Tembakan Antasari menyasar SBY, bagaimana nasib Agus Yudhoyono?

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Tembakan Antasari menyasar SBY, bagaimana nasib Agus Yudhoyono?

ANTARA FOTO

Sesudah kompetisi yang sengit selama masa kampanye, kita perlu mengawal hasil Pilkada

JAKARTA, Indonesia – Banyak yang mencibir kebiasaan Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), untuk memberikan keterangan pers, atau pun berkicau melalui akun Twitter-nya, manakala ada isu yang melibatkan namanya.  

Pada Selasa siang, 14 Februari, sehari menjelang pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak, yang juga dilakukan di provinsi DKI Jakarta, SBY tergoda untuk menanggapi pernyataan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar.

Antasari membeberkan bahwa pengusaha dan pemilik media, Hary Tanoesoedibjo, diutus oleh Cikeas untuk meminta agar besan SBY, Aulia Pohan, tidak ditahan oleh KPK pada 2008 lalu. 

 

Namun saat menggelar jumpa pers di kantor Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri di gedung Kementerian Kelautan dan Perikanan di kawasan Gambir, Jakarta, Antasari tidak membeberkan bukti-bukti tentang pertemuannya dengan Hary Tanoe.  

Apakah dia merekam pertemuan itu? Apakah ada yang menjadi saksi pertemuan? Bagaimana Antasari membuktikan SBY yang menyuruh Hary Tanoe? Bahkan, seandainya pertemuan itu ada, dan benar Hary Tanoe meminta Aulia Pohan tidak ditahan, apakah Antasari bisa memutuskannya sendirian tanpa persetujuan komisioner KPK lain?  

Semua masih misteri dan publik dibiarkan menebak-nebak kartu apa yang tengah dimainkan mantan jaksa ini. Sasarannya jelas: SBY.                

Dan, seperti sudah kita duga bersama, SBY terpancing menjawab. Alih-alih berkomentar singkat dengan mengatakan, “No pic, hoax,” sebagaimana yang biasa disampaikan netizen di ranah media sosial, SBY mengaitkan tudingan Antasari dengan politik Pilkada yang melibatkan putranya, Agus Harimurti Yudhoyono, sebagai kandidat gubernur DKI Jakarta.

Sebagian netizen ramai-ramai mengkritik SBY yang mudah “baper” alias bawa perasaan kala menanggapi jumpa pers Antasari. 

Seseorang yang menjadi presiden selama 10 tahun seperti SBY menurut saya tidak bisa diremehkan. Dia meraih dan mempertahankan kekuasaan itu dengan strategi yang terbukti berhasil. Jadi, sah saja kalau ada yang mengatakan, kecenderungan SBY untuk “baper” adalah bagian dari strategi.  

Dalam urusan kompetisi politik, banyak contoh ketika strategi menjadi korban (playing victim) itu sukses. SBY pun naik ke tampuk ke kekuasaan sebagian karena dianggap korban dari kecaman kubu Megawati Soekarnoputri yang saat itu menjabat presiden.

Tidak cukup dengan berkicau, pada Selasa malam, SBY juga menggelar jumpa pers di kediamannya yang baru, di kawasan Mega Kuningan, Jakarta. Sampai di sini saya mempertanyakan, apakah cara reaktif ini bagian dari strategi, atau ketidakmampuan untuk menahan diri dari emosi, karena tuduhan Antasari dilakukan sehari menjelang Pilkada?  

Kita semua paham bahwa Pilkada Jakarta kali ini adalah proyeksi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.  Berjuang dan menang sekarang, atau kehilangan momentum berharga. Bagi SBY, taruhannya lebih berat dan personal.

Siapa diuntungkan oleh manuver Antasari?

Kalau SBY menjadi sasaran antara untuk menurunkan kredibilitas putranya, Agus, maka yang diuntungkan oleh manuver Antasari ini adalah pasangan pertahana Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.

Tapi, baiklah kita tengok kilasan peristiwa ini. Pada 23 Januari 2017, Antasari mendapatkan grasi dari Presiden Joko “Jokowi” Widodo berupa pengurangan masa hukuman. Tiga hari kemudian, pada 26 Januari 2017, Antasari diterima oleh Presiden Jokowi di Istana Negara.

Presiden Jokowi tergolong sosok yang sering mengundang tamu, termasuk berbagai kalangan masyarakat, ke Istana. Tapi undangan kepada terpidana kasus pembunuhan yang baru menyelesaikan masa kurungan ini tergolong istimewa.

Mantan Ketua KPK Antasari Azhar meninggalkan gedung Ditreskrimsus, Polda Metro Jaya, Jakarta, pada 1 Februari 2017. Foto oleh Akbar Nugroho Gumay/Antara

Lepas dari hotel prodeo, Antasari nampak bergegas. Sehari setelah bertemu Jokowi, dia hadir di acara debat resmi seri kedua kandidat gubernur dan wakil gubernur Jakarta. Antasari duduk di depan, di kelompok kursi pendukung pasangan Ahok-Djarot.

Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto, mengakui bahwa pihaknya mengundang Antasari hadir di acara debat pilkada. Dalam wawancara dengan Kompas TV sehari sesudah debat, pada 28 Januari 2017, Antasari mengatakan akan bergabung dengan PDIP pada Februari 2017. PDIP adalah partai pendukung Ahok-Djarot.

Ketika melihat Antasari duduk di deretan depan pendukung Ahok-Djarot, saya teringat manuver kandidat presiden AS, Donald Trump, yang sengaja mengundang sejumlah perempuan yang pernah menuduh mantan Presiden Bill Clinton melakukan pelecehan seksual saat Clinton berkuasa, untuk hadir di acara debat.  

Rencananya Trump akan mendudukkan perempuan-perempuan itu di deretan kursi depan untuk mengganggu konsentrasi lawannya, Hillary Clinton—istri Bill. 

Kehadiran Antasari dalam debat kedua menurut saya tidak banyak memengaruhi penampilan Agus-Sylvi. Dibandingkan dengan dua pasangan calon lain, duet ini nampak lemah, terutama di sosok Sylvi, satu-satunya calon perempuan dalam Pilkada DKI. Tapi Antasari yang rajin meladeni wawancara media, dipandang bisa menjadi ganjalan yang bisa menurunkan kredibilitas Agus.  Antasari dianggap leluasa melakukannya setelah grasi yang diberikan Jokowi.

Pada Selasa sore, 14 Februari, juru bicara kubu Agus-Sylvi, Rachland Nashidik, mengatakan, “Dia [Antasari] ada dalam Jambore Mahasiswa yang pesertanya diarahkan untuk berdemo di depan kediaman SBY. Dia juga sudah memperoleh grasi dari Jokowi, dan Presiden juga menolak mematuhi Undang-Undang untuk memberhentikan sementara Ahok dari kursi Gubernur DKI.”  

Tentu saja Istana membantah tudingan mengarahkan demo di depan kediaman SBY.

(BACA: Benarkah Istana arahkan mahasiswa untuk berdemo di depan rumah SBY?)

Tanpa manuver Antasari, sebenarnya belakangan kinerja Agus-Sylviana memang menurun. Popularitas Agus-Sylvi sempat naik signifikan dan ada di posisi kedua setelah Ahok, bahkan ada survei yang menempatkannya di posisi pertama. Daya tarik Agus pada usia muda dan wajah yang dianggap atraktif mengerek popularitas, lantas elektabilitas itu. 

Namun setelah seri debat pertama, apalagi kedua, Anies-Sandi menyalip popularitas Agus-Sylvi. Memasuki Februari, sejumlah survei menunjukkan elektablitas Agus-Sylvi berada di posisi ketiga.

Menilik pemilu di Amerika Serikat, boleh saja kita membuat asumsi bahwa survei politik belum bisa memastikan hasilnya akan sama pada hari pemilihan. Ada persentase pemilih yang belum menentukan pilihannya. Ada yang mungkin tidak menjawab sebagaimana yang akan diputuskan di bilik suara.  

Tapi, melihat tren, maka besar kemungkinan Pilkada Jakarta akan berlangsung dua putaran, dan tidak mengikutsertakan pasangan Agus dan Sylvi di putaran berikutnya.

Jadi, manakala pasangan Ahok-Djarot dan Anies-Sandi berjuang untuk memenangi Pilkada dalam satu putaran, Agus-Sylvi bergulat sampai Rabu pagi, 15 Februari, untuk memastikan mereka masuk ke putaran kedua. Tembakan dari Antasari beberapa jam sebelum bilik suara dibuka jelas membuat gundah. Kegaduhan yang ditimbulkan dan ditonton pemilih melalui pemberitaan di media massa dan percakapan di media sosial, dianggap bisa mempengaruhi preferensi pemilih yang belum menentukan.

Mengawal hasil Pilkada

Manuver Antasari yang dianggap menjadi bagian dari pendukung Ahok-Djarot, adalah kegaduhan terakhir yang kita saksikan sebelum hari pencoblosan. Ada 100 daerah lain yang menggelar Pilkada serentak pada 15 Februari 2017. Pilkada DKI Jakarta menyedot perhatian luar biasa dengan suhu politik yang panas pula.  

Jika pilkada berlangsung dua putaran, maka bisa dibayangkan gesekan politik akan berlangsung sampai saat pencoblosan kedua pada 19 April 2017. Potensi meningginya suhu karena kampanye yang menyeret isu SARA kian besar. Politik identitas kian kental mencuat. Ini sebenarnya fenomena global, bukan hanya di Indonesia.

Sesudah proses yang menghabiskan begitu banyak energi dan menimbulkan luka antara orang per orang, kelompok per kelompok di masyarakat, kita perlu menyiapkan diri untuk mengawal hasil Pilkada. Bukan dalam bentuk mengawal penghitungan atau rekapitulasi saja, melainkan mengawal pemerintahan berikutnya di ibu kota, siapapun pemenangnya.

Kecenderungan menempatkan pemimpin politik, termasuk presiden, gubernur, wali kota, dan bupati sebagai idola, menurut saya berbahaya, karena menurunkan daya kritis kita sebagai warga.  

Ini juga catatan penting bagi media. Memberikan cek kosong kepada penguasa membuka peluang bagi mereka untuk mengisinya sesuai dengan kehendak, dan mencairkannya setiap saat untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan itu sendiri. Kita sudah mengalaminya di era Soeharto.

Sangat penting untuk memastikan bahwa pemimpin yang kita pilih memiliki watak mau mendengar dan mempertimbangkan suara warga kebanyakan dalam mengambil keputusan publik. Menghargai hak-hak asasi warga. Tunduk kepada aturan perundangan dan hukum yang berlaku ketimbang melakukan banyak diskresi untuk kepentingan diri dan kelompok. 

Ibu kota yang menjadi etalase negeri juga perlu dikelola dengan semangat kemajemukan dan memberikan tempat bagi semua warganya, tanpa kecuali. Kota yang menyokong kehidupan untuk semua secara berkelanjutan. Ini tak kalah penting dijaga setelah berjuang memenangkan calon kepala daerah. Memastikan mereka memenuhi janji-janjinya. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!