Paris Saint-Germain vs Barcelona: Kisah kota yang ingin lepas stigma

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Paris Saint-Germain vs Barcelona: Kisah kota yang ingin lepas stigma
Mampukah PSG akhirnya mendapatkan pengakuan sebagai kota sepak bola yang memenangkan permainan?

JAKARTA, Indonesia – Sejak kapan Paris harus selalu mengalah dan mengatakan bahwa mereka memang bukan kota sepak bola? Jika sepak bola adalah alat untuk membangun metafora satu identitas tertentu, maka Paris terus ingin menahbiskan diri bahwa mereka juga adalah kota yang punya wibawa sepak bola. 

Saat Qatar Investment Authority (QIA) mengguyur ibukota Perancis itu dengan dana miliaran rupiah dengan membeli Paris Saint-Germain (PSG) pada 2011, majalah sepak bola asal Inggris FourFourTwo langsung nyinyir. 

“Paris memang kota cinta. Tapi bukan kota yang mencintai sepak bola,” tulis mereka dalam salah satu laporannya.

Menyebut Paris sebagai kota sepak bola memang agak janggal. Apalagi di level Eropa. Justru kota yang lebih fanatik dengan olahraga si kulit bundar adalah Marseille. Satu kota di Perancis tenggara yang lebih banyak dipadati para imigran. 

Tak heran dalam hal prestasi, PSG jauh ketinggalan. Meski Marseille dan PSG adalah duopoli Ligue 1. Le Classique. Semacam Real Madrid vs Barcelona-nya Spanyol tapi dalam satu derajat berbeda. 

Namun, klub ibukota tak ada apa-apanya dibanding Les Phoceens. Mereka sudah pernah menjuarai Liga Champions dan mengoleksi lebih banyak gelar Ligue 1 dan Coupe de France. 

Marseille ibarat sosok manusia yang melihat sepak bola sebagai olahraga yang ideologis. Memainkannya serupa persoalan hidup dan mati. Menjadikannya pelampiasan untuk hal-hal yang tak bisa mereka ekspresikan di antara kerasnya kawasan selatan.

Sebaliknya, bagi PSG, sepak bola tak pernah sampai dalam level ideologis. Bukan soal hidup dan mati. 

Kehadiran QIA yang membeli klub itu menjadi penyempurnastigma bahwa Paris memang bukan kota yang mencintai sepak bola. Mereka membeli sepak bola. Agar orang mengakui bahwa mereka memang kota yang punya wibawa sepak bola. 

Di olahraga ini, sejarah memang tak bisa begitu saja dikubur waktu. Ia akan terus mengikuti perjalanan klub. Membuntutinya terus menerus seperti bayangan. 

Seperti yang dikatakan Hunter Shobe saat menulis Place, identity, and football: Catalonia, Catalanism and Football Club. 

“Olahraga dan stadion digunakan untuk mengkonstruksi sebuah ide tentang tempat dan kebangsaan,” katanya.

“Olahraga dimobilisasi untuk memproduksi satu identitas dominan terkait tempat,” katanya lebih lanjut.

Ide yang ingin disampaikan dari akuisisi QIA dan kedatangan sekian banyak bintang di kota tersebut adalah passion mereka terhadap sepak bola. Mereka ingin membangun tim besar Eropa dari jantung pemikiran Eropa.

Tapi passion yang besar itu juga diikuti efek samping yang lain: keinginan untuk mendapatkan hasil yang instan. 

Maka kisah PSG adalah kisah tentang sebuah kota yang begitu ingin mendapatkan pengakuan sebagai kota sepak bola tapi terus menerus gagal meraihnya. Dana besar yang digelontorkan sepanjang 5 tahun terakhir tak sebanding jika cuma jadi raja domestik.

Dan kisah PSG adalah juga kisah kesebelasan yang selalu tak beruntung di Liga Champions. Sebab mereka selalu bertemu tim yang paling dihindari semua kontestan: Barcelona.

Karena itu, untuk kali kesekian mereka bertemu Barcelona, PSG berada dalam situasi de javu. Mereka terancam hanya menguatkan ide-ide di atas tersebut. 

Kalaupun mereka ingin lepas dari stigma itu, mereka harus bisa memperpanjang napasnya melawan Barcelona. Dengan cara, paling tidak, tidak kalah memalukan di kandang, Parc de Princess. 

Tentu saja upaya untuk melakukannya sangat sulit. Unai Emery bukan ahli Liga Champions. Dia lebih nyaman berada di satu kasta lebih rendah, Europa League, di mana dia meraih dua gelar bersama Sevilla. 

Begitu juga skuatnya yang kini lebih banyak mengandalkan para pemain muda akademi PSG. Dari semua line up, paling-paling hanya Thiago Motta dan Maxwell yang pernah mengangkat Si Kuping Besar. 

Bagi Barcelona, Liga Champions justru seperti taman bermain. Luis Enrique meraih gelar Liga Champions di musim pertamanya sebagai entrenador. Sedangkan pasukannya barangkali sudah berpikir bahwa jika Liga Champions tak mereka raih tahun ini, paling-paling tahun depan mereka juga juara. 

Apalagi, di Primera Division kali ini tampaknya Real Madrid lebih berpeluang meraih gelar. Keuntungannya, mereka lebih bisa fokus di ajang Eropa daripada memikirkan piala domestik. 

Tentu ini kabar buruk bagi PSG. –Rapper.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!