Menjadi Generasi Z yang cerdas

Aditya Sani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menjadi Generasi Z yang cerdas
Generasi muda Indonesia tidak akan berkembang jika hanya terpaku kepada smartphone di genggaman tangan. Perubahan dimulai ketika mereka meletakkan gadget di meja.

Sejak era media sosial bertumbuh, ada perubahan yang saya lihat berpengaruh sehingga human resources department di sebuah perusahaan agak bingung ketika melakukan audit sumber daya manusianya masing-masing; bagian mana yang disebut kerja keras bila beberapa menit sekali yang banyak dilakukan di balik kubikel adalah menghadapi layar penuh aplikasi media sosial atau chat-box. Mungkin itu sebabnya banyak kantor yang akhirnya mengeluarkan regulasi untuk memblokir situs media sosial lewat koneksi wi-fi internal.

Sering saya berpikir bahwa jangan-jangan ketika sedang ‘hidup dan berinteraksi’ di dalam kanal-kanal media sosial bersama avatar-avatar orang lain, saya sedang melarikan diri dari masalah-masalah hidup yang sebenarnya.

Pekerjaan, karir, tempat tinggal, stabilitas, kesehatan, keuangan, demokrasi, hak-hak sebagai warga negara, bumi, kebebasan, makna hidup, tujuan hidup, kebahagiaan hidup. Pekerjaan, karir, tempat tinggal, stabilitas, kesehatan, keuangan, demokrasi, hak-hak sebagai warga negara, bumi, kebebasan, makna hidup, tujuan hidup, kebahagiaan hidup. Pekerjaan, karir, tempat tinggal, stabilitas, kesehatan, keuangan, demokrasi, hak-hak sebagai warga negara, bumi, kebebasan, makna hidup, tujuan hidup, kebahagiaan hidup. 

Begitu terus berulang, dan belum ditambah dengan daftar masalah turunannya. 

Masalah-masalah utama hidup yang tentu tidak akan selesai dengan minum iced caramel latte yang begitu segar sambil berinteraksi di media sosial dengan avatar orang lain. Juga tidak akan selesai dengan minum berbotol-botol ‘pu tao chee chiew’ bersama teman-teman kantor di bar masa kini sambil asik mem-bully mereka yang kontra di media sosial. 

Saya tidak khawatir dengan teman-teman seusia saya yang sudah mulai berkeluarga, dan perlahan berhasil menangani masalah hidup. 

Yang saya khawatirkan adalah generasi muda yang 10 tahun di bawah saya dengan jumlahnya yang semakin besar. Saya sering khawatir kalau mereka terlalu sibuk menonton prank videos di YouTube, ketimbang menonton video How-To atau D.I.Y. (Do-It-Yourself). Saya sering khawatir kalau mereka terlalu sibuk membaca Buzzfeed atau 9gag atau portal hiburan lainnya sehingga lupa membaca hal-hal mendasar tentang hidup, masalah, dan segala persiapan untuk menghadapinya. 

Ada Generasi Z yang aktif menjadi relawan politik selama Pilpres 2014 berlangsung. Ada juga Generasi Z yang mulai membaca-baca bagaimana membuat perubahan. Semoga semakin banyak Generasi Z Indonesia yang seperti mereka.

Saya sering khawatir kalau mereka lupa atau bahkan tidak tahu, bahwa mulai tahun depan mereka akan bersaing dengan generasi muda lainnya dari wilayah ASEAN. Iya, mungkin kamu termasuk di antara generasi muda tersebut. Tapi, maaf, bukan kamu, Mas. Kalau kamu sudah terlalu bangkotan untuk masuk kategori generasi muda.

Menjadi Generasi Z yang aktif 

Generasi muda yang saya maksud ini di belahan dunia lain sudah diperkenalkan sebagai Generasi Z. Sebutan ini merujuk pada generasi muda yang lahir menjelang tahun 2000. Generasi yang sama yang beberapa minggu terakhir sedang melakukan #OccupyHK di jalan-jalan utama Hong Kong, karena memikirkan hak-hak politiknya di masa depan setelah Pemerintah Tiongkok memutuskan untuk melakukan filter atas calon-calon pemimpin wilayah Hong Kong.

Sayangnya, generasi yang sama dari Indonesia (maksud saya, yang tinggal di Jakarta) masih asyik belajar menghabiskan uang jajan dari orang tuanya di 7-Eleven, FamilyMart, Ministop, dan minimarket lainnya yang menyediakan tempat kongkow. Sayangnya, generasi yang sama dari Indonesia (maksud saya, yang rajin absen di media sosial) masih asyik belajar menyusun kalimat-kalimat puitis dan mengandung kegalauan yang mendalam dan tentu saja diusahakan memiliki rima di ujung-ujung kalimatnya. Untungnya, tidak semua Generasi Z dari Indonesia melakukan hal yang sama.

Ada juga Generasi Z yang aktif mengikuti kegiatan aktifisme sosial seperti Indonesia Youth Conference. Ada juga Generasi Z yang aktif menjadi relawan politik non-media sosial selama Pilpres 2014 berlangsung. Ada juga Generasi Z yang mulai membaca-baca bagaimana membuat perubahan tanpa bantuan media sosial. Semoga semakin banyak Generasi Z Indonesia yang seperti mereka.

Belajar atur prioritas

Satu hal yang mungkin perlu diperkenalkan oleh keluarga inti dan guru di sekolah/universitas kepada generasi muda kita yaitu perencanaan dan mengatur prioritas. Kenapa saya katakan demikian? Seringkali ketika saya membuka e-mail lamaran pekerjaan yang masuk, generasi muda seperti acuh tak acuh, tanpa perencanaan apalagi prioritas ketika mengirimnya. Jarang sekali saya menemukan kolom subject yang terisi dengan baik; apalagi menemukan body e-mail yang diisi dengan cover letter. Seringkali saya menemukan e-mail terkirim hanya dengan lampiran attachment. Seringkali saya menerima e-mail yang dikirimnya tengah malam atau menjelang subuh. 

Internet yang cukup cepat, informasi yang begitu banyak masuk dan terus memapar pikiran generasi muda mungkin akan semakin membuat mereka lupa soal perencanaan dan mengatur prioritas. Generasi muda memerlukan ilmu pengetahuan sebagai dasar berpikir, bukan tumpukan informasi yang terus menerus datang dengan arus yang begitu cepat. Kamu, iya kamu, bisa kok memilih untuk membaca atau melihat pengetahuan ketimbang informasi yang sifatnya hiburan.

Lihat diagram Eisenhower mengenai prioritas dan perencanaan di atas. Mereka yang telah melakukan perencanaan dan mengatur prioritas akan selalu berada pada kuadran oranye yang “penting, tapi tidak mendesak”. Sedangkan mereka yang hidup tanpa perencanaan dan prioritas akan selalu berada pada kuadran merah yang “penting dan mendesak”. Disadari atau tidak, generasi muda Indonesia mungkin masih banyak yang selalu berada di kuadran merah.

Ingat, 5-10 tahun ke depan, masing-masing dari kalian akan dipaksa menghadapi masalah berikut: Pekerjaan, karir, tempat tinggal, stabilitas, kesehatan, keuangan, demokrasi, hak-hak sebagai warga negara, bumi, kebebasan, makna hidup, tujuan hidup, kebahagiaan hidup. Pekerjaan, karir, tempat tinggal, stabilitas, kesehatan, keuangan, demokrasi, hak-hak sebagai warga negara, bumi, kebebasan, makna hidup, tujuan hidup, kebahagiaan hidup. Pekerjaan, karir, tempat tinggal, stabilitas, kesehatan, keuangan, demokrasi, hak-hak sebagai warga negara, bumi, kebebasan, makna hidup, tujuan hidup, kebahagiaan hidup. Begitu terus berulang.

Kalau kita sama-sama menginginkan masa depan yang lebih cerah dengan sinar yang terang di ujung masa kegelapan, maka kita harus memiliki perencanaan dan menyusun prioritas dalam segala aktifitas yang kita lakukan. 

Ingat, waktu berjalan begitu cepat. Rasanya baru kemarin saya lulus kuliah dari Universitas Gadjah Mada. Rasanya juga baru kemarin saya melamar pekerjaan pertama. Rasanya. Rasanya. Rasanya. Ah, rasanya saya terlalu banyak menggunakan perasaan dan mulai melupakan logika berpikir, mengelola, dan mengimplementasikan rencana. —Rappler.com

Aditya Sani adalah seorang networker dan praktisi public relations di Jakarta. Ia juga merupakan pendiri Midjournal.com. Follow akun Twitter-nya @AdityaSani.

Artikel ini sebelumnya diterbitkan oleh Midjournal.com.

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!