupakan Direktur PT Java Trade Utama untuk menyediakan hotel guna melakukan pertemuan yang akan membahas mengenai proyek pengadaan dan penerapan KTP berbasis NIK secara nasional (KTP Elektronik). 

Menindaklanjuti permintaan terdakwa I tersebut, selanjutnya Johannes Richard Tandjaya berkoordinasi  dengan terdakwa II untuk menentukan tempat, guna melakukan pertemuan. Selanjutnya terdakwa II mengarahkan Johannes Richard Tandjaya untuk menyewa kamar di Hotel Sultan Jakarta dengan pertimbangan agar terdakwa I yang sedang mengikuti rapat di Komisi II DPR RI tidak terlalu jauh meninggalkan gedung DPR RI.

Beberapa saat kemudian para terdakwa melakukan pertemuan di Hotel Sultan Jakarta dengan Andi Agustinus  alias Andi Narogong, Johannes Richard Tandjaya dan Husni Fahmi. Dalam pertemuan itu terdakwa I memperkenalkan Andi Agustinus alias Andi Narogong sebagai orang yang akan mengurus penganggaran dan pelaksanaan proyek KTP Elektronik. Terdakwa I juga menyampaikan bahwa Andi Agustinus alias Andi Narogong berminat mengikuti proses pengadaan KTP Elektronik.

Untuk itu terdakwa I memerintahkan Johannes Richard Tanjaya untuk membantunya dengan mempersiapkan desain proyeknya. Dalam pertemuan itu atas permintaan terdakwa I, Husni Fahmi memaparkan peranan SIAK dalam proyek uji petik KTP Elektronik, yang rencananya juga akan dipergunakan dalam pengadaan KTP Elektronik kepada Johannes Richard Tandjaya dan Andi Agustinus alias  Andi Narogong. Untuk menindaklanjuti hasil pertemuan tersebut, Andi Agustinus alias Andi Narogong  menyampaikan bahwa untuk pertemuan berikutnya akan dilakukan di Ruko milik Andi Agustinus alias Andi Narogong yang beralamat di Graha Mas Fatmawati Blok B No. 33-35 Jakarta Selatan (selanjutnya disebut Ruko Fatmawati).

Selanjutnya JPU Irene Putrie mulai memasuki bagian dakwaan ketika dana proyek senilai Rp 5,9 triliun itu, sebanyak 49 persen di antaranya dibagi-bagikan ke sejumlah nama politisi di Komisi II DPR RI, pemimpin fraksi dan pejabat di kemendagri. (BACA: Praktik bagi-bagi duit terungkap dalam sidang perdana kasus KTP elektronik)

Pengacara terdakwa Irman dan Sugiharto, Soesilo Ariwibowo , mengatakan bahwa  soal penganggaran terlihat penting dalam dakwaan yang dibacakan JPU.  

“Kerugian negara banyak kepada arah soal penganggaran, yang bersinggungan dengan legislatif, eksekutif dan sedikit tentang swasta. Kalau kita lihat dalam dakwaan itu, saya cukup yakini bahwa peran terdakwa I dan terdakwa II bukan pelaku yang utama,” kata Soesilo usai sidang perdana kasus KTP Elektronik. – Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!