Mino Raiola, sang ‘vigilante’ para pemain bola

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Manusia terkutuk di benak para fans saat ini barangkali adalah Mino Raiola. Tapi coba kita tengok sudut pandang dia

Mino Raiola. Foto: Akun Twitter Mino Raiola

JAKARTA, Indonesia – Ruangan nyaman yang lapang di salah satu kantor manajemen Manchester United itu mendadak panas dan pengap. Padahal, suhu musim panas sedang hangat dan hanya dua orang di ruangan tersebut. Seharusnya suasana lebih sejuk.

“Bahkan dua anjing chihuahua saya pun tak akan mau menerima kontrak ini,” kata salah satu dari mereka membuka percakapan.

“Saya tak akan sudi berbicara denganmu tanpa kehadiran pemainnya langsung!” suara yang meninggi tiba-tiba memenuhi udara.

Nada suaranya sangat akrab. Itu Sir Alex Ferguson. Rupanya dia benar-benar dibuat marah lelaki di depannya. Lelaki yang dari penampilannya seharusnya mustahil bisa membuat siapapun bereaksi seperti itu.

Wajahnya chubby, tubuhnya pendek untuk ukuran orang Eropa dan beberapa lemak di perutnya membuat dia lebih mirip koki daripada agen pemain bola.

“Kalau begitu panggil pemainnya dan kita akan bicarakan di sini,” kata Mino Raiola, lelaki tersebut. Gertakan Fergie tak membuat dia ciut nyali. Dia tetap tenang dan rasional. Bahkan seperti tanpa ekspresi.

Wajahnya yang chubby justru menjadi “pengecoh” lawan-lawan bicaranya. Dengan wajah seperti itu, siapapun akan meremehkan kemampuannya. Bahkan Zlatan Ibrahimovic, salah satu kliennya, sempat kaget saat bertemu dengan dia di sebuah restoran di Belanda.

“Apakah benar dia ini agen pemain sepak bola? Dia hanya mengenakan jin dan kaos Nike? Yang benar saja. Wajahnya seperti salah satu tokoh di film The Sopranos,” kata Ibra di buku biografinya.

Foto: Akun Twitter Zlatan Ibrahimovic

Paul Pogba, pemain yang menjadi topik pembicaraan panas antara Fergie dan Raiola,  akhirnya dipanggil. Fergie pun menanyakan kepada remaja asal Perancis tersebut apakah benar dia tidak mau meneken kontrak?

“Saya tidak mau jika syarat-syarat (yang disebutkan Raiola) tidak dipenuhi,” kata Pogba. “Kamu bajingan!” kecam Fergie kepada Raiola menutup pembicaraan.

Sejarah kemudian menulis bahwa kesepakatan antara United dan Pogba tidak menemui titik temu. Remaja yang kerap dicadangkan Fergie di awal karirnya itu akhirnya pindah ke Juventus.

Tapi, empat musim kemudian dia kembali dan memecahkan rekor transfer dunia EUR 105 juta, melampaui rekor sebelumnya yang dipegang Gareth Bale saat pindah dari Tottenham Hotspur ke Real Madrid dengan angka EUR 91 juta.

ESPN melaporkan bahwa Raiola mendapat dana EUR 27 juta dari kepindahan Pogba ke Setan Merah.

Musuh baru Milanisti

Lima tahun sejak pembicaraan panas dengan Fergie, Raiola tetap menjadi Raiola. Jika saat itu kecaman datang dari pelatih yang kini sudah pensiun tersebut, kali ini lebih epik: hampir semua Milanisti di seluruh dunia mengecamnya Bersama kliennya, Gianluigi Donnarumma, Raiola dianggap tamak, rakus, dan terlalu “duniawi”.

Bahkan, yang terbaru, fans Milan yang datang dalam laga Kejuaraan Eropa U-21 di Krakow, Polandia, Minggu, 18 Juni, melempari Donnarumma dengan uang dollar palsu saat Italia menjalani laga melawan Denmark.

Tak hanya fans, para legenda Milan juga ikut mengutuk produk akademi Milan tersebut. “Dia tak tahu diri. Saya dulu juga ditawari Inter Milan kontrak tapi saya lebih memilih mengakhiri karir di Jepang,” kata Daniel Massaro.

Pemain 18 tahun itu kini punya julukan baru: Dollarumma.

Bagi mereka, Donnarumma sudah menggadaikan yang tersisa dari gempuran industrialisasi sepak bola: loyalitas. Para fans dan legenda Milan berharap dia bertahan lebih lama di San Siro. Sebagai wujud terima kasih telah promosi dari tim junior ke tim utama. Atau paling tidak terima kasih kepada akademi yang membesarkan namanya.

Namun, kiper yang digadang-gadang sebagai titisan Gianluigi senior (Buffon) itu menampik sodoran kontrak baru. Dengan kontrak Donnarumma berakhir pada 2018, mau tidak mau Rossoneri harus menjual dia dalam waktu dekat.

Jika tidak, pada 2018 dia akan keluar dari tim merah-hitam itu dengan status free transfer. Tak ada uang yang tersisa untuk jawara 7 kali Liga Champions tersebut.

Gianluigi Donnarumma. Foto: Akun Twitter Donnarumma

Mau tidak mau, Milan harus membuka jalan bagi Donnarumma untuk pergi. Dengan kemampuannya, tak sedikit klub-klub besar yang menginginkan tanda tangannya. Mulai dari Juventus, Real Madrid, hingga Paris-Saint Germain. Dari sinilah kebencian terhadap Donnarumma dan Raiola (yang untuk kali kesekian) bermula.

Bagi fans dan manajemen klub, agen bernama Mino Raiola adalah nama yang layak dicaci-maki. Bahkan kata paling kotor di dunia pun masih tak cukup untuk menggambarkan kiprahnya.

Kebencian itu mendapat “konfirmasi” dari tokoh pelatih dunia. Sir Alex Ferguson, misalnya. Dengan terbuka mengatakan bahwa Raiola adalah salah satu nama dalam industri sepak bola yang sangat tidak dia sukai.

Tepikan dulu semua penghakiman. Bagaimanapun juga, Raiola punya “angle”. Dan dalam sudut pandang agen kelahiran Belanda keturunan Italia itu, dia adalah pahlawan. Terutama bagi para pemain bola.

Raiola selalu mengutamakan pemain lebih dari apapun. Bagi dia, kepentingan pemain di atas segalanya. Yang selalu dia pikirkan adalah kesejahteraan pemain. Kita mungkin bertanya-tanya, bagaimana mungkin para pemain yang merumput di Eropa bisa tidak sejahtera dengan bayaran setinggi langit?

Namun, itulah yang terjadi. Data dari Liga Inggris menyebutkan, sekitar 10 dari 20 pemain bola yang pensiun dari lapangan hijau bangkrut. Gaji mereka memang setinggi langit. Tapi karir yang singkat, gaya hidup yang mahal, dan ketidakmampuan menjalani kehidupan “pasca sepak bola” menjadi beberapa penyebabnya.

Beberapa kasus yang pernah terjadi, sejumlah pemain tenar di Liga Inggris bahkan melego jersey, medali, bahkan kenang-kenangan berharga dari piala-piala yang mereka kumpulkan demi bertahan hidup.

Selain itu, kata Raiola, saat memegang dana besar, para pemain akan menjadi sasaran banyak orang. Mereka mendapat iming-iming laba jika berinvestasi dalam usaha yang mereka bahkan tak tahu keberadaannya.

“Para pemain ditawari investasi hotel, restoran, dan kafe. Saya bilang, itu semua omong kosong. Kamu harus fokus di sepak bola dan pensiun dengan dana pensiun yang besar,” kata Raiola.

Raiola meminta pemain bertindak konservatif dalam memperlakukan pendapatan. Simpan saja di bank. Tak peduli seberapa kecil bunganya. Bunga yang kecil tapi uang awet jauh lebih penting daripada mengucurkannya untuk bisnis (dengan godaan revenue besar) yang mereka tak tahu apa-apa tentangnya.

Mereka yang bersinggungan dengan pesepak bola di dalam negeri pasti tahu betapa para pemain profesional paling pintar pun kerap kehilangan logika saat mendapat bujuk rayu investasi.

Lebih dari sekadar agen

Raiola memperlakukan kliennya berbeda. Bahkan jauh berbeda dibanding Jorge Mendes, satu nama besar lagi di dunia agen pesepak bola Eropa.

Bagi Raiola, kepentingan pemain yang dia perjuangkan bukan semata soal kontrak besar. Tapi lebih dari itu, mulai dari kehidupan, permainan mereka di lapangan, hingga bagaimana para pemain itu menata kehidupan pribadinya. Urusan kontrak bukan semata urusan di atas kertas. Tapi juga dalam hal strategi permainan.

Seperti saat dia mengurus kepindahan Zlatan Ibrahimovic dari Ajax Amsterdam ke Juventus. Saat bertemu di sebuah resto di Belanda, Raiola mengatakan kepada Ibra untuk berlatih lebih keras. Dia harus berlari tiga kali lebih jauh daripada biasanya. Dia harus menempa fisiknya jauh lebih keras dibanding para pemain rata-rata.

“Itu satu-satunya cara bagimu untuk selalu bisa bertahan berada di level tertinggi sepak bola dunia,” kata Raiola.

Raiola meminta Zlatan menjadi seorang “ekstrimis”, istilah yang dipakai Zdenek Zeman (teman diskusi Raiola saat Zeman menangani klub Italia Foggia), untuk menggambarkan sosok pemain yang ideal: stamina yang kuat, kecepatan, dan kemampuan dengan bola yang baik.

“Di Juve, kamu akan bertemu seorang ekstrimis lainnya bernama Pavel Nedved,” kata Raiola kepada Ibra. Nedved juga adalah klien Raiola.

Pendekatan terhadap Ibra membuahkan hasil. Ibra menjadi salah seorang pemain dengan etos kerja yang luar biasa. Tak pernah sekalipun dalam karir pemain Swedia itu mendapatkan kontrak yang buruk. Dan klub-klub yang dia bela selalu klub besar.

Simon Kuper, salah satu kolumnis kondang sepak bola dunia, mengatakan, Raiola seperti memiliki indra keenam. Dia selalu tahu kapan harus memindahkan para pemainnya.

Sebelum Juventus terdegradasi karena skandal Calciopoli, Raiola sudah memindahkan Ibra ke Inter Milan. Saat bersama Milan, begitu tahu bahwa Rosoneri bakal kesulitan keuangan, dia sudah membawa Ibra pindah ke Paris Saint-Germain (PSG). Padahal, Ibra tak pernah ingin ke PSG. Tapi Raiola selalu tahu apa yang terbaik bagi pemainnya.

Hasilnya, Ibra kini menjadi salah satu pemain termahal (secara akumulatif berdasarkan semua proses transfernya) dunia.

“Saya sudah tahu kebiasaan Luciano Moggi menelpon para wasit yang akan memimpin pertandingan Juve. Saya tahu bahwa suatu saat ini akan jadi masalah. Dua musim sebelum Juve terkena skandal, saya sudah memikirkan tempat baru bagi Ibra,” katanya seperti dikutip Financial Times.

Pendekatan yang sama juga dilakukan Raiola kepada para pemain “asuhannya”. Mulai dari Paul Pogba, Blaise Matuidi, Nedved, dan sejumlah pemain belia yang kini masih di level junior.

Pendekatan yang begitu personal dan detail tersebut membuat dia tak bisa punya terlalu banyak klien. Kurang lebih saat ini hanya 51 pemain. Tapi mereka adalah para nama besar atau calon-calon bintang.

Jangan lupa, Raiola juga menjadi aktor intelektual di balik masuknya Pogba dan Ibra ke United. “Dulu, Ibra harus ke Barcelona dan Pogba harus ke Juve karena dua pemain itu membutuhkan klub-klub tersebut. Sekarang mereka berdua masuk ke United karena klub itu membutuhkan mereka,” katanya.

Memang, tak semua pemain yang dia dampingi bisa sukses. Mario Balotelli, misalnya. Sudah beberapa kali dia mengingatkan agar striker Italia itu mengubah etos kerjanya. Tapi dia tetap tak mau berubah.

“Kalau dengan malas-malasan dia sudah dapat uang jutaan euro kenapa harus bersusah payah,” keluh Raiola menggambarkan pola pikir Balotelli.

Mario Balotelli kini memperkuat tim Perancis, Nice. Foto: Akun Twitter Balotell

“Balotelli tak pernah menempatkan sepak bola sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupannya. Makanya, setiap saya mendapatkan klien baru, saya akan tanya. Apa yang dia cari di sepak bola? Karena kita hanya membutuhkan yang benar-benar memberikan hidupnya di sini,” katanya.

Begitulah logika berpikir Raiola. Dia tidak sekadar melihat kontrak, tapi juga memikirkan bagaimana karir seorang pesepak bola akan dibangun. Hal itu sedikit banyak terpengaruh dari masa mudanya. Sebelum terjun di dunia agensi, Raiola sempat meniti karir yang sangat singkat di klub bola lokal tempat dia tinggal di Haarlem, Belanda. Dari situlah Raiola tahu bahwa loyalitas kepada klub adalah omong kosong.

Apakah loyalitas bisa menjamin kesejahteraan pemain? Mengapa klub juga tidak ditagih loyalitasnya? Mengapa manajemen bisa dengan gampang “tidak loyal” kepada pemain ketika yang bersangkutan sudah meredup atau mengalami masa cedera yang panjang?

Seorang pemain sepak bola memiliki masa kebintangan yang singkat dengan persaingan yang begitu ketat. Berbuat kesalahan dalam satu dua pertandingan saja, mereka akan menjalani hidup penuh kutukan stereotype sebagai biang blunder sepanjang karirnya.

Siapa yang akan membela hak-hak pemain seperti itu? Tak ada.

Raiola hadir untuk berdiri bersama para pemain. Menjadi satu-satunya pembela para pesepak bola menghadapi mesin industri bernama klub. Tentu, fans tak terlalu setuju dengan logika ini. Tapi, sejak kapan fanatisme membutuhkan logika? —Rappler.com

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!